Selasa, 30 Juli 2013

Skripsi Pemikiran Jalaluddin Rahmat tentang Pendidikan Islam

SKRIPSI



PEMIKIRAN JALALUDDIN RAHMAT
TENTANG PENDIDIKAN ISLAM





Disusun oleh :

Nama
:
M Slamet Maskuri
NIM
:
2108115
Prodi
:
Pendidikan Agama Islam




JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA  (STAINU) TEMANGGUNG
2010


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan salah satu alternatif dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia, akan tetapi pendidikan itu harus diberikan secara tepat dan benar juga adanya keseimbangan antara pendidikan agama dan umum. ”Para ahli pendidikan Islam telah sepakat bahwa maksud dari pendidikan bukanlah memenuhi otak anak didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka ketahui, tetapi maksudnya mendidik anak sesuai dengan tahap dan akal mereka sehingga mereka mampu menyerap dan memahami ilmu yang diberikan”.[1] Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”.[2] Banyak usaha masyarakat maupun pemerintah telah dicurahkan untuk terselenggaranya pendidikan. Sebagaimana Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 Ayat 1 menyebutkan “bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”.[3]
Dalam dunia Islam, pendidikan mempunyai fungsi dan tujuan yang secara formal, tujuan pendidikan Islam tentu mengacu kepada cita-cita bangsa Indonesia yang dituangkan ke dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II pasal 4 yang menyebutkan :
“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi diri agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertangung jawab”[4]

“Tujuan pendidikan sebagaimana disebutkan di atas mencakup beberapa aspek penting terhadap peserta didik dalam kehidupan masyarakat. Yaitu manusia yang berkepribadian yang utuh, berilmu yang profesional, kreatifitas yang tinggi dalam upaya membentuk kemandirian dalam menghadapai perkembangan jaman, serta menjadi manusia yang bertanggung jawab atas keberadaan dirinya dan masa depan bangsa dan negara”.[5]
Islam dengan perundang-undangannya yang paripurna dan prinsip-prinsipnya yang abadi adalah satu-satunya penyelamat dari berbagai kerusakan individual, penyimpangan moral, tekanan politik, dan berbagai keretakan sosial yang menimpa mereka. Dalam hal ini karena Islam sangat menghargai adanya pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Persoalan pendidikan yang ada selama ini memang berdampak sangat luas terhadap proses pendidikan khususnya pendidikan Islam yang ada di Indonesia. Penulis menganggap bahwa para tokoh pendidikan Islam mulai bergerak menyongsong masa depan untuk membuktikan suatu kemuliaan Islam, hal ini termasuk faktor terpenting dalam mewujudkan sebuah negara yang maju, dengan berusaha untuk menemukan apa yang selama ini dicari yakni prinsip-prinsip yang kuat di dalam mempersiapkan, mendidik, membina sehingga pada akhirnya tidak ada alternatif lain selain memilih metodologi pendidikan Islam yang paripurna yang sesuai dengan isyarat yang dijelaskan oleh syariat Islam dan prinsip-prinsipnya yang telah diwariskan Nabi SAW.
Pendidikan yang ada dewasa ini belum dapat menyentuh aspek budi pekerti yang seharusnya diutamakan dalam pendidikan Islam yang bermanfaat baginya, hal ini ditegaskan oleh Sardja dalam pengantar sebuah buku sebagai brikut:
“Hasil dari ketidak sesuaian antara sistem pendidikan nasional secara tertulis dan secara pelaksanaannya menyebabkan sistem pendidikan nasional di Indonesia secara berangsur terasa kering, tandus, perilaku cepat marah, mau menang sendiri, kurang menghargai orang lain, dll, hal ini merupakan sebagian kecil dari indikasi kurang dimilikinya  kelembutan hati nurani disebabkan karena kurangnya sentuhan pendidikan aspek budi pekerti dan budaya dalam praktek sistem pendidikan Islam di Indonesia”.[6]

    “Pendidikan Islam dinilai mampu dijadikan dasar pijakan penyelamat dari berbagai kerusakan. Pendidikan Islam sesungguhnya adalah pendidikan untuk pertumbuhan total seorang anak didik.”[7] Kegiatan menanamkan nilai religius yang sesungguhnya akan menjadi nilai inti dari pendidikan keagamaan. Islam memulai pendidikan dengan pengertiannya yang menyeluruh dengan pengertian dia berputar sekitar pengembangan jasmani, rohani, akal, emosi, dan akhlak.
Begitu juga Islam mengenal pendidikan secara utuh dengan pengertian bukan sebatas di sekolah saja, melainkan meliputi segala yang meliputinya antara lain di rumah, di  masyarakat, di jalan-jalan dan lain-lain”.[8] Selain itu pendidikan agama tidak dapat dipahami sebatas hanya pada pengajaran agama saja, seperti keadaan pendidikan pada saat ini umumnya pada masyarakat.
Pendidikan dalam Islam bukan hanya memperhatikan segi-segi agama, moral dan kejiwaan dalam pendidikan dan pengajarannya, ia juga tidak meremehkan segi-segi kemanfaatan dalam menentukan kurikulum sekolah-sekolahnya. Hal ini nyata sekali dalam salah satu surat Umar bin Khattab kepada wali-wali (gubernur-gubernur): “Amma ba’du, ajarkanlah anak-anakmu berenang, mengendarai kuda, dan riwayatkanlah kepada mereka ibarat-ibarat yang baik, dan syair-syair yang indah”.[9]
Jadi pendidikan Islam akan dapat dikatakan berhasil apabila dapat dilihat dari adanya keyakinan akan keimanan terhadap ajaran Islam dan dalam wujud nyata dapat diukur melalui suatu perubahan sikap, tingkah laku dan budi pekerti yang luhur atau  akhlaqul karimah serta memiliki potensi yang dapat bersaing dalam dunia global.
Menyikapi itu semua, banyak bermunculan tokoh-tokoh pendidikan yang turut menyumbangkan pemikirannya dengan harapan terciptanya tujuan pendidikan Islam secara benar dan sesuai situasi maraknya modernisasi Islam di Indonesia termasuk di dalamnya  pendidikan agama Islam. Tokoh Jalaluddin Rakhmat yang dalam sejarah pendidikan Islam tercatat sebagai salah satu tokoh pejuang yang banyak memberikan kontribusi pendidikan agama Islam melalui ide pemikiran dan karya-karyanya dalam pendidikan agama Islam. Salah satunya adalah merancang pengembangan kurikulum pendidikan yang di dalamnya memuat tentang tujuan dan metode pendidikan agama di fakultasnya dan memberikan kuliah dalam berbagai disiplin
Selain itu Jalaluddin Rakhmat  pada dasarnya merupakan tokoh  yang banyak menyumbangkan ide-ide kontribusi serta  pemikiranya dalam pendidikan pada umumnya dan  termasuk pendidikan agama Islam pada khususnya, maka dari sini penulis tertarik untuk meneliti tentang konsep pemikiran Jalaluddin Rakhmat tentang pendidikan agama Islam.
B.     Rumusan Masalah
Dengan adanya latar belakang masalah di atas maka penulis akan merumuskan masalah  sebagai basic question atau pokok permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah pemikiran Jalaluddin Rahmat tentang pendidikan Islam?.
2.      Bagaimanakah kontribusi pemikiran Jalaluddin Rahmat terhadap pendidikan Islam?.
C.    Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui pemikiran Jalaluddin Rahmat tentang pendidikan Islam.
2.      Untuk mengetahui kontribusi pemikiran Jalaluddin Rahmat terhadap pendidikan Islam.
D.    Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini, peneliti bagi menjadi dua kategori yakni manfaat secara teoretik dan praktikal dengan uraian sebagai berikut :
1.      Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan informasi berharga dalam rangka peningkatan mutu pendidikan.
2.      Hasil Penelitian ini diharapkan dapat ditemukan konsep-konsep pendidikan yang dapat dijadikan salah satu alternatif pilihan dalam rangka perbaikan-perbaikan dalam pencapaian tujuan pendidikan  Islam.
E.     Kajian Pustaka
Sebagaimana dikemukakan di atas, studi ini akan menggali tentang Konsep Pendidikan Islam Menurut Djalaludin  Rahmad. Sementara itu, ada beberapa studi terdahulu yang terkesan tepat dan sealur dengan apa yang dikaji. Meskipun hanya secara garis besar namun ini perlu untuk ditampilkan. Telah banyak tulisan tentang penggunaan kata konsep pendidikan dalam materi-materi tertentu. Beberapa tulisan yang ditemukan dalam skripsi ini antara lain : “Konsep Pendidikan Islam Menurut Prof. Dr. Muhd Athiyah Al-Abrasyi dan Prof. Dr. Hasan Langgulung (Studi Komparasi),”[10] skripsi yang ditulis oleh Rohayati, mahasiswi jurusan tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdhatul Ulama’ (STAINU) Temanggung tahun 2006/2007 yang pada intinya merupakan penelitian tentang perbandingan perbedaan dan kesamaan antara konsep pendidikan menurut Prof. Dr. Muhd Athiyah Al-Abrasyi dan Prof. Dr. Hasan Langgulung. Selain itu ada juga ”Konsep Pembaharuan Pendidikan Islam Menurut Nurcholish Madjid”.[11] Skripsi ini ditulis oleh Budiyanto, mahasiswa jurusan tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdhatul Ulama’ (STAINU) Temanggung  tahun 2005/2006. “Konsep Pembaharuan Pendidikan Islam Menurut Ibnu Taimiyah”.[12] Skripsi yang ditulis oleh Muhaimin, mahasiswa jurusan tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdhatul Ulama’ (STAINU) Temanggung  tahun 2008/2009 yang pada intinya merupakan penelitian tentang konsep pendidikan menurut Ibnu Taimiyah.
Dalam  penelitian-penelitian ini  konsep pendidikan Islam  yang dikemukakan hanya sebatas konsep-konsep pendidikan Islam  saja, sedangkan penulis akan mengulas sampai pada tujuan dan metode pendidikan Islam.
F.     Metodologi Penelitian
Adapun Metodologi yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
  1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library resert). Adapun yang dimaksud “penelitian kepustakaan adalah suatu penelitian tang diadakan diperpustakaan dengan cara mengumpulkan buku-buku yang diperlukan dan mempelajarinya”.[13]
  1. Pendekatan Penelitian
Adapun pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan yuridis (perundang-undangan yang berlaku) dan normatif, Pendekatan ini dilakukan untuk mengungkap berbagai teori, pandangan hidup, pemikiran filsafat dan lain-lain dapat di temui dalam berbagai peninggalan tertulis terutama dalam buku-buku yang dihasilkan pada zaman tertentu dalam prospek sejarah”.[14] Khususnya pada hasil penelitian tentang konsep pendidikan Islam.
  1. Sumber Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua jenis data yang dipergunakan sebagai sumber penelitian sebagai berikut :
a.       Data Primer
Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung oleh peneliti dari obyek penelitian”.[15] Pada penelitian ini tokoh yang penulis teliti adalah Jalaluddin Rakhmat  dan penulis tidak mengadakan wawancara secara langsung melainkan penulis hanya fokus pada pemikiran-pemikiran Jalaluddin Rakhmat yang tertuang dalam karya-karyanya yang mendukung dan memadai dalam penelitian ini.
Dalam hal ini yang menjadi data primer adalah sebagai berikut:   Psikologi Agama (2003), Islam dan Pluralisme (2006) dan Reformasi Sufistik (1998).
b.      Data Sekunder
Data Sekunder adalah data mengenai obyek penelitian yang di dapat dari tangan kedua, yakni data yang diperoleh penelitian lain yang kemudian dipublikasikan, data ini menyangkut pemikiran Jalaluddin Rakhmat yang di tulis dan di dipublikasikan oleh peneliti atau penulis  lain. Antara lain:  Belajar Cerdas: Berbasis Otak (2007), Psikologi Komunikasi (1985), Islam Alternatif (1986), Islam Aktual (1991), Renungan-Renungan Sufistik (1991) dan buku-lain yang relevan dengan bahasan tentang pendidikan Islam.
  1. Analisis Data
Sesuai dengan pendekatan penelitian di atas, maka analisis penelitian ini memfokuskan pada analisis secara yuridis dan normatif yang berlaku. Adapun langkah-langkah analisis data sebagaimana yang ditawarkan oleh Lexy Moleong yaitu dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, setelah dibaca, dipelajari, dan ditelaah kemudian mengadakan reduksi yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi dan selanjutnya adalah menyusunnya dalam satuan-satuan”.[16]
Metode ini digunakan untuk menjelaskan keterangan-keterangan dari sumber data baik primer maupun skunder dengan selalu memperhatikan sisi mana suatu analisis dikembangkan secara berimbang dengan melihat kekurangan dan kelebihan dengan melihat obyek penelitian.
G.    Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi disusun ke dalam tiga bagian utama sebagai berikut :
Bagian muka (formalitas), terdiri dari; halaman sampul, halaman, judul, halaman pengajuan, halaman disposisi pembimbing, halaman pengesahan, halaman motto dan persembahan, kata pengantar, abstrak, daftar isi, daftar lampiran.
Bagian isi pokok skrisi (batang tubuh), terdiri dari lima bab yang saling berkaiatan :
Bab I memuat pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II yang memuat kajian teori tentang pendidikan Islam yang berisi pengertian pendidikan Islam, dasar-dasar pendidikan Islam, tujuan pendidikan Islam, kurikulum pendidikan Islam, pendekatan dan metode pendidikan Islam, dan lingkungan dalam pendidikan Islam.
Bab III Mengenal pemikiran Jalaluddin Rakhmat yang terdiri dari: riwayat hidup Jalaluddin Rahmat, aktivitas intelektual Jalaluddin Rahmat, karya-karya Jalaluddin Rahmat, tujuan dan metode pendidikan Islam menurut Jalaluddin Rahmat.
Bab IV yang memuat analisa terhadap pemikiran Jalaluddin Rahmat terhadap pendidikan Islam yang berisi analisa terhadap tujuan pendidikan Islam, analisa terhadap metode pendidikan Islam dan kontribusi Jalaluddin Rahmat terhadap pendidikan Islam.
Bab V yang memuat kesimpulan yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
Bagian akhir (pelengkap), terdiri dari; daftar pustaka dan lampiran-lampiran.


BAB II
PENDIDIKAN ISLAM

A.  Pengertian Pendidikan Islam
Sebelum penulis menguraikan pengertian pendidikan Islam, terlebih dahulu perlu diketahui tentang pendidikan secara umum. Istilah pendidikan berasal dari kata “didik” yang telah mendapat prefiks “pe” dan sufiks “an” mengandung arti “proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.”[1] Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu “paedagogie” yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan “education” yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah ini sering diterjemahkan dengan “tarbiyah” dan ”ta’dib” yang berarti pendidikan.
Lebih lanjut Naquib Al-Atas menegaskan bahwa tarbiyah (pendidikan) secara simantik berarti mengasuh yang baik, mengembangkan, memelihara. Sedangkan kata ”ta’dib” mengacu pada pengertian (’ilm), pengajaran (ta’lim).[2] M.J. Langeveld sebagaimana dikutip oleh Sembodo Ardi mengemukakan bahwa ”pendidikan atau pedagogi adalah kegiatan bimbingan anak manusia menuju kepada kedewasaan dan kemandirian”.[3] Sementara itu Kingley mengemukakan bahwa :
“Pendidikan adalah proses yang memungkinkan kekayaan budaya non fisik dipelihara atau dikembangkan dalam mengasuh anak-anak atau mengajar orang-orang dewasa (education is the process by which nonphysical possions of a culture are preserved or increased in the reaning of the young or in the intruction of adults)”.[4]

Pengertian pendidikan secara umum juga diuraikan dalam Sistem Pendidikan Nasional sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.[5]
Menurut H.M.Arifin, “pendidikan adalah usaha orang dewasa secara sadar untuk membimbing dan mengembangkan kepribadian serta kemampuan dasar anak didik baik dalam bentuk pendidikan formal maupun non formal”.[6] Adapun menurut Ahmad D. Marimba adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.[7] Adapun pengertian pendidikan menurut Soegarda Poerbakawatja ialah “semua perbuatan atau usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya, dan ketrampilannya kepada generasi muda. Sebagai usaha menyiapkan agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmani maupun rohani”.[8]
Dari beberapa pendapat yang telah diuraikan secara terperinci dapat disimpulkan bahwa pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha manusia untuk dapat membantu, melatih, dan mengarahkan anak melalui transmisi pengetahuan, pengalaman, intelektual, dan keberagamaan orang tua (pendidik) dalam kandungan sesuai dengan fitrah manusia supaya dapat berkembang sampai pada tujuan yang dicita-citakan yaitu kehidupan yang sempurna dengan terbentuknya kepribadian yang utama.
Sedangkan kata “Islam” berasal dari bahasa Arab yang berarti selamat (jalannya orang-orang yang diberi petunjuk). Al-Jurjani mendefinisikan Islam sebagai “rasa ketundukan dan kepatuhan terhadap semua ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.” [9]  Islam adalah agama yang paling benar di sisi Allah, yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadis.
Dari pengertian di atas, para pemikir tentang pendidikan Islam mendefisinikan sebagai berikut :
Muhammad Athiyah Al-Abrasy sebagaimana dikutip oleh Ramayulis dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam memberikan pengertian bahwa “Pendidikan Islam adalah mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya, teratur pikirannya, halus perasaannya, cakap dalam pekerjaannya dan manis tutur katanya.”[10]
Menurut ahmad Marimba adalah ”bimbingan jasmani maupun rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam”.[11] Senada dengan pendapat diatas, menurut Chabib Thoha ”pendidikan Islam adalah pendidikan yang falsafah dasar dan tujuan serta teori-teori yang dibangun untuk melaksanakan praktek pandidikan berdasarkan nilai-nilai dasar Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits”.[12]
B.  Dasar-Dasar Pendidikan Islam
Pendidikan Islam dalam konteks pendidikan nasional diistilahkan dengan pendidikan agama Islam. Adapun dasar atau landasan penyelenggaraan Pendidikan Agama Islam di sekolah dapat ditinjau dari beberapa aspek, di antaranya adalah aspek normatif, aspek psikologis, aspek historis, dan aspek yuridis.[13]
1.      Aspek Normatif
Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang secara langsung atau tidak langsung mewajibkan umat Islam melaksanakan pendidikan, khususnya pendidikan Agama. Itulah yang dimaksud dasar normatif pelaksanaan Pendidikan Agama Islam. Adapun kewajiban melaksanakan Pendidikan Agama Islam itu ditujukan kepada :
a.       Kewajiban bagi orang tua mendidik anaknya. Sebagaimana Firman Allah SWT QS. at-Tahriim ayat 6 :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pköŽn=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâŸxÏî ׊#yÏ© žw tbqÝÁ÷ètƒ ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrâsD÷sムÇÏÈ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.[14]

b.      Kewajiban bagi setiap muslim untuk belajar agama. Sebagaimana Firman Allah SWT QS. At-Taubah ayat 122 :
* $tBur šc%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuŠÏ9 Zp©ù!$Ÿ2 4 Ÿwöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuŠÏj9 Îû Ç`ƒÏe$!$# (#râÉYãŠÏ9ur óOßgtBöqs% #sŒÎ) (#þqãèy_u öNÍköŽs9Î) óOßg¯=yès9 šcrâxøts ÇÊËËÈ
Artinya : “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.[15]

c.       Kewajiban mengajarkan agama kepada orang lain. Sebagaimana Firman Allah SWT QS. Ali Imran ayat 104 :
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôtƒ n<Î) ÎŽösƒø:$# tbrããBù'tƒur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ
Artinya : “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung”.[16]


2.      Aspek Psikologis
Menurut ilmu jiwa agama, agama merupakan fenomena kehidupan manusia, karena agama mempunyai pengaruh yang sangat besar pada sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup manusia pada umumnya.[17]
Apek kejiwaan dari agama tidaklah lengkap kalau tidak merujuk pada ilmu jiwa dari sudut pandang Al-Qur’an, Al-Qur’an menyatakan bahwa dorongan beragama merupakan dorongan yang alamiah. Sebagaimana firman Allah QS. Ar-Rum ayat 30 :
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$#  ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÉÈ

Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.[18]

Dalam ayat ini Allah mengemukakan bahwa dalam fitrah manusia, yakni dalam penciptaan dan tabiat dirinya terdapat kesiapan alamiah untuk memahami keindahan ciptaan Allah dan menjadikannya sebagai bukti tentang adanya Allah dan keesaan-Nya.[19]
3.      Aspek Historis
Berdasarkan sejarah agama Islam tumbuh dan berkembang bersamaan dengan datangnya Islam, hal ini terjadi sejak Nabi Muhammad SAW mendakwahkan ajaran agama Islam kepada masyarakat di sekitarnya yang dilaksanakan secara bertahap, mulai dari keluarganya, sahabatnya, kemudian masyarakat sekitarnya.
Ajaran dakwah Nabi tidak terlepas dari pendidikan Islam, karena tugas utama Nabi ialah dakwah (menyeru) manusia agar mau masuk Islam, sebagaimana tersebut dalam firman Allah QS. Saba’ ayat 28 :
!$tBur y7»oYù=yör& žwÎ) Zp©ù!$Ÿ2 Ĩ$¨Y=Ïj9 #ZŽÏ±o0 #\ƒÉtRur £`Å3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw šcqßJn=ôètƒ ÇËÑÈ

Artinya : “Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada Mengetahui.”[20]

Untuk tugas dakwah ajaran-ajaran Islam harus disampaikan, agar difahami, dihayati dan selanjutnya dapat diamalkan. Proses dari penyampaian ajaran sampai pemahaman, penghayatan dan pengamalan, itulah yang disebut pendidikan Islam. Dalam rentangan sejarah yang panjang, di mana dunia Islam semakin luas terjadilah proses Islamisasi dan sekaligus pendidikan Islam bagi bangsa-bangsa non Arab hingga sampai ke Indonesia.
4.      Aspek Yuridis
Aspek yuridis merupakan kekuatan hukum dalam pelaksanaan pendidikan agama. Karena Indonesia adalah negara hukum, maka seluruh aspek kehidupan manusia termasuk kegiatan pendidikan agama harus didasarkan pada hukum (undang-undang) yang berlaku. Untuk itu perlu ditinjau hal-hal yang berkaitan dengan hukum yang melandasi pelaksanaan Pendidikan Agama Islam. Dalam hal ini ada dua landasan yaitu landasan idiil dan landasan operasional.[21]
a.       Landasan Idiil
Terwujudnya kehidupan beragama bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi suatu cita-cita (Idiil) para pendiri Republik. Cita-cita itu dituangkan dalam UUD 1945, sehingga dapat disebut sebagai landasan idiil, yang mengandung nilai-nilai dasar.
Pancasila dan UUD 1945 merupakan landasan idiil dan konstitusional bagi kehidupan beragama. Karena pancasila merupakan sumber segala sumber hukum dan UUD 1945 merupakan dasar hukum yang baru merupakan aturan-aturan pokok, maka untuk operasionalnya diperlukan aturan-aturan penyelenggaraan dari aturan pokok tersebut, yang selanjutnya disebut landasan operasional.
b.      Landasan Operasional
Landasan operasional merupakan dasar yang secara langsung mengatur pelaksanaan pendidikan agama di lembaga-lembaga pendidikan formal maupun non formal yang ada di Indonesia. Adapun undang-undang terbaru yang memuat tentang pendidikan agama yaitu Undang-Undang Nomor : 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
C.  Tujuan Pendidikan Islam
Dalam aktivitas yang kita lakukan tentunya tidak terlepas dari maksud-maksud yang ingin kita capai. Dalam mencapai maksud-maksud tersebut ada yang ingin kita capai dalam jangka panjang maupun jangka pendek dan tentunya tidak keluar dari konsep yang telah ditentukan. Tujuan pendidikan Islam merupakan salah satu unsur dari pendidikan Islam, di mana pendidikan Islam itu menciptakan manusia yang sesuai dengan konsep Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadis.
Dalam Al-Qur’an dan Hadis manusia ditentukan untuk menjadi khalifah yang telah dilengkapi dengan akal atau pikiran untuk membawa risalah bagi seluruh alam di bawah bimbingan Allah SWT. Pengelolaaan alam yang baik dan penyampaian risalah yang benar akan menciptakan keselarasan, kedamaian, dan kebahagiaan bagi individu dan masyarakat. Dengan akal saja tanpa mendapat pendidikan yang baik manusia tidak akan mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, karena pendidikan yang sesuai dengan konsep Islam adalah pendidikan yang mampu menciptakan manusia-manusia yang berakhlak Islami yang akan berpengaruh bagi masyarakat luas.
Tentang tujuan Pendidikan  Islam dapat dilihat dari para pendapat tokoh-tokoh pendidikan muslim. Misalnya saja dari tujuan pendidikan Islam Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibani salah seorang ahli pendidikan Islam memberikan ciri dan prinsip-prinsip umum yang dijadikan landasan dasar untuk mencapai tujuan utama cita-cita pendidikan Islam, maka pendidikan harus mampu melahirkan kekuatan tiga dimensi yang saling terkait dengan yang lainnya, dimensi tersebut adalah :

1.      Dimensi Imanitas yang dapat mendudukan harkat dan martabat manusia sebagai hamba Allah yang tertinggi di dunia serta punya daya tahan terhadap ujian hidup dan berpijak pada kebenaran.
2.      Dimensi jiwa dan pandangan hidup Islam yang membawa cita rahmatal lil’alamiin.
3.      Dimensi kemajuan yang akan memanjatkan manusia tangguh terhadap apa yang dititahkan oleh Allah dan terhadap segala kejadian suatu perubahan yang ada”.[22]

Pandangan tentang tujuan Pendidikan Agama Islam lain juga dikemukakan oleh Athiyah Al-Abrasyi, beliau menyatakan bahwa tujuan pokok dari pada dasarnya adalah mendidik budi pekerti dan pendidikan jiwa peserta didik, sedangkan Naquib al-Attas yang dikutip oleh Hasan Langgulung tujuan pendidikan Islam adalah tercapainya kesempurnaan manusia melalui pendekatan spiritual dengan melakukan berbagai aktifitas ibadah.[23]
Sedangkan dalam konsep Al-Qur’an disebut ulul al-bab, pengajaran Islam pada dasarnya adalah berorientasi untuk menjadikan manusia yang mempunyai ilmu dan peka terhadap perkembangan jaman”.[24] Salah satu tujuan pengajaran Agama Islam di sekolah adalah membentuk dan mengembangkan keimanan serta menjadikan khalifah di bumi sebagai manusia yang kreatif, inovatif yang dilandasi dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam konsep Al-Qur’an disebut ulul al-baab, pengajaran Islam pada dasarnya adalah berorientasi untuk menjadikan manusia yang mempunyai ilmu dan peka terhadap perkembangan jaman”.[25]
Tujuan pendidikan Islam dan tujuan pendidikan nasional tidak dapat dipisahkan.Tujuan pendidikan Islam di Indonesia harus berorientasi kepada tujuan umum sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, tetapi juga harus berorientasi pada tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional dirumuskan berdasarkan pandangan hidup bangsa yaitu Pancasila. Dengan demikian lembaga pendidikan Islam diharapkan dapat melahirkan manusia Muslim Pancasila. Tujuan pendidikan nasional dengan tujuan pendidikan Islam mempunyai persamaan jika diletakkan secara proporsional yaitu menciptakan insan kamil yang bertaqwa. Secara formal tujuan pendidikan Islam tentu mengacu kepada cita-cita bangsa Indonesia yang dituangkan ke dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II pasal 4 yang menyebutkan :
“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi diri agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertangung jawab”.[26]

Tujuan pendidikan sebagaimana disebutkan di atas mencakup beberapa aspek penting terhadap peserta didik dalam kehidupan masyarakat. Yaitu manusia yang berkepribadian yang utuh, berilmu yang profesional, kreatifitas yang tinggi dalam upaya membentuk kemandirian dalam menghadapai perkembangan jaman, serta menjadi manusia yang bertanggung jawab atas keberadaan dirinya dan masa depan bangsa dan negara.[27]
Dari beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dari Pendidikan Agama Islam adalah membentuk manusia Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta mempunyai ilmu pengetahuan dan mampu mengembangkan potensinya dengan teknologi untuk kesejahteraan umat manusia sebagai kodratnya sebagai kholifah di bumi.
D.    Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan dalam suatu sistem pendidikan karena kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengajaran pada semua jenis dan jenjang pendidikan. Di dalam kamus Webster’s Third New International, istilah kurikulum awal mulanya digunakan dalam dunia olahraga pada zaman Yunani Kuno. Kurikulum dalam bahasa Yunani berasal dari kata “curir” artinya pelari, “curere” artinya tempat berpacu. Jadi secara etimologi kurikulum diartikan jarak yang harus ditempuh oleh pelari.[28]
Pengertian kurikulum dalam dunia pendidikan terdapat banyak rumusan dari para ahli. Crow dan Crow merumuskan bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran yang isinya sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematis yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu program pendidikan tertentu.[29]
Adapun pengertian kurikulum dalam pendidikan Islam, jika kita kembali kepada kamus-kamus Bahasa Arab, maka kita dapati kata-kata “manhaj” yang bermakna jalan terang yang dilalui oleh pendidik/guru latih dengan orang-orang yang terdidik atau dilatihnya untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap mereka.
Pengertian yang sempit tersebut bukan hanya berlaku di dunia Islam, tetapi juga berlaku pada sebagian negeri-negeri Timur, Afrika, dan Barat yang bukan Islam. Mengapa demikian? Karena kurikulum pada sebagian besar dunia Islam pada periode akhir dalam sejarahnya belum berkenalan dengan konsep pendidikan modern. Baru pada abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 para pendidik modern mulai mengecam konsep, metode, dan alat-alat pendidikan yang berlaku di masjid-masjid, universitas-universitas Islam yang mulai muncul dalam dunia Islam pada pertengahan abad ke19.
Kecaman-kecaman para pendidik modern telah menarik perhatian para pendidik dan perencana kurikulum dalam dunia Islam dan telah mendorong para pendidik untuk melengkapi kekurangan-kekurangan mereka dengan mengikuti semangat pendidikan modern di dunia Barat. Kecaman tersebut juga telah mengubah definisi mereka mengenai kurikulum, yaitu bahwa kurikulum tidak hanya meliputi mata pelajaran dan pengalaman yang tersusun yang berlaku di dalam kelas, tetapi meliputi semua kegiatan kebudayaan, kesenian, olah raga dan sosial yang dikerjakan oleh murid-murid di luar jadwal waktu dan di luar kelas di bawah bimbingan sekolah.[30]
Adapun  tujuan pendidikan yang akan dicapai oleh kurikulum dalam pendidikan Islam adalah sama dengan tujuan pendidikan Islam itu sendiri, yaitu membentuk akhlak yang mulia dalam kaitannya dengan hakikat penciptaan manusia. Dalam hal ini, maka pengertian kurikulum pendidikan Islam berisi materi pendidikan seumur hidup, sebagai realisasi tuntunan Nabi yang berbunyi: “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat.”[31]
Kurikulum dalam pendidikan Islam mempunyai ciri-ciri khusus, yaitu:
  1. Menonjolkan tujuan agama dan akhlakul karimah, baik dalam tujuan pengajaran, materi, dan pelaksanaannya.
  2. Kandungan materi pendidikan mencakup aspek jasmaniah, intelektual, psikologi, maupun spiritual
  3. Adanya keseimbangan antara ilmu syariat dengan ilmu akliyat
  4. Tidak melupakan bahan maupun apresiasi seni, tetapi juga tidak merusak perkembangan akhlakul karimah
  5. Mempertimbangkan perkembangan dan kondisi peserta didik.[32]

E.     Metode Pendidikan Islam
Metode berasal dari bahasa Latin meta yang berarti melalui dan hodos yang berarti jalan atau cara ke atau ke. Dalam bahasa Arab disebut ”tariqah” artinya jalan, cara, sistem dan ketertiban dalam mengerjakan sesuatu. Sedangkan menurut istilah ialah suatu sistem atau cara yang mengatur suatu cita-cita[33]
Untuk lebih memahami metode itu sendiri seyogiyanya harus diketahui beberapa istilah lain yang berkaitan dengan metode yaitu strategi dan teknik. Strategi adalah langkah-langkah yang disusun untuk mencapai tujuan, sedangkan teknik terbagi dua yaitu teknik langsung dan teknik tidak langsung.
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa metode pembelajaran adalah suatu teknik penyampaian bahan pelajaran oleh guru kepada murid agar murid dapat memahami pelajaran dengan mudah dan efektif.
Menurut Al-Nahlawi dalam Al-Qur’an dan Hadis dapat ditemukan berbagai metode pendidikan yang sangat mendidik jiwa dan membangkitkan semangat. Menurut Al-Nahlawi, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tafsir dalam bukunya Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, bahwa metode untuk menanamkan rasa iman antara lain sebagai berikut :
 Metode hiwar (percakapan qur’ani dan nabawi)
2.  Metode kisah qur’ani dan nabawi
3.  Metode amsal (perumpamaan qur’ani dan nabawi)
4.  Metode keteladanan
5.  Metode pembiasaan
6.  Metode ibrah dan mau’idzoh
7.  Metode targhib dan tarhib.[34]

Dalam dunia pendidikan dikenal empat metode ilmu pendidikan, yaitu:
  1. Metode empiris-positivistis yang berkembang di Inggris dan AS.
  2. Metode hermeneutik Metode ini berusaha memahami kenyataan pendidikan yang konkret dan historis untuk menjelaskan makna struktur dari kegiatan pendidikan.
  3. Metode deskriptif fenomenologis. Metode ini mencoba menguraikan kenyataan pendidikan dan mengklasifikasikannya tanpa membawa perubahan dalam praktik. Metode ini berpangkal pada pengalaman luar dan menguraikan ciri-cirinya.
  4. Metode filosofis kritis. Metode ini mengkritik semua metode yang ada.
Selain dari empat metode yang lengkap meliputi segala aspek ilmu pendidikan, ada metode lain yang hanya membicarakan sebagian dari ilmu pendidikan Islam, seperti syarat-syarat pendidikan, norma-norma pendidikan, dan lain-lain yang disebut metode kombinasi.[35]
Dalam sejarah pendidikan Islam dapat diketahui bahwa para pendidik muslim dalam beberapa situasi dan kondisi yang berbeda telah menerapkan berbagai metode pendidikan. Ulama-ulama muslim yang mengemukakan pendapat tentang metode pendidikan di antaranya:
  1. Al-Ghazali
a.       Lebih cenderung berfaham empirisme. Karena itu beliau sangat menekankan pengaruh pendidik terhadap anak didik.
b.      Dalam proses pendidikan dimulai dengan hafalan diteruskan dengan pemahaman
c.       Pendidikan yang diinginkan adalah pendidikan yang diarahkan pada pembentukan akhlak mulia.
  1. Ibnu Khaldun
a.       Hendaknya tidak memberikan pelajaran yang sulit kepada anak didik
b.      Anak didik diajarkan pelajaran yang sederhana yang dapat dipahami akal pikiran kemudian secara bertahap diajarkan pelajaran yang lebih sukar dengan menggunakan alat peraga tertentu.
  1. Ibnu Sina
a.       Lebih menekankan pendidikan moral
b.      Metode yang diperlukan adalah metode pembiasaan, perintah dan larangan, pemberian motivasi, hadiah dan hukuman.
  1. Muhammad Abduh
Menekankan kemampuan rasio dengan memahami ajaran Islam dari sumbernya (Al-Qur’an dan Hadis) sebagai pengganti metode hafalan.[36]
F.     Lingkungan Dalam Pendidikan Islam
Dalam arti luas lingkungan mencakup iklim, geografis, tempat tinggal, adat istiadat, pengetahuan, pendidikan, dan alam. Dengan kata lain, lingkungan adalah segala sesuatu yang ada dan terdapat dalam alam kehidupan yang senantiasa berkembang. Lingkungan adalah seluruh yang ada, baik manusia maupun benda buatan manusia, atau alam yang bergerak atau tidak bergerak, atau kejadian-kejadian yang mempunyai hubungan dengan seseorang.[37]
Menurut Mohammmad Al-Toumy Al-Syaibani, lingkungan adalah ruang lingkup yang berinteraksi dengan insan yang menjadi medan dan aneka bentuk kegiatannya. Keadaan sekitar benda-benda, seperti air, udara, bumi, langit, matahari, dan sebagainya, juga masyarakat yang mencakup insan pribadi, kelompok, institusi, sistem, undang-undang, adat kebiasaan, dan sebagainya.[38]
Dalam pengertian yang luas, lingkungan pendidikan Islam terbagi dua, yaitu:
  1. Lingkungan pendidikan di dalam sekolah
  2. Lingkungan pendidikan di luar sekolah, meliputi keluarga, masyarakat, dan negara serta individu.
Namun pembahasan ini akan dimulai dari lingkungan keluarga karena keluarga adalah pendidikan yang pertama dan utama sebelum anak mengenal lingkungan pendidikan yang lain.
a.       Keluarga
Keluarga  merupakan suatu unit sosial terkecil dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Pengertian keluarga dalam Islam adalah suatu sistem kehidupan masyarakat terkecil yang dibatasi oleh adanya keturunan (nasab) atau disebut ummah akibat adanya kesamaan agama.
Keluarga merupakan unit pertama dalam masyarakat. Di situlah terbentuknya tahap awal proses sosialisasi dan perkembangan individu. Setiap orang tua memikul tanggung jawab memelihara dan melindungi anaknya, baik dari segi biologis agar anak-anak dapat tumbuh secara wajar maupun dari segi psikologis. Untuk memenuhi kebutuhan biologis anak yang masih bayi itu, secara alamiah diciptakan Allah air susu ibu dalam kandungan. Inilah proses sosialisasi anak yang pertama kali dalam keluarga, yang dalam hal ini sosialisasi dengan ibu. ASI (Air Susu Ibu) juga merupakan manifestasi tanggung jawab ibu yang diberikan kepada anaknya.
Sedangkan sebagai pendidik mereka memikul tanggung jawab membimbing, membantu, dan mengarahkan perkembangan anak agar mencapai kedewasaan sebagaimana dicita-citakan. Diharapkan setelah anak melampaui pendidikan keluarga yang panjang, ia mampu berdiri sendiri dalam arti dapat hidup layak bersama orang lain dan mampu bertanggung jawab atas perbuatannya pada diri sendiri, masyarakat, dan kepada Tuhan.
Keluarga juga merupakan masyarakat alamiah yang pergaulan di antara anggotanya bersifat khas. Dalam lingkungan ini terletak dasar-dasar pendidikan. Di sini pendidikan berlangsung dengan sendirinya tanpa harus diumumkan terlebih dahulu agar diketahui dan diikuti oleh anggota keluarga.
Pada umunya para pendidik Muslim menjadikan Luqmanul Hakim sebagai contoh dalam pendidikan, di mana nasihatnya kepada anaknya terdapat dalam Surat Luqman ayat 13-19. Allah mengatakan Luqman dikaruniai hikmah dan kebijaksanaan. Ayat-ayat tersebut mencerminkan:
1)      Pembinaan iman dan tauhid
2)      Pembinaan akhlak
3)      Pembinaan agama
4)      Pembinaan kepribadian dan sosial
Untuk mencapai tujuan pendidikan keluarga, orang tua harus melatih akal anak seperti berdiskusi kecil-kecilan di rumah. Di samping itu, orang tua harus mendidik anak dengan pendidikan kalbu/agama. Ada dua arah mengenai kegunaan pendidikan rumah tangga, pertama penanaman nilai/pandangan hidup yang kelak mewarnai perkembangan jasmani dan akalnya, kedua penanaman sikap yang kelak menjadi basis dalam menghargai guru dan teman di sekolah.[39]
Keluarga bahagia dan sejahtera yang dijiwai oleh pancaran sinar tauhid tidak tercipta dengan sendirinya, tetapi harus melalui proses sosialisasi dengan beberapa metode yang dilakukan orang tua, yaitu:
1)      Pembiasaan
2)      Keteladanan
3)      Perintah dan larangan
4)      Latihan dan praktikum
5)      Ganjaran
6)      Hukuman.[40]

Pertumbuhan kecerdasan anak sampai umur enam tahun terkait dengan  alat inderanya, atau biasa yang disebut berpikir inderawi, artinya  anak belum mampu memahami hal yang abstrak. Karena itu pendidikan dan pembinaan iman dan taqwa belum dapat menggunakan kata-kata (verbal), tetapi diperlukan teladan, pembiasaan dan latihan secara alamiah. Misalnya si anak biasa mendengar orang tuanya membaca Al-Qur’an, dan berdoa kepada Allah, mengucap kalimat thayyibah, dan di bulan Ramadhan melakukan sahur bersama, buka puasa bersama, shalat tarawih dan witir, tadarus, dan merayakan hari kemenangan/Idul Fitri. Anak memperoleh nilai-nilai keimanan yang sangat penting dan diserapnya masuk ke dalam perkembangan kepribadiannya.
Kemudian timbul permasalahan, bagaimana anak yang telah mengenal lingkungan luar, televisi dan lainnya, sehingga terkadang teladan dari orang tua dan Nabi tidak begitu dipedulikan? Di sinilah pentingnya pendidikan keluarga. Jika pondasi pendidikan dari orang tua itu kuat, maka pengaruh-pengaruh tersebut dapat dikatakan bagai suatu hal yang mampir dalam kehidupan anak karena orang tua selalu mengarahkan dan menunjukkan kepeduliannya kepada anak. Dalam suatu keluarga seharusnya kedua orang tua itu seiman agar pendidikan yang diarahkan kepada anak tetap pada satu tujuan. Kita pun tidak boleh lupa bahwa untuk mencapai keluarga yang harmonis unsur utama dalam pendidikan keluarga yaitu adanya rasa kasih sayang dan kewibawaan dari orang tua.
b.      Sekolah
Kegiatan pendidikan pada mulanya dilaksanakan dalam lingkungan keluarga dengan menempatkan peran ayah dan ibu sebagai pendidik utama. Semakin dewasa anak semakin banyak hal yang dibutuhkannya untuk dapat hidup di masyarakat secara layak dan wajar. Karenanya untuk dapat mencapai hal tersebut, anak selain membutuhkan pendidikan keluarga juga membutuhkan lingkungan lain, seperti pendidikan sekolah.
Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang melaksanakan pembinaan   pendidikan dan pengajaran dengan sengaja, teratur dan terencana. Guru-guru yang melaksanakan tugas pembinaan, pendidikan dan pengajaran tersebut adalah orang-orang yang telah memiliki pengetahuan tentang anak didik, dan kemampuan untuk melaksanakan tugas pendidikan.6 Sekolah juga merupakan organisasi kerja atau sebagai wadah kerjasama sekelompok orang untuk mencapai suatu tujuan. Sebagai organisasi atau wadah tentunya ia merupakan alat, bukan tujuan.7
Dari definisi di atas jelas bahwa sekolah itu adalah suatu lembaga atau organisasi yang melakukan kegiatan pendidikan berdasarkan kurikulum tertentu yang melibatkan sejumlah murid dan guru yang harus bekerja sama untuk suatu tujuan.
Eksistensi sekolah sebagai lembaga pendidikan formal sudah dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Plato adalah orang pertama yang meninggalkan catatan tertulis mengenai ruang kelas dan sekolah. Sekolah pertama orang Athena sangat sederhana. Sekolah itu berupa tambahan dari suatu program pendidikan yang dititikberatkan pada latihan kemiliteran, atletik, musik, dan puisi. Pengajaran membaca, menulis, dan berhitung hanya pelajaran sampingan saja. Pendidikan di Athena itu bersifat tutorial. Ketika Athena menjadi lebih demokratis, jumlah murid yang semakin bertambah, maka secara berangsur-angsur hubungan tutorial itu diganti dengan pengajaran kelompok.
Adapun pertumbuhan dan perkembangan pendidikan sekolah dalam Islam meliputi:
1)      Sekolah Zaman Rasulullah SAW
Kondisi aktivitas persekolahan baru mengalami perubahan yang berarti ketika Islam lahir. Bagi bangsa Arab, masjid merupakan sekolah pertama yang bersifat umum dan sistematis. Di masjid anak-anak dan orang dewasa menuntut ilmu. Masjid juga digunakan oleh kaum fakir miskin untuk berlindung dari dinginnya udara sambil belajar agama. Terkadang masjid digunakan untuk latihan perang. Dengan demikian masjid tetap difungsikan untuk dua kepentingan yang saling menunjang hingga pada masa khalifah Umar bin Khatttab yang membangun tempat-tempat khusus untuk anak-anak menuntut ilmu, di sudut-sudut masjid.  Sejak zaman itulah pendidikan anak mulai tertata. Hari Jum’at merupakan hari libur mingguan sebagai waktu menyiapkan shalat Jum’at, di mana usulan itu berasal dari Umar bin Khattab. Masjid menjadi pusat pengajian yang di dalamnya terdapat kelompok-kelompok studi yang setara dengan SMA sekarang.
2)      Sekolah Periode Abbasiyah Akhir
Setelah kekhalifahan Abbasiyah berpindah dari satu periode ke periode selanjutnya, banyak negara kecil yang berhasil melepaskan diri dari kekhalifahan. Mereka mulai membangun tempat-tempat pengajian ilmu atau madrasah dengan sistem internal dan setiap lokal madrasah memuat sepuluh orang siswa. Sekolah terlihat dalam bentuk kubah-kubah yang menyembul dari kebun-kebun milik masyarakat. Di kota-kota terdapat madrasah seperti madrasah Al-Zhariyah yang didirikan oleh Raja Zhahir, dan madrasah Al-Nuriyah yang didirikan oleh Nuruddin Zanki. Sistem pengajaran di madrasah tetap memiliki otonomi sendiri, baik dalam sistem kurikulum, referensi, metode, dan lain-lain. Hubungan madrasah dengan pemerintah hanya menyangkut masalah pendanaan.
3)      Sekolah Zaman Modern
Terselenggaranya sekolah-sekolah modern seperti yang kita lihat sekarang lebih disebabkan oleh adanya perubahan sistem kehidupan politik. Artinya negara merasa perlu mengurus rakyat dan memandang dirinya bertanggung jawab terhadap seluruh masalah pangan, kekayaan, kecenderungan politik yang semua itu berkaitan dengan perwujudan kemerdekaan, kemuliaan dari para pejabat negara, serta kehormatan negara di mata negara lain. Seluruh persoalan tersebut ditumpukan pada pendidikan. Itulah alasan sosial dan politik yang memotivasi pemerintah untuk memegang kendali pendidikan, termasuk dalam penyiapan kurikulum, bangunan sekolah, maupun tenaga pengajaranya.
Seperti telah disebutkan, bahwa dalam perkembangan dunia pendidikan Islam, khalifah sangat menaruh perhatian terhadap keberadaan madrasah, seperti yang dilakukan oleh khalifah Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz. Sepintas lalu sistem Islam dan non Islam tidak berbeda. Namun jika ditinjau lebih jauh, akan ditemukan metode dan aplikasi yang berbeda. Islam memberikan kebebasan penyelenggaraan pendidikan Islam secara penuh kepada pengelola dan rakyat pun percaya atas pengelolaan wakil-wakil mereka karena memiliki aturan dan tujuan yang sama. Sekolah-sekolah Islam tetap berpegang teguh pada tujuan fundamental, yaitu merealisasikan pendidikan Islam demi tercapainya ketaatan kepada Allah dan melahirkan kemanfaatan sosial, ekonomi, keamanan, maupun demokrasi.[41]
Adapun pemindahan lembaga pendidikan dari masjid ke madrasah disebabkan semakin banyak penuntut ilmu dan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan agama dan umum. Hal ini terjadi pada masa Dinasti Abbasiyah akhir dan orang yang berjasa dalam mendirikan madrasah adalah perdana menteri Nizham Al-Mulk.
Sampai sekarang madrasah berkembang ke seluruh negara Islam. Sekolah sebagai jalur pendidikan formal diselenggarakan atas syarat-syarat, tujuan, dan alat-alat tertentu yang pelaksanaannya berpedoman pada:
a)      Kurikulum harus bersifat dinamis terhadap perkembangan masyarakat.
b)      Alat-alat dan media fisik dan nonfisik seperti bahan bacaan Al-Qur’an dan Hadis, alat audio visual, mushalla, dan lain-lain.
    1. Administrasi dan supervisi serta organisasi yang mantap.
    2. Sistem dan metodologi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat”.[42]
c.   Masyarakat
Masyarakat merupakan lingkungan dan lembaga pendidikan ketiga setelah keluarga dan sekolah. Pendidikan masyarakat sudah dimulai sejak anak-anak lepas dari asuhan keluarga dan sekolah. Pendidikan masyarakat dilaksanakan dengan sengaja, tetapi tidak begitu terikat dengan peraturan dan syarat tertentu.[43]
Di masyarakat terdapat lembaga-lembaga pendidikan, seperti masjid, asrama, perkumpulan olahraga, KNPI, Karang Taruna, organisasi kesenian, dan sebagainya yang tidak terikat dengan peraturan dan syarat tertentu. Kesemuanya itu membantu pendidikan dalam membentuk sikap, keagamaan, kesusilaan, dan menambah ilmu. Dalam kaitannya dengan pendidikan Islam akan diterangkan beberapa lembaga dan organisasi yang ada di masyarakat.
1)      Masjid
Setelah Nabi hijrah dari Mekkah ke Madinah, aktivitas pertama yang dilakukan Nabi adalah membangun masjid yang dapat menghimpun kaum muslimin. Sebagai lingkungan pendidikan Islam, masjid mempunyai fungsi:
a)      Fungsi Edukatif
Masjid berfungsi sebagai tempat pembinaan angkatan  perang dan gerakan kemerdekaan, pembebasan umat dari penyembahan berhala, juga tempat manusia dididik supaya memegang teguh keutamaan, cinta kepada ilmu pengetahuan, mempunyai kesadaran sosial, serta menyadari hak dan kewajiban mereka dalam negara Islam.
b)      Fungsi Sosial
Ketika perang menerpa kaum muslimin, masjid digunakan sebagai tempat berlindung, sebagaimana pernah terjadi pada perang Salib pertama dan kedua yang ketika itu kaum muslimin melawan penjajah yang bercokol satu abad lebih. Revolusi Aljazair pun berbasis di pondok-pondok dan sekolah-sekolah Islam yang berada di masjid. Demikian pula gerakan Islam di Pakistan, Afganistan, dan sebagainya.[44]
2)      Asrama
Dalam waktu tertentu hubungan anak dengan keluarga dapat terputus. Terputus ini  mungkin dapat diartikan seorang anak yang salah satu orang tuanya meninggal, sehingga secara lahir terputuslah hubungannya, walaupun secara batin dan hubungan darah tetap ada selamanya. Asrama bukan hanya sebagai tempat penempatan anak yang terputus, namun orang tua bisa bekerja sama dengan pengurus asrama untuk penitipan anak.
Jenis-jenis asrama yang dikenal adalah asrama yatim piatu, asrama tampung karena orang tua tidak mampu atau orang tua menitipkan pendidikan anak kepadanya, asrama yang didirikan dalam sekolah, dan asrama untuk menunjang tercapainya tujuan pendidikan suatu jabatan.
d.   Negara
Negara merupakan alat masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan manusia dalam masyarakat. Karena itu, sebagai organisasi, negara dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan serta dapat menetapkan tujuan bersama.[45]
Bagi kita umat Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah diperintahkan untuk mentaati syariat Allah yang dibawa Rasul dan juga mentaati Ulil Amri (QS. Al-Nisa ayat 59). Allah memerintahkan kepada kita untuk membentuk pemerintahan (khilafah). Pembentukan pemerintahan ini diperintahkan dengan cara pemilihan. Karena itu dalam pemilihan pemerintahan ini umat Islam diminta hati-hati jangan sampai memilih orang-orang anti Tuhan.
Setiap negara mempunyai pandangan hidup berbeda yang dapat mempengaruhi semua aspek kehidupan bernegara, termasuk pendidikan. Pendidikan sebagai upaya sadar untuk membina manusia tidak bisa terlepas dari pandangan hidup manusia Indonesia, yaitu Pancasila.
Sebelum Indonesia merdeka, peluang pendidikan modern bagi umat Islam sangatlah sempit karena sikap dan kebijaksanaan kolonial yang amat diskriminatif terhadap umat Islam (pribumi). Setelah Indonesia merdeka, pemerintah RI sangat memperhatikan masalah pendidikan dengan dibentuknya Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Dalam hal ini dipilih Ki Hajar Dewantara sebagai menterinya.
Berkaitan dengan pasal 31 UUD 1945, mengenai pengelolaan pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah umum dikeluarkan Surat Keputusan Bersama antara Menteri P dan K dan Menteri Agama. Hal ini diatur secara khusus dalam UU No. 4 tahun 1950 pada bab XII pasal 20 dan dalam SKB No. 1432 tanggal 20 Januari 1951 yang isi pokoknya bahwa tiap-tiap sekolah rendah, sekolah lanjutan umum dan sekolah kejuruan diberikan pendidikan agama dan siswa yang berbeda agama dibolehkan meninggalkan jam pelajaran tersebut. Ada satu hal penting bahwa pada masa Orde Lama ini dengan pengejawantahan Manipol Usdek, murid berhak tidak ikut serta dalam pendidikan agama jika wali murid atau murid dewasa menyatakan keberatannya.
Untuk mengubah mental masyarakat yang sudah terindroktrinasi Manipol Usdek Orde Lama, pemerintah mengeluarkan TAP MPRS No.  XXVII/1966 Bab II Pasal 3 yang intinya mempertinggi mental, moral, budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama.
Dalam TAP MPRS No. IV/MPR/1973 (GBHN) dirumuskan tentang hakikat pendidikan, yaitu usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup. Oleh kareana itu, agar pendidikan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat sesuai dengan kemampuan masing-masing individu maka pendidikan merupakan tanggung jawab keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Hal ini jelas sekali bahwa tanggung jawab pendidikan bukan hanya diserahkan kepada negara, tetapi keluarga, sekolah, dan masyarakat harus bekerja sama dengan negara untuk mencapai tujuan pendidikan.
Sebagai usaha untuk menghilangkan dualisme sistem pendidikan yaitu di satu pihak Departemen Agama mengelola semua jenis pendidikan agama maupun umum, dan di lain pihak Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan melaksanakan sistem pendidikan nasional, maka dikeluarkan UU No. 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional yang isinya antara lain semua masalah kurikulum pendidikan di bawah koordinasi Depdikbud sebagai wadah formal terintegrasinya pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional, dan hal ini ditindaklanjuti dengan PP No. 28/1990 kemudian disempurnakan lagi dengan adanya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.


BAB III
MENGENAL PEMIKIRAN JALALUDDIN RAHMAT

A.    Riwayat Hidup Jalaluddin Rahmat
Jalaluddin Rakhmat, lahir di Bandung, 29 Agustus 1949.[1] Kang Jalal, begitu panggilan populernya dikenal sebagai salah satu tokoh cendikiawan dan mubaligh Islam terkemuka di Indonesia, bersama Gus Dur almarhum (KH Abdurahman Wahid) dan Cak Nur almarhum (Prof.Dr. Nurcholis Madjid).[2]
Ibunya adalah seorang aktifis Islam di desanya. Ayahnya adalah seorang kiai dan sekaligus lurah desa. Karena kemelut politik Islam pada waktu itu, ayahnya terpaksa meninggalkan Jalal kecil yang masih berusia dua tahun. Ia berpisah dengan ayahnya puluhan tahun sehingga ia hampir tidak mempunyai ikatan emosional dengannya. Menurut teori ateisme, mestinya Jalal menjadi ateis; tetapi ibunya mengirimkan Jalal ke Madrasah sore hari, membimbingnya membaca kitab kuning malam hari, setelah mengantarkannya ke sekolah dasar pagi hari. Jalal mendapatkan pendidikan agama hanya sampai akhir sekolah dasar.[3]
Dalam suatu wawancara, ia menuturkan : “Saya dilahirkan dalam keluarga Nahdiyyin (orang-orang NU). Kakek saya punya pesantren di puncak bukit Cicalengka. Ayah saya pernah ikut serta dalam perjuangan gerakan keagamaan untuk menegakkan syariat Islam. Begitu bersemangatnya, beliau sampai meninggalkan saya pada waktu kecil untuk bergabung bersama para pecinta syariat. Saya lalu berangkat ke kota Bandung untuk belajar di SMP.”[4]
Karena merasa rendah diri Jalal menghabiskan masa remajanya di perpustakaan negeri, peningggalan Belanda. Ia tenggelam dalam buku-buku filsafat, yang memaksanya belajar bahasa Belanda. Di situ ia berkenalan dengan para filosof, dan terutama sekali sangat terpengaruh oleh Spinoza dan Nietzsche. Ayahnya juga meninggalkan lemari buku yang dipenuhi oleh kitab-kitab berbahasa Arab. Dari buku-buku (kitab) peninggalan ayahnya itu, ia bertemu dengan Ihya Ulum al-Din-nya al Ghazali.[5] Ia begitu terguncang karenanya sehingga seperti (dan mungkin memang) gila. Ia meninggalkan SMA-nya dan berkelana menjelajah ke beberapa pesantren di Jawa Barat. Pada masa SMA itu pula ia bergabung dengan kelompok Persatuan Islam (Persis) dan aktif masuk dalam kelompok diskusi yang menyebut dirinya Rijalul Ghad atau pemimpin masa depan.
Ini pun tidak berlangsung lama. Ia kembali ke SMA-nya. Karena keinginannya untuk mandiri, ia mencari perguruan tinggi yang sekaligus memberikan kesempatan bekerja kepadanya. Ia masuk kuliah Fakultas Publisistik, sekarang Fakultas Ilmu Komunikasi, Unpad Bandung. Pada saat yang sama, ia memasuki pendidikan guru SLP Jurusan Bahasa Inggris. Ia terpaksa meninggalkan kuliahnya, ketika ia menikah dengan santrinya di masjid, Euis Kartini. Setelah berjuang menegakkan keluarganya, ia kembali lagi ke almamaternya.
“Saat yang sama, saya juga bergabung dengan Muhammadiyah, dan dididik di Darul Arqam Muhammadiyah dan pusat pengkaderan Muhammadiyah. Dari latar belakang itu saya sempat kembali ke kampung untuk memberantas bidáh, khurafat dan takhayul. Tapi yang saya berantas adalah perbedaan fiqih antara Muhammadiyah dan fiqih NU orang kampung saya. Misi hidup saya waktu itu saya rumuskan singkat: menegakkan misi Muhammadiyah dengan memuhammadiyahkan orang lain. Saya membuang beduk dari mesjid di kampung saya, karena itu dianggap bidáh. Tapi apa yang kemudian terjadi? Saya bertengkar dengan Uwa’ (Paman) saya yang membina pesantren dan dengan penduduk kampung. Sebab ketika semua orang berdiri untuk shalat qabliyah Jumát, saya duduk secara demonstratif. Saya hampir-hampir dipukuli karena membawa fiqih yang baru itu.’’[6]
Sebagai kepala keluarga, ia sangat bahagia karena dikaruniai lima orang anak dan empat orang cucu. Sebagai hamba Allah, ia masih juga merasa belum sanggup mengsyukuri anugrah-Nya.
Dalam posisinya sebagai dosen, ia memperoleh beasiswa Fulbright dan masuk Iowa State University. Ia mengambil kuliah Komunikasi dan Psikologi. Tetapi ia lebih banyak memperoleh pengetahuan dari perpustakaan universitasnya. Berkat kecerdasannya Ia lulus dengan predikat magna cum laude. Karena memperoleh 4.0 grade point average, ia terpilih menjadi anggota Phi Kappa Phi dan Sigma Delta Chi.[7]
Pada tahun 1981, ia kembali ke Indonesia dan menulis buku Psikologi Komunikasi. Ia merancang kurikulum di fakultasnya, memberikan kuliah dalam berbagai disiplin, termasuk Sistem Politik Indonesia. Kuliah-kuliahnya terkenal menarik perhatian para mahasiswa yang diajarnya. Ia pun aktif membina para mahasiswa di berbagai kampus di Bandung. Ia juga memberikan kuliah Etika dan Agama Islam di ITB dan IAIN Bandung, serta mencoba menggabungkan sains dan agama.
Kegiatan ekstrakurikulernya dihabiskan dalam berdakwah dan berkhidmat kepada kaum mustadháfin. Ia membina jamaah di masjid-masjid dan tempat-tempat kumuh gelandangan. Ia terkenal sangat vokal mengkritik kezaliman, baik yang dilakukan oleh elit politik maupun elit agama. Akibatnya ia sering harus berurusan dengan aparat militer, dan akhirnya dipecat sebagai pegawai negeri. Ia meninggalkan kampusnya dan melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke kota Qum, Iran, untuk belajar Irfan dan filsafat Islam dari para Mullah tradisional, lalu ke Australia untuk mengambil studi tentang perubahan politik dan hubungan internasional dari para akademisi moderen di ANU. Dari ANU inilah ia meraih gelar Doktornya.
Sekarang, lénfant terrible ini kembali lagi ke kampusnya, Fakultas ilmu Komunikasi, Unpad. Ia juga mengajar di beberapa perguruan tinggi lainnya dalam Ilmu Komunikasi, Filsafat Ilmu, Metode Penelitian, dll. Secara khusus ia pun membina kuliah Mysticism (Irfan/Tasawuf) di Islamic College for Advanced Studies (ICAS)- Paramadina University, yang ia dirikan bersama almarhum Prof.Dr. Nurcholis Madjid, Dr. Haidar Bagir, dan Dr. Muwahidi sejak tahun 2002.[8]
B.     Aktivitas Intelektual Jalaluddin Rahmat
Di tengah kesibukannya mengajar dan berdakwah di berbagai kota di Indonesia, ia tetap menjalankan tugas sebagai Kepala SMU Plus Muthahhari Bandung, sekolah yang yang didirikannya dan kini menjadi sekolah model (Depdiknas) untuk pembinaan akhlak. Sebagai ilmuwan ia menjadi anggota berbagai organisasi professional, nasional dan internasional, serta aktif sebagai nara sumber dalam berbagai seminar dan konferensi. Sebagai mubaligh, ia sibuk mengisi berbagai pengajian. Jamaah yang bergabung dengannya menyebut diri mereka sebagai “laron-laron kecil… menuju misykat pelita cahaya ilahi”.[9] Misykat juga menjadi pusat kajian tasawuf dan sekaligus nama jamaáhnya.
Sebagai aktifis ia membidani dan menjadi Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) yang kini sudah mempunyai hampir 100 Pengurus Daerah (tingkat kota) di seluruh Indonesia dengan jumlah anggota sekitar 2,5 juta orang. Ia juga menjadi pendiri Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta bersama Dr. Haidar Bagir dan Umar Shahab,MA.[10]
Keaktifannya sebagai intelektual mengantarkannya untuk menghasilkan puluhan buku dalam berbagai disiplin keilmuan dan tema. Lebih dari 45 buku sudah dia tulis dan diterbitkan oleh beberapa penerbit terkemuka. Kini ia mencoba mengembangkan jangkauan pencerahan pemikiran umat dan dakwahnya melalui dunia cyber. Website The Jalal Center for the Enlightenment,[11] ini pun menjadi rumah maya kita bersama dan kampus virtual yang mudah dijangkau dari berbagai penjuru dunia. Dakwahnya pun makin bergaung melalui layanan SMS yang menyajikan ayat Qur’an, hadits dan hikmah lainnya, melalui REG JALAL (kirim ke 9388). Hasil keuntungan dari layanan dakwah SMS ini didedikasikannya untuk membiayai kegiatan dakwah dan pendidikan yang dikelola para ustadz, madrasah dan pesantren di berbagai peloksok Nusantara, yang dibinanya.
Selain aktif sebagai dosen di berbagai perguruan tinggi, Kang Jalal aktif berdakwah dan berkhidmat kepada kaum mustadháfin. Ia membina jamaah di masjid-masjid dan di tempat-tempat kumuh dan gelandangan. Belakangan (3 tahun yang lalu) ia mendirikan sekolah gratis : SMP Plus Muthahhari di Cicalengka Bandung yang dikhususkan untuk siswa miskin. “Obsesi saya yang lain, melihat SMP Muthahhari berdiri di seluruh pelosok tanah Air sehingga anak-anak miskin tidak terputus aksesnya dari pendidikan. Mereka tidak bayar apapun, namun semua fasilitas disediakan dan mutu pendidikan yang diperolehnya tetap bermutu”.[12]
Dari pengalaman hidup masa remajanya ketika mengalami pubertas beragama, Kang Jalal akhirnya menemukan bahwa fiqih hanyalah pendapat para ulama dengan merujuk pada sumber yang sama, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Menurutnya “kalau orang menentang Al-Qur’an dan Sunnah, jelas ia kafir. Tapi kalau hanya menentang pendapat orang tentang Al-Qur’an dan Sunnah, kita tidak boleh menyebutnya kafir. Itu hanya perbedaan tafsiran saja”.[13] “Karena itulah kemudian saya berfikir bahwa sebenarnya ada hal yang mungkin mempersatukan kita semua, yaitu akhlak. Dalam bidang akhlak, semua orang bisa bersetuju, apapun mazhabnya. Lalu saya punya pendirian: kalau berhadapan dengan perbedaan pada level fiqih saya akan dahulukan akhlak”.[14]
Belum lama ini, ia bersama sejumlah tokoh populer, antara lain KH Abdurahman Wahid, Prof. Dr. Quraisy Shihab, hingga Dawam Raharjo, memperoleh atribut sesat lewat sebuah buku berjudul Aliran-aliran Sesat. ”Saya anggap saja numpang beken. Karena tidak hanya saya yang dicap sesat, tapi juga Gus Dur dan Ustadz Quraisy Shihab,” kelakarnya. Cap sesat acap dilekatkan padanya mungkin karena kedekatannya dengan komunitas agama lain. Ia tidak saja begitu toleran kepada Ahmadiyah yang dianggap sesat oleh MUI, tapi juga dengan umat lain. Cendikiawan yang belakangan dipanggil kiai ini sering juga diminta berbicara di gereja dan forum-forum umat Kristiani.
Bahkan Pluralisme menjadi isu yang kini kerap digaunkannya. Pluralisme versi Kang Jalal adalah menghormati dan mengapresiasi perbedaan dan tidak memaksakan pemahaman dan penafsiran kita tentang keselamatan dan kebenaran kepada pihak lain. Ia ingin menampilkan wajah Islam yang benar-benar “Rahmatan lil Álamin”. Yakni Islam apa adanya yang rasional-progresif (modern) namun tidak meninggalkan pedoman Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Pendekatannya terhadap Islam yang moderat, yang mengharmoniskan aktifitas dan metode pendekatan “fikir” dan “zikir” secara proporsional, mendayung di antara dua karang ekstrimitas: Liberalisme dan Fundamentalisme Literal.
Kang Jalal panggilan popular dari Jalaluddin Rakhmat, adalah nama yang identik dengan perkembangan tasawuf kota (urban sufism). Bahkan, bisa dibilang dialah yang merintis kajian-kajian tasawuf dengan kelompok sasaran masyarakat kelas menengah perkotaan, yaitu kalangan pengusaha, pejabat, politisi, selebriti, dan kalangan profesional dari berbagai bidang yang rata-rata berpendidikan baik (well educated).
Hal ini bisa dilihat ketika pria yang akrab disapa Kang Jalal itu mendirikan dan Pusat Kajian Tasawuf (PKT): Tazkia Sejati, OASE-Bayt Aqila, Islamic College for Advanced Studies (ICAS-Paramadina), Islamic Cultural Center (ICC) di Jakarta, PKT Misykat di Bandung. Di lembaga-lembaga inilah putra Kiai Haji Rakhmat dan ahli komunikasi lulusan Iowa State University, AS, ini secara intensif menyampaikan pengajian atau kuliah-kuliah tasawufnya kepada masyarakat urban yang dahaga akan siraman ruhani Islam.
Bekal pendidikannya yang diperoleh di negara-negara maju setelah meraih masternya di Amerika Serikat, ia juga memperoleh gelar doktor dari Australian National University-menjadikan Kang Jalal cukup paham idiom-idiom masyarakat kelas menengah perkotaan dan memahami model dakwah Islam seperti apa yang mereka inginkan. Itulah sebabnya dakwahnya mudah diterima oleh audiensnya yang kebanyakan orang-orang terdidik dengan kehidupan ekonomi yang baik itu.
Sejak kecil, Kang Jalal sebenarnya bercita-cita menjadi pilot, bukan juru dakwah. Meskipun demikian, Jalal kecil sudah akrab dengan kehidupan bernuansa agamis dalam keluarga, meski sekolah formalnya sendiri bukan sekolah Islam. Jalal kecil memulai pendidikan formalnya dimulai dari Sekolah Dasar (SD) di kampungnya. Lalu ia meninggalkan kampung halamannya guna melanjutkan sekolah di SMP Muslimin III Bandung. Jalal terbilang murid yang cerdas, buktinya sejak kelas satu SMP sampai tamat, ia selalu menjadi juara kelas. Itulah sebabnya ia hanya dibebani biaya sekolah satu kuartal saja, selebihnya beasiswa. Lulus SMP, Jalal melanjutkan ke SMA II Bandung. Kemudian dengan bekal ijazah SMA ia melanjutkan studinya di Fakultas Publisistik Universitas Padjajaran (UNPAD) yang sekarang berganti nama menjadi Fakultas Ilmu Komunikasi.
Menurut pengakuannya, kuliah di Fakultas Publisistik itu hanya kebetulan. Karena desakan ekonomi, ia kuliah di Fakultas Publisistik yang belajarnya sore, sehingga pagi hari ia masih bisa mencari tambahan biaya hidup. Maklum sejak kecil ia sudah ditinggal oleh ayahnya. Untuk tetap membekali Jalal dengan pendidikan agama sepeninggal ayahnya, ibunda Kang Jalal menitipkannya kepada kiai Sidik, seorang kiai NU. Dari kiai Sidik inilah Jalal diperkenalkan dengan Ilmu Nahwu (gramatika) dari kitab Jurumiyah dan Sharaf (ilmu yang membahas perubahan kata dalam bahasa Arab). Menurut Kang Jalal, penguasaan literatur dan kemampuan bahasa Arabnya Kiai Sidik sangat fasih. Kiai Sidiklah yang berjasa membimbing Kang Jalal mengenal dan memahami beberapa bab dari kitab Alfiah Ibnu Malik.
Ketika memasuki usia remaja, Jalal membaca kitab Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, karya besar Imam al-Ghazali. Buku itu telah menggoncangkan jiwanya, kemudian mengubah cara pandangnya tentang dunia. “Saya merasa dunia ini terlalu banyak dilumuri dosa,” ujarnya.[15] Oleh karenanya kehidupan dunia harus ditinggalkan. Setelah mengalami goncangan itu Jalal nekad meninggalkan sekolah dan pergi ke pesantren. Tapi pihak pesantren ternyata merasa keberatan menerima Jalal sebagai santrinya. Bukan karena ia hanya membawa beberapa liter beras, tapi karena ia hanya datang sendiri tanpa diantar oleh orang tua. Setelah peristiwa itu ia pun melanjutkan kembali sekolahnya hingga tamat.
Materi dakwah yang dibawakan Jalal muda dengan pemahaman Islam yang lebih rasional, membumi dan lebih membela orang-orang lemah baik dari sisi ekonomi, pendidikan, politik (kaum mustadl‘afîn) mengundang kontroversi. Bagi kaum muda, da’i model Kang Jalal memang cocok dengan semangat mereka. Sementara bagi kalangan tua dan mereka yang lebih senior dalam jenjang keulamaan, kehadiran Jalal kurang disukai. Sebagai kelanjutan ketidaksukaan itu Jalal dicap sebagai agen Syiah dan dianggap meresahkan masyarakat. Maka pada 1985 ia pun “diadili” oleh Majelis Ulama Kotamadya Bandung dengan “hukuman” dilarang berceramah di kota kota Bandung.[16]
Larangan ceramah yang dikeluarkan oleh MUI kota Bandung tidak menghentikan langkah Kang Jalal untuk tetap berdakwah. Meskipun kali ini dakwahnya lebih banyak pada dakwah dengan tulisan. Karena ketika ada larangan ceramah, Kang Jalal lebih banyak waktu untuk menulis artikel dan buku. Tak lama kemudian, undangan untuk ceramah pun datang dari Yayasan Paramadina milik Dr. Nurcholish Madjid di Jakarta. Jalal diminta untuk menjadi salah satu pengisi materi pada pengajian rutin yang diselenggarakan oleh Yayasan tersebut. Dan sejak itu Jalal malah laris ceramah di luar Bandung, dan ia pun memiliki akses dan reputasi nasional dan internasional. Masih dalam bidang dakwah, pada 3 Oktober 1988 bersama-sama Haidar Baqir, Agus Effendy, Ahmad Tafsir, dan Ahmad Muhajir, Kang Jalal mendirikan Yayasan Muthahari. Salah satu tujuan dari didirikannya yayasan ini adalah menumbuhkan kesadaran Islami melalui gerakan dakwah yang direncanakan secara professional berbekal ilmu pengetahuan moderen dan khazanah keilmuan Islam tradisional.
Sukses di Bandung, Kang Jalal merambah Jakarta. Dengan dukungan dana dan fasilitas dari keluarga H.Sudharmono, mantan wakil presiden semasa Orde Baru, Kang Jalal pernah mendirikan pusat kajian tasawuf dengan nama Yayasan Tazkiya Sejati.
Lalu pada 2004 Kang Jalal juga mendirikan dan memimpin satu forum lagi yang khusus bergerak di bidang kajian tasawuf, yaitu Kajian Kang Jalal (KKJ) yang pernah bermarkas di Gedung Bidakara, dan kini KKJ tiap bulannya dilaksanakan di Universitas Paramadina, Jln. Gatot Subroto, Kav.96-97, Mampang, Jakarta.
Berikutnya, tahun 2003 bersama Cak Nur, Dr. Muwahidi dan Dr Haidar Bagir ia mendirikan ICAS-Paramadina, bersama Haidar Bagir dan Umar Shahab ia mendirikan Islamic Cultural Center (ICC), sejak tahun 2004 ia membina LSM OASE dan Bayt Aqila dan aktif membina Badan Perjuangan Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan (BPKBB), sebuah forum dialog. silaturahmi dan kerjasama atak tokoh-tokoh pemimpin agama-agama dan aliran kepercayaan di Indonesia. Terakhir sejak Agustus 2006 Ia membina The Jalal-Center for Enlightenment (JCE) di Jakarta..
Selain aktif berdakwah, Kang Jalal juga mengisi seminar keagamaan di berbagai tempat, mengajar di Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ICAS-Paramadina & ICC Jakarta dan UNPAD Bandung. Dan yang tetap ia lakukan di tengah kesibukannya ialah menyisihkan waktu untuk mengisi pengajian rutin (Kuliah Ahad Pagi) di Masjid al-Munawarah, masjid di dekat rumah yang jama’ahnya sudah dibina sejak tahun 1980-an. Juga, tahun 2001-2003 setiap pagi ia sering mengisi pengajian rutin yang disiarkan langsung oleh radio Ramako Group di Jakarta.[17]
  1. Pada Mulanya Ahli Fikih
Sebenarnya, pria kelahiran Bojong Salam Rancaekek, Bandung, pada 29 Agustus 1949 ini pada mulanya adalah seorang ahli fikih. Dakwah yang ia sampaikan pun dengan sendirinya lebih kental nuansa fikihnya. Malahan, ia pernah berbangga diri bahwa dalam setiap debat mengenai fikih ia selalu berhasil “menaklukkan” lawan-lawannya. Kebanggaan yang berlebihan sempat membuatnya lupa diri dan kelewat PeDe (percaya diri) bahkan sombong. Banyak sekali paham keislaman yang sudah mapan di tengah masyarakat Bandung ia libas. Misalnya, ia menentang tahlilan untuk orang meninggal, bolehnya kawin mut’ah, perlunya menambah rukun Islam dengan amar makruf nahi munkar, dan lain-lain.[18]
Keponggahan dan kesombongan intelektual itu kemudian berhenti ketika salah seorang jamaah Kang Jalal yang bernama Darwan meninggal dunia akibat ditabrak kereta api di dekat stasiun Kiaracondong. Menurut penuturan Kang Jalal dalam pengantar bukunya Rindu Rasul, Darwan yang pengetahuan agamanya sangat sederhana, tidak banyak tahu tentang tafsir dan hadis, pada menit-menit terakhir hidupnya, yang ia ingat hanya Nabi Muhammad, dan bulan itu adalah bulan Maulid. Ia pun berpesan pada istrinya agar bikin selamat buat kanjeng Nabi. Ia tidak ingat anak, ubi-ubi yang ia tanam, dan semua harta yang ia miliki. Peristiwa itulah di antaranya yang meruntuhkan keponggahan dan kesombongan intelektual Kang Jalal yang memahami agama.
Tahun 1983-1985 Kang Jalal aktif memberikan kajian rutin atas buku-buku karya para tokoh Ikhwanul Muslimin Mesir seperti Hasan al-Bana, Said Hawa, Syayid Qutb kepada para mahasiswa di Mesjid Salman ITB, Bandung, sebelum ia akhirnya mulai melirik kitab-kitab dan pemikiran para tokoh Syiah
  1. Tertarik dengan Tasawuf
Jalal sendiri mengenal dunia tasawuf dan tertarik dengan tasawuf, ketika bersama-sama Haidar Bagir dan Endang Saefuddin Anshory diundang pada sebuah konferensi di Kolombia pada 1984. Dari konferensi itu ia bertemu dengan ulama-ulama asal Iran yang memiliki pemahaman mendalam tentang tasawuf dan ia merasa kagum pada mereka. Ia pun mendapat hadiah banyak buku dari ulama Iran tersebut, yang di dalamnya banyak membahas masalah ‘irfân (tasawuf).
Pascapulang dari konferensi tersebut, Kang Jalal banyak tertarik dengan dunia tasawuf termasuk pemikiran ulama-ulama Syiah Iran seperti Imam Khomeini, Murtadha Muthahari, dan lain-lain. Para ulama tersebut disamping memiliki kualitas keilmuan yang tinggi, mereka juga memiliki integritas moral yang luar biasa. Maka, menurut Kang Jalal, sosok seperti Murtadha Muthahari bisa dijadikan sebuah model keterbukaan. Tak heran jika sejak saat itu tulisan-tulisan Kang Jalal banyak mengutip pendapat dari tokoh-tokoh tersebut. Tentang Imam Khomeini, ia melihatnya sebagai sosok pejuang yang tangguh dan sekaligus seorang sufi besar yang aktivitas politiknya bisa mengguncang dunia, termasuk merepotkan negara penindas sebesar Amerika sekalipun.[19]
C.    Karya-karya Jalaluddin Rahmat
Kang Jalal dapat digolongkan sebagai da’i dan cendekiawan yang produktif. Dalam perjalanan karirnya ia sudah banyak menghasilkan karya-karya ilmiah, baik yang berupa buku, majalah, buletin, makalah, artikel, kata pengantar beberapa buku yang sudah terbit dan beredar di toko-toko buku. Lebih dari 40 buku telah ditulisnya dan terbit. Adapun buku-buku yang sudah terbit di antaranya:
1.      Psikologi Komunikasi (1985)
Dalam buku ini Kang Jalal mengatakan bahwa kualitas hidup kita, hubungan kita dengan sesama manusia, dapat ditingkatkan dengan memahami dan memperbaiki komunikasi yang kita lakukan. Kita dapat mempelajarinya dengan berbagai tinjauan tentang komunikasi dan psikologi seperti yang diuraikan.
Buku ini merupakan kumpulan dari ceramah-ceramah penulis di ITB, yang kemudian diedit dan disarikan kembali oleh Haidar Baqir. Buku ini berisi 5 bagian yang masing-masing bagian terdiri dari beberapa pokok bahasan. Bagian pertama, berbicara Islam sebagai rahmat bagi alam. Bagian kedua, Islam pembebas mustadl’afîn. Bagian ketiga, Islam dan pembinaan masyarakat. Bagian keempat Islam dan ilmu pengetahuan, dan bagian kelima, Islam Madzhab Syiah.
2.      Islam Alternatif (1986).
Buku ini merupakan kumpulan dari artikel yang telah dimuat oleh beberapa media massa, mulai dari Tempo, Gala, Kompas, Pikiran Rakyat, Panji Masyarakat, Jawa Pos dan Berita Buana. Menurut pengakuan penulis dalam pengantar buku ini, buku ini memang tidak utuh, karena merupakan percikan-percikan pemikiran penulis yang dimaksudkan untuk konsumsi media massa.
 3.      Renungan-Renungan Sufistik (1991).
Meskipun menggunakan judul seperti itu, menurut Kang Jalal, pembaca tidak akan memperoleh penjelasan yang mendalam layaknya buku Suhrawardi Awârif Al-Ma`rifah, dan I hyâ’ ‘Ulum al-Dîn, karya sufi besar al-Ghazali. Buku Kang Jalal yang satu ini mengajak kepada pembaca untuk menyesuaikan diri kita dengan perintah Allah (muwâfaqah), bagaimana mencintai rasul dan para imam suci, dan saling menyayangi di antara hamba Allah (munâsabah), bagaimana melawan keinginan hawa nafsu (mukhâlafah), serta bagaimana memerangi setan (mu hârabah).
4.      Retorika Moderen (1992)
Buku ini berupaya memberikan petunjuk-petunjuk praktis dalam retorika: Persiapan, penyusunan, dan penyampaian pidato; lengkap dengan bahasan khusus mengenai pidato informatif, persuasif dan rekreatif. Petunjuk-petunjuk itu dilandasi teori-teori ilmiah.Kita ingin memasyarakatkan retorika yang berbobot yang melahirkan tuan dan puan, apa pun pekerjaan Anda. Banyak orang keliru menganalisis seolah-olah kemajuan dunia
5.      Catatan Kang Jalal (1997).
Catatan Kang Jalal (1997). Buku ini merupakan kumpulan dari tulisan-tulisan Kang Jalal yang telah dimuat di berbagai media massa. Isinya berupa ceramah-ceramah spontan, makalah santai dan serius, obrolan ringan dan berat, yang berlangsung dari 1990-an, kemudian disarikan kembali oleh Miftah Fauzi Rakhmat. Ada beberapa visi yang ingin dilontarkan penulis dalam buku ini. Yakni visi media, visi politik, visi pendidikan, visi tranformasi sosial, visi feminisme dan visi ukhuwah yang perlu dibangun.
6.      Reformasi Sufistik (1998).
Seperti buku Jalal yang lain, buku ini pun merupakan respon penulis atas berbagai persoalan yang sedang terjadi di tengah masyarakat, mulai dari politik, kepemimpinan nasional, kekerasan sosial, demokrasi, keadilan, figur pemimpin Nabi, sampai persoalan sufistik. Digunakannya nama reformasi pada judul buku ini tentunya tidak luput dari situasi sosial yang berkembang saat itu, sisi lain mungkin karena pertimbangan bisnis agar lebih aktual dan menarik.
7.      Jalaluddin Rakhmat Menjawab Soal-Soal Islam Kontemporer (1998).
Buku ini seperti yang dikatakan oleh sang editor, Hernowo, merupakan kumpulan dari tanya jawab pengajian yang diasuh Kang Jalal mulai dari tahun 1980-an sampai 1998, baik yang berlangsung di Masjid Salman maupun di Masjid Jami Al-Munawarah. Oleh editor buku ini dibagi menjadi 4 bagian. Bagian pertama, berisi bahasan seputar ibadah mahdah, bagian kedua, membahas masalah mu’amalah, bagian ketiga, membahas ahl al-bait, dan bagian keempat, menyajikan tafsir hadis, dan masalah-masalah kontemporer.
8.      Meraih Cinta Ilahi: Pencerahan Sufistik (1999).
Seperti pada buku-buku Kang Jalal sebelumnya, isi pesan dalam buku ini juga hampir sama dengan buku-buku terdahulu. Hanya sedikit saja perbedaannya. Kalau dibandingkan dengan buku Reformasi Sufistik, buku ini lebih banyak mengangkat persoalan sufistik. Lewat buku ini penulis mengajak para pembaca bagaimana berusaha untuk menjadi kekasih Allah, seperti uraian pada Bab I. Caranya melalui ibadah ritual dan ibadah sosial seperti penjelasan dalam Bab II dan III. Penulis juga mengajak kita untuk melihat kembali sejarah masa lalu umat Islam (Bab IV), sedangkan pada Bab V disajikan tafsir surat-surat pendek.
9.      Tafsir Sufi Al-Fâtihah (1999).
Menurut Kang Jalal dalam pengantar buku ini, sampai sekarang tafsir sufi (isyâri) atau disebut juga tafsir simbolis, keberadaannya masih diperdebatkan. Karena seperti ditulis oleh al-Zarqani, tafsir ini adalah ta’wil al-Qur’an tanpa mengambil makna lahirnya untuk menyingkapkan petunjuk tersembunyi yang tampak pada para pelaku suluk dan ahli tasawuf. Namun demikian Jalal nampaknya ingin meyakinkan kepada para pihak yang keberatan dengan tafsir sufi ini, dengan membeberkan apa itu tafsir dan apa itu ta’wil. Secara garis besar buku ini membahas apakah tafsir sufi itu diperlukan atau menyesatkan.
10.  Rekayasa Sosial: Reformasi Atau Revolusi? (1999).
Gelombang Reformasi pasca Orde Baru memunculkan isu-isu utama tentang perubahan sosial. Persoalan buku ini adalah: Apakah perubahan sosial itu sesuatu yang ada dalam jangkauan ikhtiari, atau sesuatu yang determinan? Kalau bersifat ikhtiari, maka setiap waktu perubahan itu bisa dilakukan melalui upaya-upaya yang berjalan secara alamiah atau normal. Tetapi kalau perubahan itu bersifat tergantung, maka harus ada upaya secara radikal yang disusun, guna membedah penyumbatan dalam sistem tatanan sosial yang ada. Inilah yang sering disebut dengan istilah revolusi.
11.  Rindu Rasul (2001).
Melalui buku ini kang Jalal ingin menceriterakan kepada pembaca bagaimana dahulu ia tidak suka shalawat yang macam-macam, membaca barjanji, minta syafaat kepada Nabi. “Paham modernis yang merasuki pikiran serta kepongahan intelektual yang palsu telah menjauhkan saya dari cinta kepada Nabi saw,” demikian pengakuan Kang Jalal dalam pengantar buku ini. Maka lewat buku ini ia ingin menumpahkan kerinduannya kepada Rasul kesayangannya yang untuk sementara waktu kurang diindahkan. Secara khusus buku ini ingin mengajak kepada pembaca untuk lebih dekat, mengenal, memahami dan mencintai Rasulullah manusia pilihan, nabi teladan dan pemberi syafa’at di hari kemudian.
12.  Dahulukan Akhlak Di Atas Fikih (2002).
Buku ini berisi pesan agar umat Islam tidak terpecah-belah oleh karena perbedaan fikih yang diyakini. Kang Jalal memaparkan berbagai peristiwa yang kurang harmonis sebagai akibat dari perbedaan fikih di antara masyarakat Islam. Bahkan karena pemahaman fikih yang ia yakini banyak masyarakat Muslim yang kesulitan menjalankan agamanya. Baik tidaknya seseorang akan dinilai sejauhmana ia menjalankan fikih yang diyakini. Padahal fikih sendiri sesungguhnya adalah pemahaman para ulama tentang syariah yang kemungkinan kebenarannya juga tidak mutlak. Kang Jalal juga berpendapat bahwa demi persaudaraan, maka seseorang boleh meninggalkan fikih yang diyakini.
13.  Psikologi Agama (2003)
Buku ini mencoba menyingkap misteri terjauh dan kenyataan terdekat itu dalam proses-proses kejiwaan manusia. Bagaimana kita dapat memahami agama yang begitu kompleks? Agama tentu saja dapat dipelajari dari berbagai pendekatan–Anda boleh memilihnya. Tetapi, dibandingkan dengan pendekatan lain (terutama teologi), pendekatan psikologi adalah yang paling menarik dan manusiawi. Mengapa? Psikologi memperlakukan agama bukan sebagai fenomena langit yang serba sakral dan transenden–biarlah itu menjadi lahan teologi. Ia ingin membaca keberagamaan sebagai fenomena yang sepenuhnya manusiawi. Ia menukik ke dalam proses-proses kejiwaan yang mempengaruhi perilaku kita dalam beragama, membuka “topeng-topeng” kita, dan menjawab pertanyaan “mengapa”. Psikologi, karena itu, memandang agama sebagai perilaku manusiawi yang melibatkan siapa saja dan di mana aja.
14.  Meraih Kebahagiaan (2004)
Melalui buku yang ditebitkan Simbiosa Rekatama Media Bandung ini, Jalaluddin Rakhmat ingin membuktikan bahwa baik penderitaan maupun kebahagiaan, kedua-duanya adalah pilihan kita. Melalui kajian agama, filsafat dan ilmu pengetahuan, serta makna yang hakiki tentang kebahagiaan, Anda dapat memilih cara untuk meraih kebahagiaan yang Anda inginkan. Buku ini juga menerangi perjalanan Anda menuju kebahagiaan dengan menunjukkan jebakan-jebakan kebahagiaan: sukses, kekayaan, dan kesenangan. Kapan saja Anda ditimpa penderitaan, teguhkanlah dalam diri Anda untuk memilih dan meraih kebahagiaan.


15.  Belajar Cerdas Berbasiskan Otak (2005).
Lewat bahasa yang mengalir dan simpel, Jalaluddin Rakhmat menyajikan hal-hal penting berkaitan dengan otak dalam rangka membuat proses belajar dapat dijadikan secara menyenangkan dan efektif. Buku ini dibuka dengan uraian yang cerdas tentang otak kita yang menakjubkan. Bab berikutnya menjelaskan pentingnya memberikan makanan bergizi kepada otak dan kaitan otak dengan gerakan. Bab terakhir membahas sifat otak kita yang suka tantangan dan bagaimana pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan otak. Empat bab yang mengisi buku ini akan membuat perubahan-perubahan mendasar terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Belajar berbasiskan otak akan “menghidupkan” sekolah.
16.  Memaknai Kematian (2006)
Dalam buku ini Kang Jalal mengajak para pembaca untuk merenungkan dan memahami dan memaknai kematian. Kajian eskatologis tentang kematian, hidup sesudah mati, akhirat, pertemuan dengan Tuhan Allah, dll. Dipaparkanya berdasarkan kajian al-Qur’an dan hadits-hadits. Dengan berusaha memaknai kematian, Kang Jalal sekaligus juga mengajak pembaca untuk memaknai kehidupan. Buku ini terbagi dalam dua bagian utama. Bagian Pertama: Menghayati Kematian berbicara tentang Makna dan Misteri Kematian, Kematian dalam Perspektif Sufi. Penjelmaan Amal, Reuni Keluarga di Surga; Bagian kedua membahas Hidup dalam Pengahayatan Kematian: Berjumpa dengan Allah, Menghindari Su’ul Khatimah, Arti penting Ziarah Kubur, Syafaat: Buah Cinta kepada Ahlul Bait, dan Percik-percik Makna Kematian.
17.  Islam dan Pluralisme, Akhlak Al-Quran dalam Menyikapi Perbedaan (2006).
Buku ini membahas Apakah hanya Islam agama yang diterima Allah? Buku ini mencoba mencari jawabannya dalam Al-Quran. Lewat analisis bahasa dan telaah yang tajam atas ragam tafsir yang ada, Kang Jalal mendedah makna Islam dan agama (dîn), mengungkap spirit firman-Allah dalam memandang agama-agama lain dan menyikapi perbedaan itu, serta merumuskan bagaimana kita beriman secara autentik di tengah pluralitas kebenaran itu. Dengan gaya-ungkap yang menawan, segar, dan cerdas, cendekiawan muslim yang pakar komunikasi ini juga mengajak kita menelaah berbagai wacana keislaman dan fenomena keberagamaan kontemporer: dari cara mengenal Tuhan hingga menjadi manusia, dari fundamentalisme hingga ateisme, dan dari penegakan syariat hingga transparansi sosial.
Adapun buku Kang Jalal lainnya yang sudah beredar adalah ‘Khalifah Ali ibn Abi Thalib, Rintihan Suci Ahl-bait, Fathimah Azzahra, Tafsir bi Al-Ma’sur, Zainab al-Qubra, Keluarga Muslim dalam masyarakat Moderen, dan Komunikasi Antar Budaya; semua buku tersebut diterbitkan oleh Rosdakarya Bandung. Sedangkan buku yang berjudul ‘Madrasah Ruhaniah: Berguru Pada Ilahi Di Bulan Suci (Mizan Pustaka, 2005), Sq for Kids (Mizan Pustaka), The Road to Allah (Mizan Pustaka), Khotbah-khotbah di Amerika (Rosdakarya Bandung), Menyinari Relung-relung Ruhani: Mengembangkan EQ dan SQ Cara Sufi (IIMAN dan Penerbit Hikmah, 2002), dan O’Muhammadku: Puisi Cinta Untuk Nabi (Muthahhari Press, 2001). Selain itu, banyak juga karya-karya Kang Jalal yang dikompilasikan dengan para penulis lain dan telah diterbitkan (termasuk yang dimuat di media massa dan elektronik). Misalnya, tulisan-tulisan Kang Jalal bisa dibaca dalam buku Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1994); dan Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam (Jakarta: Paramadina, 1996).
D.    Tujuan dan Metode Pendidikan Islam menurut Jalaluddin Rahmat
Sebagai media refleksi ummat Islam, harus diakui bahwa dunia pendidikan Islam masih diselimuti mendung dan aneka problematika yang belum terurai dari masa ke masa. Diantara problematika dan indikator kemandegan yang selama ini menghantui pendidikan Islam adalah dalam hal yang berkenaan dengan tujuan dan penerapan metode atau strategi dalam pengajaran.
Arma’i Arief sebagaimana dikutip oleh Ismail menyebutkan bahwa persoalan-persoalan yang selalu menyelimuti dunia pendidikan Islam saat ini adalah seputar tujuan dan hasil yang tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat, metode pembelajaran yang statis dan kaku, sikap dan mental pendidik yang dirasa kurang mendukung proses, dan materi pemeblajaran yang tidak progesif”.[20]
Konsep pendidikan Islam yang membahas tujuan, strategi, metode, media, sumber, lingkungan bahkah materi sekalipun memang harus bersifat elastis dalam arti sesuai tuntunan kebutuhan manusia yang selalu tumbuh dan berkembang. Elastis di sini, tidak berarti proses pendidikan Islam tidak memiliki dasar, tetapi sebagai sebuah proses tentu bukan merupakan suatu harga mati, final, dan tuntas terutama yang berhubungan dengan pendukung terjadinya proses dimaksud seperti strategi, metode, media, sumber dan sebagainya.
Menurutnya pendidikan Islam identik dengan dasar ajaran Islam itu sendiri, yaitu Al-Quran dan Al-Hadis”.[21] Pendidikan Islam sebagai sebuah konsep, perumusan atau produk pikiran manusia dalam rangka pelaksaan pembinaan atau produk pikiran manusia dalam rangka pelaksaan pembinaan dan pengembangan potensi peserta didik tidak bersifat baku dan mutlak, tetapi bersifat relatif daya nalar manusia mengkaji kandungan, nilai dan makna wahyu Allah SWT.
Al-Qur’an mengintroduksi dirinya sebagai pemberi petunjuk kepada jalan yang lebih lurus. Petunjuk-petunjuknya bertujuan memberi kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia baik secara pribadi maupun kelompok, dan karena itu ditemukan petunjuk-petunjuk bagi manusia dalam kedua bentuk tersebut”.[22]
Al-Quran dan Hadis sebagai rujukan final telaah, kajian dan sumber teliti. Al-Quran merupakan kebenaran mutlak yang tidak mungkin dan tidak terjadi perubahan. Abdurrahman Saleh sebagaimana dikutip oleh Mahfudz Junaidi mengatakan, seseorang tidak mungkin dapat berbicara tentang pendidikan Islam tanpa mengambil Al-Qur’an sebagai satu-satunya rujukan.[23] Oleh karena itu, kedua wahyu Allah tersebut menjadi dasar pendidikan Islam, sebagaimana Al-Quran Surah al-Hijr ayat 9 :
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ

Artinya : “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya”.[24]
Disamping itu, pendidikan itu berhasil atau tidak, tidak lepas dari sebuah kurikulum. Kurikulum salah satu komponen yang sangat menentukan sistem pendidikan, karena itu kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan dan sekaligus pedoman dalam pelaksaan pengajaran pada semua jenis dan tingkat pendidikan.
Pemikiran Kang Jalal tentang tujuan dan metode pengajaran pendidikan Islam khususnya dapat dilihat dari beberapa pendapatnya dan kurikulum yang pernah dibuatnya pada universitas di mana dia mengajar.
1.      Tujuan Pendidikan Islam Menurut Jalaluddin Rahmat
Tujuan pendidikan di suatu bangsa atau negara ditentukan oleh falsafah dan pandangan hidup bangsa atau negara tersebut. Bedanya falsafah dan pandangan hidup suatu bangsa atau negara menyebabkan berbeda pula tujuan yang hendak dicapai dalam pendidikan tersebut dan sekaligus akan berpengaruh pula terhadap negara tersebut. Begitu pula perubahan politik pemerintahan suatu negara mempengaruhi pula bidang pendidikan, yang sering membawa akibat terjadinya perubahan kurikulum yang berlaku. Oleh karena itu, kurikulum senantisa bersifat dinamis guna lebih menyesuaikan dengan berbagai perkembangan yang terjadi.
Tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh kurikulim dalam pendidikan Islam adalah sejalan dengan tujuan pendidikan Islam dan juga dengan tujuan pendidikan, yaitu membentuk akhlah yang mulia dalam kaitannya dengan tujuan penciptaan manusia, yaitu mengabdi kepada Allah SWT.
Untuk mencapai tujuan dimaksud tidak dapat dilakukan sekaligus malainkan harus melalui tahap-tahap tertentu yang setiap tahap itu harus menuju ke sasaran yang sama, yaitu pengabdian (menyembah) kepada Allah SWT.
Tujuan pendidikan pada dasarnya adalah tujuan tertinggi atau terakhir yaitu tujuan yang tidak ada lagi tujuan di atasnya. Omar Mohammad ath-Thaumy as-Syaibani menjelaskan, kalau kita pandang tentang bentuk yang digambarkan oleh ungkapan tentang tujuan terakhir pendidikan dengan kacamata Al-Qur’an (Islam), maka kita dapatkan tidak ada pertentangan dalam makna dan tidak didapati di dalamnya apa yang bertentangan dengan roh Islam. Pandangan ini akan mengajak kita mengembalikan semua kepada tujuan terakhir, yaitu persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat”.[25] Tujuan terakhir dengan pengertian ini tidak terbatas pelaksanaannya pada institusi-institusi khas seperti sekolah, pondok, masjid dan lain-lain, tetapi wajib dilaksanakan oleh semua institusi yang ada di masyarakat”.[26]
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa pendidikan dalam Islam bertujuan untuk mengabdikan diri kepada Allah. Menyembah (mengabdi) dimaksudkan adalah bersifat ekstensif dan konprehensif, di mana ia tidak terbatas pada pelaksanaan fisik dari ritual agama semata melainkan mencakup seluruh aspek aktivitas: iman, pikiran perasaan dan pekerjaan”.[27] Ibadah dalam pendidikan Islam adalah sarana mengaktualisasikan diri untuk memperoleh derajad taqwa, yang pada akhirnya dengan taqwa itu akan dapat diraih kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan Islam sangat menjunjung tinggi aspek keseimbangan sebagaimana dicermikan dalam firman Allah (QS, Al-Baqarah : 201) dan (QS, Qashash : 77) ;
!$oY­/u $oYÏ?#uä Îû $u÷R9$# ZpuZ|¡ym Îûur ÍotÅzFy$# ZpuZ|¡ym $oYÏ%ur z>#xtã Í$¨Z9$#

Artinya : "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka".[28]
Æ÷tGö/$#ur !$yJÏù š9t?#uä ª!$# u#¤$!$# notÅzFy$# ( Ÿwur š[Ys? y7t7ŠÅÁtR šÆÏB $u÷R9$# ( `Å¡ômr&ur !$yJŸ2 z`|¡ômr& ª!$# šøs9Î) ( Ÿwur Æ÷ö7s? yŠ$|¡xÿø9$# Îû ÇÚöF{$# ( ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÐÐÈ

Artinya : “Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi”.[29]

Tujuan pendidikan agama Islam di atas tidak terlepas dari tujuan agama itu sendiri. Mukti Ali sebagaimana dikuti oleh Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa agama adalah percaya akan adanya Tuhan Yang Esa dan hukum-hukum yang diwahyukan kepada kepercayaan utusan-utusan-Nya untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat”.[30] Tujuan keseimbangan tersebut tentunya mengandung arti yang sangat mendalam dan hanya dapat dicapai melalui proses pencarian pengetahuan melalui pendidikan.
Secara garis besar pendidikan Islam menurut Jalaluddin Rahmat diartikan sebagai upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis dalam rangka membentuk manusia yang memiliki:
1.      Kepribadian Islam
2.      Menguasai Tsaqafah Islamiyah dengan handal
3.      Menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi)
4.      Memiliki skills/ketrampilan yang tepat guna dan berdaya guna.[31]

2.      Metode Pendidikan Islam Menurut Jalaluddin Rahmat
Pada dasarnya, metode pendidikan Islam sangat efektif dalam membina kepribadian anak didik dan memotifasi mereka sehingga aplikasi metode ini memungkinkan puluhan ribu kaum mukminin dapat membuka hati manusia untuk menerima petunjuk Illahi dan konsep-konsep peradaban Islam. Selain itu metode pendidikan Islam akan mampu menempatkan manusia di atas luasnya permukaan bumi dan lamanya masa yang tidak diberikan kepada bumi lainnya.
Metode mengajar dalam pendidikan Islam sebenarnya cukup kaya, terutama pada zaman keemasan Islam dalam perkembangan ilmu pengetahuan seperti telah dibuktikan oleh para intelektual besar Islam yaitu Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Maskawai, Al Mawardi, Ibnu Sina, Al Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Bajah, Ibnu Thufal, Ibnu Kaldun dan lain-lain. Namun  demikian, dalam penerapannya masih saja kurang maksimal.
Apabila proses pendidikan tidak menggunakan metode yang tepat maka akan sulit untuk mendapatkan tujuan pembelajaran yang diharapkan. Sinyalemen ini seluruh pendidik sudah maklum, namun masih saja di lapangan penggunaan metode mengajar ini banyak menemukan kendala. Kendala penggunaan metode yang tepat dalam mengajar banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor ; keterampilan guru belum memadai, kurangnya sarana dan prasarana, kondisi lingkungan pendidikan dan kebijakan lembaga pendidikan yang belum menguntungkan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang variatif”.[32]
Sebagai media refleksi ummat Islam, harus diakui bahwa dunia pendidikan Islam masih diselimuti mendung dan aneka problematika yang belum terurai dari masa ke masa. Diantara problematika dan indikator kemandegan yang selama ini menghantui pendidikan Islam adalah dalam hal menerapkan metode dalam proses pembelajaran”.[33]
Berbagai pendapat dan komentar tentang stagnasi dan ketidak efektifan metode pembelajaran agama Islam pun bermunculan. Armai Arief mengatakan bahwa persoalan-persoalan yang selalu menyelimuti dunia pendidikan Islam sampai saat ini adalah seputar tujuan dan hasil yang tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat, metode pembelajaran yang statis dan kaku, sikap dan mental pendidik yang dirasa kurang mendukung proses, dan materi pembelajaran yang tidak progresif”.[34]
Dari berbagai pendapat tersebut semkain jelas bahwa di antara tantangan pendidikan Islam yang perlu dicarikan alternatif jalan keluarnya adalah persoalan metode. Mengingat, dalam proses pendidikan Islam, metode memiliki kedudukan yang sangat signifikan untuk mencapai tujuan pendidikan Islam. Bahkan metode sebagai seni dalam menstransfer ilmu pengetahuan kepada siswa dianggap lebih signifikan dibansing dengan materi itu sendiri. Ini sebuah realita bahwa cara penyampaian yang komunikatif lebih disenangi oleh siswa, walaupun sebenarnya materi yang disampaikan sesungguhnya tidak terlalu menarik. Sebaliknya materi yang cukup menarik, karena disampaikan dengan cara yang kurang menarik maka materi itu kurang dapat dicerna oleh siswa. Karenanya, penerapan metode yang tepat sangat mempengaruhi keberhasilan dan proses belajar mengajar. Sebaliknya, kesalahan dalam menerapkan metode akan berakibat fatal.
Metode pembelajaran dan mengajar dalam Islam tidak terlepas dari sumber pokok ajaran yaitu Al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai tuntunan dan pedoman bagi umat telah memberikan garis-garis besar mengenai pendidikan terutama tentang metode pembelajaran dan metode mengajar.
Beberapa ayat yang terkait secara langsung tentang dorongan untuk memilih metode secara tepat dalam proses pembelajaran adalah diantaranya dalam surat An Nahl ayat 125 :
äí÷Š$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7­/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ
Artinya : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.[35]

Selain itu, dalam surat Ali Imran ayat 156 sebagai berikut :

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qçRqä3s? tûïÏ%©!$%x. (#rãxÿx. (#qä9$s%ur öNÎgÏRºuq÷z\} #sŒÎ) (#qç/uŽŸÑ Îû ÇÚöF{$# ÷rr& (#qçR%x. xäî öq©9 (#qçR%x. $tRyYÏã $tB (#qè?$tB $tBur (#qè=ÏFè% Ÿ@yèôfuŠÏ9 ª!$# y7Ï9ºsŒ ZouŽô£ym Îû öNÍkÍ5qè=è% 3 ª!$#ur ¾Çøtä àMÏÿäur 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎ÅÁt/ ÇÊÎÏÈ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir (orang-orang munafik) itu, yang mengatakan kepada Saudara-saudara mereka apabila mereka mengadakan perjalanan di muka bumi atau mereka berperang: "Kalau mereka tetap bersama-sama kita tentulah mereka tidak mati dan tidak dibunuh." akibat (dari perkataan dan keyakinan mereka) yang demikian itu, Allah menimbulkan rasa penyesalan yang sangat di dalam hati mereka. Allah menghidupkan dan mematikan. dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan”.[36]

Sebagaimana disinggung sebelumnya, bahwa esensi pendidikan agama Islam terletak pada kemampuannya untuk mengembangkan potensi siswa agar  menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa dan dapat tampil sebagai khalifatullah fi al ardh. Esensi ini menjadi acuan terhadap metode pembelajaran utuk mencapai tujuan yang maksimal
Sedangkan prinsip-prinsip dasar dalam metode menyampaikan materi pelajaran Islam sebagaimana tercantum dalam surat An-Nahl ayat 125. Ayat ini memuat tentang prisnsip-prinsip berdakwah (mengajar, mendidik) yang terdiri dari :
1.      Al-Hikmah (arif-bijaksana bersumber dari Al-Qur’an).
2.      Maudzoh Hasanah (perkataan yang baik, lemah lembut) .
3.      Mujadalah (diskusi, dialog bila perlu berdebat ).[37]



BAB IV
ANALISA TERHADAP PEMIKIRAN JALALUDDIN RAHMAT TENTANG PENDIDIKAN ISLAM

A.    Analisa Terhadap Tujuan Pendidikan Islam
Sebagai salah satu tokoh pemikir pembaharuan, Jalaluddin Rakhmat dalam sejarah pendidikan Islam tercatat sebagai salah satu tokoh pejuang yang banyak memberikan kontribusi pendidikan Islam melalui ide pemikiran dan karya-karyanya dalam pendidikan agama Islam. Salah satunya adalah merancang pengembangan kurikulum pendidikan yang memuat tentang dasar, tujuan, dan metode pendidikan agama di fakultasnya dan memberikan kuliah dalam berbagai disiplin yang tentunya juga banyak dipakai dan ditiru oleh lembaga pendidikan lain yang ada negeri ini.
Sebagaimana disampaiakan pada bab sebelumnya bahwa kurikulum merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan dalam suatu sistem pendidikan karena kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengajaran pada semua jenis dan jenjang pendidikan.
Tujuan pendidikan Islam menurut Kang Jalal sebagaimana telah dipaparkan pada bab sebelumnya yaitu upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis dalam rangka membentuk manusia yang memiliki : 1) kepribadian Islam, 2) menguasai Tsaqafah Islamiyah dengan handal, 3) menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi, 4) memiliki skills/ketrampilan yang tepat guna dan berdaya guna meliputi syari'at, tariqat dan hakikat (ibadah, mu'amalah).ditunjang dengan sains dan teknologi.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa analisis pemikiran Jalaluddin Rahmat tentang pendidikan Islam akan peneliti analisis dengan pendekatan normatif dan yuridis. Peneliti akan mencari keterkaitan pemikirannya dengan norma dan hukum-hukum yang berlaku dalam hal ini kaitannya dengan konteks pendidikan sekarang.
Adapun tujuan pendidikan Islam menurut Kang Jalal akan peneliti analisis secara rinci sebagai berikut :
  1. Kepribadian Islam
Tujuan ini merupakan konsekuensi keimanan seorang muslim, yaitu teguhnya dalam memegang identitas kemuslimannya dalam hidup dan pergaulan sehari-hari. Identitas itu tampak pada dua aspek yang fundamental, yaitu pola berfikirnya (aqliyah) dan pola sikapnya (nafsiyyah) yang berpijak pada aqidah dan ahklak Islam.[1] Menurutnya makna hidup manusia diukur sejauhmana ia berhasil beramal sebaik-baiknya, yakni sejauh mana ia mengembangkan iman dan ilmunya.[2] Sebagaimana firman Allah (QS. Al Kahfi:7) :
$¯RÎ) $oYù=yèy_ $tB n?tã ÇÚöF{$# ZpoYƒÎ $ol°; óOèduqè=ö7oYÏ9 öNåkšr& ß`|¡ômr& WxyJtã ÇÐÈ
Artinya : ”Sesungguhnya kami Telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya”.[3]
Berkaitan dengan pengembangan keperibadian dalam Islam ini, paling tidak terdapat tiga langkah upaya pembentukannya sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw., yaitu :
a.       Menanamkan aqidah Islam kepada seorang manusia dengan cara yang sesuai dengan kategori aqidah tersebut, yaitu sebagai aqidah aqliyah; aqidah yang keyakinannya muncul dari proses pemikiran yang mendalam.
b.      Mengajaknya untuk senantiasa konsisten dan istiqamah agar cara berfikir dan mengatur kecenderungan insaninya berada tetap di atas pondasi aqidah yang diyakininya.
c.       Mengembangkan kepribadian dengan senantiasa mengajak bersungguh-sungguh dalam mengisi pemikirannya dengan tsaqafah Islamiyah, berakhlak mulia dan mengamalkan perbuatan yang selalu berorientasi pada melaksanakan ketaatan kepada Allah swt.
Dari pernyataan di atas nampak jelas bahwa tujuan pendidikan Islam yang dimaksud adalah menanamkan rasa keimanan, ketaqwaan kepada Allah dan berakhlakul karimah serta keseimbangan antara khabluminallah dan khablumminannas.
Pernyataan senada juga disampaikan oleh Nurcholish Madjid, bahwa tujuan akhir yang inginn dicapai melalui kegiatan pendidikan Islam yang dilakukannya terdiri dari dua dimensi hidup, pertama; penanaman rasa taqwa kepada Allah, kedua; kemanusiaan, mengembangkan rasa kemanusiaan kepada sesama dengan berakhlakul karimah.[4]
Kaitannya pendidikan sebagai upaya mengembangkan budi pekerti luhur, pendidikan Islam memandang bahwa pendidikan budi pekerti/akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Mencapai akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan dengan tidak mengesampingkan aspek-aspek penting lainnya; pendidikan jasmani, akal, ilmu pengetahuan ataupun segi-segi praktis lainnya”.[5]
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 31 ayat ketiga sudah mengamanatkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”.[6]
Hal tersebut sangatlah sesuai dengan konteks pendidikan saat ini yaitu dengan tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi diri agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertangung jawab”.[7]
Implementasi dari tujuan tersebut dengan menerapkan materi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan Pendidikan Agama Islam (PAI) serta Aqidah Akhlak pada semua jenjang pendidikan tentang ketaatan dengan kompetensi dasar perilaku taat dalam beribadah terhadap Tuhan Yang Maha Esa.[8] Dari paparan tersebut nampak jelas bahwa terdapat keserasian antara tujuan pendidikan Islam dan tujuan pendidikan nasional sebagai konteks pendidikan nasional sekarang.
  1. Menguasai Tsaqafah Islamiyah dengan handal
Islam mendorong setiap muslim untuk menjadi manusia yang berilmu dengan cara mewajibkannya untuk menuntut ilmu. Adapun ilmu berdasarkan takaran kewajibannya menurut Al Ghazali dibagi dalam dua kategori, yaitu :
a.       Ilmu yang fardlu ‘ain, yaitu wajib dipelajari setiap muslim, yaitu ilmu-ilmu tsaqafah Islam yang terdiri konsespsi,ide, dan hukum-hukum Islam (fiqh), bahasa Arab, sirah nabawiyah, ulumul quran, tahfidzul quran, ulumul hadits, ushul fiqh, dll.
b.      Ilmu yang dikategorikan fadlu kifayah, biasanya ilmu-ilmu yang mencakup sains dan teknologi, serta ilmu terapan-ketrampilan, seperti biologi, fisika, kedokteran, pertanian, teknik, dll.[9]
Berkaitan dengan tsaqafah Islam, terutama bahasa Arab, Rasulullah saw. telah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan dan urusan penting lainnya, seperti bahasa diplomatik dan interaksi antar negara. Dengan demikian, setiap muslim yang bukan Arab diharuskan untuk mempelajarinya. Berkaitan dengan hal ini karena keterkaitan bahasa Arab dengan bahasa Al Quran dan As Sunnah, serta wacana keilmuan Islam lainnya.
Maksud dari hukum wajib menuntut ilmu tersebut di atas menunjukkan bahwa salah satu tujuan pendidikan Islam adalah untuk pengembangan ilmu keislaman sesuai dengan Al-Qur’an dan As Sunnah.
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 31 ayat kesatu sudah mengamanatkan bahwa ”setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan” dan ayat kedua menyebutkan bahwa ”setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.[10] Dari amanat tersebut, seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan negara Indonesia”.[11]
Salah satu implementasi dari konsekuensi pemerintah yang juga di sebutkan dalam visi pendidikan nasional yaitu dengan mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia.
  1. Menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi)
Menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi) diperlukan agar umat Islam mampu mencapai kemajuan material sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifatullah di muka bumi dengan baik. Islam menetapkan penguasaan sain sebagai fardlu kifayah, yaitu kewajiban yang harus dikerjakan oleh sebagian rakyat apabila ilmu-ilmu tersebut sangat diperlukan umat, seperti kedokteran, kimia, fisika, industri penerbangan, biologi, teknik, dll.
Pada hakekatnya ilmu pengetahuan terdiri atas dua hal, yaitu pengetahuan yang mengembangkan akal manusia, sehingga ia dapat menentukan suatu tindakan tertentu dan pengetahuan mengenai perbuatan itu sendiri. Berkaitan dengan akal, Allah swt. telah memuliakan manusia dengan akalnya.
Akal merupakan faktor penentu yang melebihkan manusia dari makhluk lainnya, sehingga kedudukan akal merupakan sesuatu yang berharga. Allah menurunkan Al-Quran dan mengutus Rasul-Nya dengan membawa Islam agar beliau menuntun akal manusia dan membimbingnya ke jalan yang benar. Pada sisi yang lain Islam memicu akal untuk dapat menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi), sebab dorongan dan perintah untuk maju merupakan buah dari keimanan.
Dalam kitab Fathul Kabir, juz III, misalnya diketahui bahwa Rasulullah saw. pernah mengutus dua orang sahabatnya ke negeri Yaman untuk mempelajari pembuatan senjata muktahir, terutam alat perang yang bernama dabbabah, sejenis tank yang terdiri atas kayu tebal berlapis kulit dan tersusun dari roda-roda. Rasulullah saw. memahami manfaat alat ini bagi peperangan melawan musuh dan menghancurkan benteng lawan.[12]
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 31 ayat kelima mengamanatkan bahwa ”pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.[13] Ayat selanjutnya juga menyatakan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara”.[14]
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa salah satu misi dari pendidikan nasional mempunyai misi meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keteampilan, pengamalan, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global”.[15]
Alokasi 20 persen untuk bidang pendidikan dari RAPBN telah membuktikan bahwa pemerintah telah bersungguh-sungguh dalam usahanya guna mencapai tujuan pendidikan nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
  1. Memiliki skills/ketrampilan yang tepat guna dan berdaya guna
Perhatian besar Islam pada ilmu teknik dan praktis, serta ketrampilan merupakan salah satu dari tujuan pendidikan Islam. Penguasaan ketrampilan yang serba material ini merupakan tuntutan yang harus dilakukan umat Islam dalam rangka pelaksanaan amanah Allah Swt. Hal ini diindikasikan dengan terdapatnya banyak nash yang mengisyaratkan kebolehan mempelajari ilmu pengetahuan umum dan ketrampilan. Hal ini dihukumi sebagai fardlu kifayah.
Secara konsepsional, sebenarnya pendidikan Islam berorientasi kepada masalah duniawai dan ukhrawi. Namun dalam praktek operasional banyak lembaga Islam cenderung mementingkan pendidikan yang berorientasi keakhiratan dari pada keduniaan.[16] Gejala semacam ini menjadi indikasi salah satu sebab kenapa uot-put pendidikan Islam pada umumnya terasa kurang terserap dalam pemenuhan tenaga-tenaga terampil yang sangat diperlukan dalam meningkatkan mutu kehidupan.[17]
Dengan demikian, pendidikan Islam juga harus mampu meningkatkan kesadaran peserta didik terhadap problema sosial, politik dan ekonomi yang dihadapi manusia secara macro. Pada waktu yang sama tidak ketinggalan untuk membina dan membekali mereka dengan keahlian (skill) dan kemampuan-kemampuan dasar agar mereka kelak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan peningkatan mutu kehidupan.
Tujuan juga telah diimplementasikan oleh pemerintah dengan mengembangkan pendidikan kecakapan hidup melalui pendidikan formal dan non formal seperti halnya kursus dan pelatihan.
Pendidikan kecakapan hidup (life skills) adalah pendidikan yang memberikan kecakapan personal, kecakapan sosial, kecakapan intektual, dan kecakapan vokasional untuk bekerja atau usaha mendiri”.[18]
Kursus dan pelatihan sebagai bentuk pendidikan berkelanjutan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dengan penekanan pada penguasaan ketrampilan, standar kompetensi, pengembangan sikap kewirausahaan serta pengembangan kepribadian profesional”.[19]
Pendapat Abdul Majid sebagaimana dikutip oleh Muh Sakir menyebutkan bahwa :
Tujuan pendidikan agama Islam di sekolah atau madrasah bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, serta pengamalan peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketaqwaanya, berbangsa, dan bernegara serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang yang lebih tinggi”.[20]

Dengan demikian tujuan dari pendidikan Islam adalah membentuk manusia Indonesia yang berdasarkan Pancasila, yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa serta mempunyai ilmu pengetahuan dan mampu mengembangkan teknologi untuk kesejahteraan umat manusia sebagai kodratnya menjadi khalifah di bumi.
B.     Analisa Terhadap Metode Pendidikan Islam
Unsur penting dalam proses pelaksanaan pendidikan Islam yang menjadi salah satu kontribusi Kang Jalal yaitu metode pendidikan Agama Islam. Dalam Al-Qur’an banyak memuat istilah-istilah komunikasi sebagai salah satu metode pembelajaran. Istilah-istilah tersebut adalah ; Qaulan sadidan (QS 4 : 9), Qaulan maysuran (QS 17 : 28), Qaulan Layinan (QS 20 : 44), Qaulan kriman (QS 17 : 23), Qaulan Mau’rufan ( QS 4 : 5 ) dan istilah ” Qaulan Balighon” ( Qs 4 : 63 )”.[21]
Kata “Baligh” dalam bahasa Arab atinya sampai, mengenai sasaran, atau mencapai tujuan. Bila dikaitkan dengan qawl (ucapan), kata balig berarti fasih, jelas maknanya, terang, tepat mengungkapkan apa yang dikehendaki. Karena itu prinsip qaulan balighan dapat diterjemahkan sebgai prinsip komunikasi yang effektif. Komunikasi yang efektif dan efisien dapat diperoleh bila memperhatikan pertama, bila dalam pembelajaran menyesuaikan pembicaranya dengan sifat khalayak. Istilah Al-Quran “fii anfusihiim”, artinya penyampaian dengan “bahasa” masyarakat setempat. Hal yang kedua agar komunikasi dalam proses pembelajaran dapat diterima peserta didik manakala komunikator menyentuh otak atau akal juga hatinya sekaligus”.[22]
Adapun secara terminologi sebagimana dikutip oleh Ramayulis, para ahli pendidikan mendefinisikan metode sebagai berikut ; a). Hasan Langgulung mendefinisikan bahwa metode adalah cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan pendidikan. b). Abd. Al-Rahman Ghunaimah mendefinisikan bahwa metode adalah cara-cara yang praktis dalam mencapai tujuan pengajaran. c). Ahmad Tafsir mendefinisikan metode mangajar adalah cara yang paling tepat dan cepat dalam mengajarkan mata pelajaran”.[23]
Ada beberapa landasan dasar dalam menentukan metode yang tepat dalam mengajar diantaranya diulas oleh Abu Ahmadi, beliau mengatakan bahwa landasan untuk pemilihan metode ialah :
a.       Sesuai dengan tujuan pengajaran agama.
b.      Sesuai dengan jenis-jenis kegiatan.
c.       Menarik perhatian murid.
d.      Maksud metodenya harus dipahami siswa.
e.       Sesuai dengan kecakapan guru agama yang bersangkutan”.[24]

Sedangkan prinsip-prinsip dasar dalam metode menyampaikan materi pelajaran Islam dalam pandangan Kang Jalal sebagaimana tercantum dalam surat An-Nahl ayat 125. Dalam ayat ini terdapat tiga prinsip dalam implementasi metode penyampaian (dakwah, pembelajaran, pengajaran, komunikasi dan sebagainya) yaitu :
1.      Al-Hikmah (arif-bijaksana bersumber dari Al-Qur’an)
Dalam bahasa Arab Al-hikmah artinya ilmu, keadilan, falsafah, kebijaksanaan, dan uraian yang benar”.[25] Al-hikmah berarti mengajak kepada jalan Allah dengan cara keadilan dan kebijaksanaan, selalu mempertimbangkan berbagai faktor dalam proses belajar mengajar, baik faktor subjek, obyek, sarana, media dan lingkungan pengajaran. Pertimbangan pemilihan metode dengan memperhatikan audiens atau peserta didik diperlukan kearifan agar tujuan pembelajaran tercapai dengan maksimal.
Imam Al-Qurtubi menafsirkan Al-hikmah dengan “kalimat yang lemah lembut”.[26] Nabi diperintahkan untuk mengajak umat manusia kepada “Dienullah” dan syariatnya dengan lemah lembut tidak dengan sikap bermusuhan.
Hal ini berlaku kepada kaum muslimin seterusnya sebagai pedoman untuk berdakwah dan seluruh aspek penyampaian termasuk di dalamnya proses pembelajaran dan pengajaran.
Proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik dan lancar manakala ada interaksi yang kondusif antara guru dan peserta didik. Komunikasi yang arif dan bijaksana memberikan kesan mendalam kepada para siswa sehingga “teacher oriented” akan berubah menjadi “student oriented”. Guru yang bijaksana akan selalu memberikan peluang dan kesempatan kapada siswanya untuk berkembang.  Kebebasan siswa untuk aktif dalam kegiatan belajar sangat mempengaruhi keberhasilan proses belajar mengajar.
Al-Hikmah dalam tafsir At-Tobari adalah menyampaikan sesuatu yang telah diwahyukan kepada nabi.[27] Hal ini hampir senada dengan Mustafa Al-Maroghi bahwa Al-Hikmah cenderung diartikan sebagai sesuatu yang diwahyukan”.[28]
Nampak dengan gamblang sebenarnya yang dimaksud dengan penyampaian wahyu dengan hikmah ini yaitu penyampaian dengan lemah lembut tetapi juga tegas dengan mengunakan alasan, dalil dan argumentasi yang kuat sehingga dengan proses ini para peserta didik memiliki keyakinan dan kemantapan dalam menerima materi pelajaran. Materi pembelajaran bermanfaat dan berharga bagi dirinya, merasa memperoleh ilmu yang berkesan dan selalu teringat sampai masa yang akan datang.
2.      Maudzah Hasanah (perkataan yang baik, lemah lembut)
Maudzah hasanah terdiri dari dua kata “al-Maudzah dan Hasanah”. Al-mauidzah dalam tinjauan etimologi berarti “pitutur, wejangan, pengajaran, pendidikan, sedangkan hasanah berarti baik. Bila dua kata ini digabungkan bermakna pengajaran yang baik. Ibnu Katsir menafsiri Al-mauidzah hasanah sebagai pemberian peringatan kepada manusia, mencegah dan menjauhi larangan sehingga dengan proses ini mereka akan mengingat kepada Allah.[29]
At-Thobari mengartikan mauidzah hasanah dengan “Al-ibr al-jamilah” yaitu perumpamaan yang indah bersal dari kitab Allah sebagai hujjah, argumentasi dalam proses penyampaian.[30] Pengajaran yang baik mengandung nilai-nilai kebermanfaatan bagi kehidupan para siswa. Mauidzah hasanah sebagai prinsip dasar melekat pada setiap da’i (guru, ustadz, mubaligh) sehingga penyampaian kepada para siswa lebih berkesan. Siswa tidak merasa digurui walaupun sebenarnya sedang terjadi penstranferan nilai.
Al-Imam Jalaludin Asy-Syuyuti dan Jalaludin Mahali mengidentikan kata “Al-Mauidah” itu dengan arti perkataan yang lembut”.[31] Pengajaran yang baik berarti disampaikan melalui perkataan yang lembut diikuti dengan perilaku hasanah sehinga kalimat tersebut bermakna lemah lembut baik lagi baik.
Dengan melalui prinsip maudzah hasanah dapat memberikan pendidikan yang menyentuh, meresap dalam kalbu. Ada banyak pertimbangan (multi approach) agar penyampaian materi bisa diterima oleh peserta didik diantaranya :
a.       Pendekatan Relegius, yang menekankan bahwa manusia adalah makhluk relegius dengan bakat-bakat keagamaan. Metode pendidikan Islam harus merujuk pada sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits.
b.      Dasar Biologis, pertumbuhan jasmani memegang peranan yang sangat penting dalam proses pendidikan.
c.       Dasar Psikologis, metode pendidikan Islam bisa effektif dan efesien bila didasarkan pada perkembangan psikis meliputi motivasi, emosi, minat, sikap, keinginan, kesediaan, bakat-bakat dan kecakapan akal intelektual
d.      Dasar Sosiologis, pendekatan social interaksi antar siswa, guru dengan siswa sehingga memberikan dampak positif bagi keduanya.
3.      Mujadalah (diskusi, dialog bila perlu berdebat ).
Kata mujadalah berasal dari kata “jadala” yang makna awalnya percekcokan dan perdebatan”.[32] Kalimat “jadala” ini banyak terdapat dalam Al-Qur’an diantaranya dalam surat Al-Kahhfi ayat 54 dan surat Az-Zukhruf ayat 56.
Kalimat “jadala” dengan berbagai variasinya juga bertebaran dalam Al-Qur’an, seperti pada surat (2:197), (4:107,109), (6:25, 121), ( 7 : 71), ( 11:32,74), (13:13), (18:54,56(, (22:8,68), (29:46), (31;20), (40 :4,5,32,56,69), 24:35), (43:58), (58:1). Bahkan ada surat yang bernama “Al-Mujaadilah” (perempuan-perempuan yang mengadakan gugatan).
Mujadalah dalam konteks dakwah dan pendidikan diartikan dengan dialog atau diskusi sebagai kata “ameliorative” berbantah-bantahan. Mujadalah berarti menggunakan metode diskusi ilmiyah yang baik dengan cara lemah lembut serta diiringi dengan wajah penuh persahabatan sedangkan hasilnya diserahkan kepada Allah swt”.[33]
Metode penyampaian ini dicontohkan oleh Nabi Musa dan Nabi Harun ketika berdialog/diskusi dan berbantahan dengan Fir’aun. Sedangkan hasil akhirnya dikembalikan kepada Allah SWT. Sebab hanya Allahlah yang mengetahui orang tersebut mendapat petunjuk atau tidak. Atau kisah tentang nabi Khidir yang berdialog dengan muridnya dalam setiap perjalanannya”.[34]
Diskusi pada dasarnya adalah saling menukar informasi, pendapat dan unsur-unsur pengalaman secara teratur dengan maksud untuk mendapat pengertian bersama yang lebih jelas dan lebih teliti tentang sesuatu, atau untuk mempersiapkan dan merampungkan keputusan bersama”.[35] Dalam kajian metode mengajar disebut metode “hiwar” (dialog). Diskusi memberikan peluang sebesar-besarnya kepada para siswa untuk mengeksplor pengetahuan yang dimilikinya kemudian dipadukan dengan pendapat siswa lain. Satu sisi mendewasakan pemikiran, menghormati pendapat orang lain, sadar bahwa ada pandapat di luar pendapatnya dan disisi lain siswa merasa dihargai sebagai individu yang memiliki potensi, kemampuan dan bakat bawaannya. Diskusi (mujadalah) tidak akan memperoleh tujuan apabila tidak memperhatikan metode diskusi yang benar, yang hak sehingga diskusi jadi “bathal” tidak didengarkan oleh mustami’in”.[36]
Metode mujadalah lebih menekankan kepada pemberian dalil, argumentasi dan alasan yang kuat. Para siswa berusaha untuk menggali potensi yang dimilikinya untuk mencari alasan-alasan yang mendasar dan ilmiyah dalam setiap argumen diskusinya. Para guru hanya bertindak sebagai motivator, stimulator, fasilitator atau sebagai instruktur. Sistem ini lebih cenderung ke “Student Centre” yang menekankan aspek penghargaan terhadap perbedaan individu para peserta didik (individual differencies) bukan “Teacher Centre” sehingga proses pembelajaran menjadi lebih efektif dan menyenangkan dan siswapun dapat berperan secara aktif.
Dari berbagai pemikiran Jalaluddin Rahmat tentang metode pendidikan Islam di atas menggambarkan bahwa sebagai seorang pendidik/guru harus benar-benar mengusai dan dapat menerapkan metode atau strategi pembelajaran serta menciptakan suasana pendidikan yang agamis, kreatif, dinamis, dan dialogis.
Undang-Undang R.I Nomor. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 40 ayat 2 tentang pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban untuk menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis.[37]
Dalam konteks pendidikan sekarang alternatif metode atau strategi pembelajaran tersebut lebih identik dengan strategi PAIKEM (Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan). PAIKEM merupakan pendekatan dalam proses belajar mengajar yang bila diterapkan secara tepat berpeluang dapat meningkatkan tiga hal, pertama maksimalisasi pengaruh fisik terhadap jiwa, kedua, maksimalisasi pengaruh jiwa terhadap proses psikofisik dan psikososial, dan ketiga, bimbingan ke arah pengalaman kehidupan spiritual”.[38]
Jika pembelajaran agama Islam dipahami sebagai pembelajaran untuk melatih jiwa seseorang agar terdorong untuk membiasakan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik, sebagaimana konsep Al-Ghazali, maka pembelajaran agama Islam dengan menggunakan pendekatan PAIKEM, setidaknya bisa memberikan harapan baru untuk efektif pencapaian tujuan pembelajaran agama Islam.
C.    Kontribusi Pemikiran Jalaluddin Rahmat Tentang Pendidikan Islam
Konsep atau ide-ide pemikiran Jalaluddin Rahmat tentang pendidikan Islam secara umum merupakan perpaduan antara dua unsur yaitu pendidikan dan keagamaan. Menurutnya landasan filosofis pendidikan Islam harus dibangun di atas pondasi yang kuat, baik sisi epistemologi, konsep manusia dengan merujuk pada sumber normatif yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.
Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam Islam terdapat lima macam sumber nilai yang diakui, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, itulah yang asal. Kemudia datang sumber ketiga yaitu Qiyas, artinya membandingkan masalah yang disebutkan oleh Al-Qur’an atau Sunnah dengan masalah yang dihadapi oleh umat Islam pada masa tertentu, tetapi nas yang tegas dalam Al-Qur’an tidak ada. Kemudian sumber keempat adalah kemaslahatan umum pada suatu ketika yang difikirkan patut menurut kaca mata Islam. Sedang sumber kelima adalah kesepakatan  dan Ijma’ ulama-ulama dan ahli-ahli fikir Islam pada suatu ketika yang dianggap sesuai dengan sumber dasar yaitu Al-Qur’an dan Sunnah”.[39]
Pandangannya tentang landasan tersebut didasarkan pada banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang secara langsung atau tidak langsung mewajibkan umat Islam melaksanakan pendidikan, khususnya pendidikan Agama. Itulah yang dimaksud dasar normatif pelaksanaan Pendidikan Agama Islam”.[40]
Konsep tentang keagamaan menurut Jalaluddin Rakhmat, bahwa agama dan Islam menurut makna aslinya, Din sama saja dengan Islam. Secara etimologi, Islam berasal dari kata aslama yang mengandung pengertian khahla’a (tunduk) dan istaslama (sikap berserah diri), dan juga adda’ (menyerahkan atau menyampaikan).[41] Al-Maududi sebagaimana dikutip oleh Aflatun Muctar, mengartikan Islam sebagai ”tunduk” berserah diri, taat, dan patuh kepada perintah dan larangan yang berkuasa (al-amir) tanpa membantah.[42]
Dalam agama tersebut tidak mengenal adanya dikotomik, nilai spritualitas-sufistik, serta holistik. Sebagian karyanya banyak mencerminkan nilai-nilai keagamaan di mana kita sebagai manusia harus dapat menyesuaikan diri kita dengan perintah Allah, mencintai rasul dan para imam suci, saling menyayangi di antara hamba Allah, melawan keinginan hawa nafsu serta bagaimana memerangi setan sebagai musuh yang nyata bagi manusia.
Kang jalal dalam sebuah artikelnya dengan jelas memapaparkan bahwa dikotomik antara Sunni-Syi’ah tidak relevan lagi, Jadi argumentasinya bukan bahwa Islam yang datang ke Indonesia itu Syi'ah yang berbaju Syafi'i, tetapi memang mazhab Syafi'i. Sebab Imam Syafi'i memang sangat simpatik terhadap Syi'ah. Menurut riwayat, Imam Syafi'i itu pernah diseret dari Hijaz ke Syria dalam belenggu besi dan dihadapkan kepada Harun al Rasyid. Satu demi satu kawannya 'dipotong' dan hanya Imam Syafi'i yang selamat. Konon, Imam Syafi'i itu diseret karena simpatinya terhadap Syi'ah”.[43] Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa beliau sebagai salah satu tokoh pluralisme yang tidak menerima terhadap dikotomik dalam bermadhab atau beragama.
Salah satu perkembangan memprihatinkan di masyarakat Islam Indonesia belakangan ini adalah makin kuatnya kecenderungan meninggalkan akhlak ketika menghadapi perbedaan dalam paham keagamaan. Hal ini dapat kita lihat pula pada realitas yang ada di negeri ini. Kebanyakan para ilmuwan dan penguasanya tidak memiliki balancing dalam pendidikannya. Ketika mereka pandai dalam ilmu agama, ilmu umumnya sangat kurang, dan begitu pula sebaliknya. Ketika mereka menguasai ilmu umum, pendidikan agamanya pun minim. Makanya, tidak heran jika di negeri ini sangat rentan terjadi tindakan-tindakan curang seperti korupsi. Karena pendidikan mereka tidak dibarengi dengan  pendidikan moral yang baik. Seolah meniscayakan adanya dikotomi di antara kedua ilmu tersebut. Karena itulah kemudian Kang Jalal berpikir bahwa sebenarnya ada hal yang mungkin mempersatukan kita semua, yaitu akhlak. Dalam bidang akhlak, semua orang bisa bersetuju, apapun mazhabnya. Dengan pandangan tersebut kemudian beliau berpendapat  dahulukan akhlak di atas fikih.
Al-Ghazali sendiri misalnya bercerita tentang sirr, atau rahasia dari semua aturan fikih. Misalnya, puasa bukan sekadar menahan makan dan minum, tapi juga mengendalikan diri dari segenap perbuatan yang dilarang Allah. Jadi ada juga unsur akhlaknya. Tapi kalau kita bicara fikih sebagai ilmu, tentu tidak begitu. Misalnya dalam Kitâbul Fiqh `alal Madzâhib al-‘Arba`ah. Di situ sudah tidak ada lagi pembicaraan soal akhlak.  Imam al-Ghazali juga berbicara di situ dalam konteks pengajaran tasawuf; mencari rahasia di balik ritual, di balik syariat. Soal syariatnya sendiri tetap berpusat pada fikih. Sampai ada yang mengatakan fikih itu soal al-hukm biz dzawâhir. Jadi, fikih itu secara umum memang berpegang teguh pada hal-hal yang lahiriah. Sementara, al-Ghazali sendiri membedakan antara khalq dan khuluq, walaupun dalam penulisannya Arabnya sama. Khalq adalah gambaran lahir atau tubuh kita, sementara khuluq gambaran batin.[44]
Jadi, khalq itu urusan fikih, sementara khuluq “sepatutnya” diurus oleh tasawuf. Artinya, dalam kenyataan, fikih terpisah dari studi akhlak, walau para ulama membahas fikih sekaligus menyertakan akhlak sebagai ilmu. Tapi yang ingin Kang Jalal tekankan: walau kita mungkin belajar fikih tidak boleh terlepas dari akhlak, bahkan fikih harus menyempurnakan akhlak, dalam kenyataan sehari-hari, kita tetap sering menemukan tuntutan fikih yang bertentangan dengan tuntutan akhlak”.[45]
Unsur pendidikan dari pemikiran Jalaluddin Rakhmat yaitu di mana pendidikan harus memperhatikan perpaduan antara tubuh dengan jiwa, manusia memiliki kemampuan hampir tidak ada batasnya, dimensi spiritual (mistikal), mampu memberikan pengetahuan baik substansi maupun proses. harus menanamkan sifat inklusif (terbuka) dan kritis; serta melatih peserta didik untuk menerima, mengolah, dan menyampaikan informasi.
 Penyelenggaraan pendidikan di sekolah haruslah dapat meningkatkan motivasi dan prestasi belajarnya. Dalam hal ini Kang Jalal menawarkan konsep belajar berbasis otak dengan tujuan untuk memaksimalkan kemampuan otak anak dalam menerima suatu rangsangan yang masuk untuk dapat dianalisis. Sehingga dengan rangsangan pada otaknya tersebut, anak akan lebih kritis dalam memecahkan suatu masalah. Penyelenggaraan pendidikan Islam di Indonesia tidak saja dituntut memenuhi dan memahami sistem ajaran Islam dan nilai-nilai dasar Pancasila, lebih pada itu dituntut pula untuk memiliki kemampuan teoritis dalam mengembangkan suatu formula pendidikan Islam yang sintetik sekaligus dialogis”.[46]
Pendidikan Islam juga mampu menyiapkan peserta didiknya unggul dalam ekonomi, Pendidikan Islam harus mampu memberikan internalisasi nilai-nilai spiritual, Pendidikan yang mampu memberikan pencerahan spiritual, yaitu pencerahan yang mengantarkan pada keakraban, cinta, keberanian, nilai eskatis dan kemabukan dalam diri sang Khaliq (Allah) disamping itu juga pendidikan Islam menurut Jalalauddin Rakhmat harus mampu bersaing dengan pendidikan yang lain pendidikan yang mampu memberikan jawaban akan tantangan turbulensi globalisasi.
Untuk mengantarkan konsep di atas diperlukan tujuan pendidikan Islam yang jelas sesuai halnya tujuan Islam dalam Al-Qur’an seperti halnya, tujuan, bahwa manusia harus memiliki  a) kepribadian Islam, b) menguasai Tsaqafah Islamiyah dengan handal, c) menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi, d) memiliki skills/ketrampilan yang tepat guna dan berdaya guna meliputi syari'at, tariqat dan hakikat (ibadah, mu'amalah).ditunjang dengan sains dan teknologi.dan metode pendidikan Islam yang benar seperti, a) Al-Hikmah (arif-bijaksana bersumber dari Al-Qur’an) b) Maudzoh Hasanah (perkataan yang baik, lemah lembut), c) Mujadalah (diskusi, dialog bila perlu berdebat).



BAB V
KESIMPULAN

A.    Kesimpulan
Setelah melalui kajian dan analisa pembahasan yang cukup panjang terhadap kontribusi dan pemikiran Jalaluddin Rahmad tentang pendidikan Islam, melalui karya-karya maupun tulisan tokoh-tokoh atau penulis lain yang secara langsung mengangkat kontribusi dan pemikiran Jalaluddin Rahmat secara keseluruhan dari pokok permasalahan, maka hasil analisa sebagaimana  di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Pemikiran Jalaluddin Rahmat tentang pendidikan Islam dapat diidentifkasikan antara lain: landasan filosofis pendidikan Islam harus dibangun di atas pondasi yang kuat, baik sisi epistemologi, konsep manusia dengan merujuk pada sumber normatif yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Epistemologi Islam sudah jelas, sebagaimana konsepnya Jalaluddin Rakhmat, tidak mengenal pada dikotomik, nilai spritualitas-sufistik, serta holistik. Secara khas pemikiran Jalaluddin Rakhmat tentang pendidikan Islam mengisyartkan bahwa: pendidikan harus memperhatikan perpaduan antara tubuh dengan jiwa, manusia memiliki kemampuan hampir tidak ada batasnya, mampu memberikan pengetahuan baik substansi maupun proses, harus menanamkan sifat inklusif (terbuka) dan kritis, serta melatih peserta didik untuk menerima, mengolah, dan menyampaikan informasi. Penddikan Islam harus mampu memberikan internalisasi nilai-nilai spiritual, dan mampu memberikan pencerahan spiritual, yaitu pencerahan yang mengantarkan pada keakraban, cinta, keberanian, dan kemabukan dalam diri sang Khaliq (Allah) serta pendidikan Islam harus mampu bersaing dengan pendidikan yang lain pendidikan yang mampu menjawab tantangan turbulensi globalisasi.
Untuk mengantarkan konsep di atas diperlukan tujuan dan metode pendidikan Islam yang jelas sesuai halnya tujuan dan metode pendidikan Islam dalam Al-Qur’an
2.      Kontribusi pemikiran Jalaluddin Rahmat terhadap pendidikan Islam dapat kita lihat dari pengembangan kurikulum pendidikan yang memuat tentang tujuan dan metode pendidikan agama. Jadi kontribusi tersebut dapat dilihat dari dua aspek yaitu aspek tujuan dan aspek metode pendidikan Islam.
a.       Aspek Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam menurutnya merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis dalam rangka membentuk manusia yang memiliki : kepribadian Islam, menguasai Tsaqafah Islamiyah dengan handal, menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi) dan memiliki skills (ketrampilan) yang tepat guna dan berdaya guna. Secara umum tujuan pendidikan Islam menurut Kang Jalal di atas sesuai dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 31 ayat ketiga.
b.      Aspek Metode Pendidikan Islam
Prinsip-prinsip dasar dalam metode menyampaikan materi pelajaran Islam dalam pandangan Kang Jalal sebagaimana tercantum dalam surat An-Nahl ayat 125. Dalam ayat ini terdapat tiga prinsip dalam implementasi metode penyampaian (dakwah, pembelajaran, pengajaran, komunikasi dan sebagainya) yaitu; AlHikmah (arif-bijaksana bersumber dari Al-Qur’an), Maudzoh Hasanah (perkataan yang baik, lemah lembut) dan Mujadalah (diskusi, dialog bila perlu berdebat ).
Berbagai pemikiran Jalaluddin Rahmat tentang metode pendidikan Islam di atas menggambarkan bahwa sebagai seorang pendidik/guru harus benar-benar mengusai dan dapat menerapkan metode atau strategi pembelajaran serta menciptakan suasana pendidikan yang agamis, kreatif, dinamis, dan dialogis. Hal ini sangatlah sesuai dengan Undang-Undang R.I Nomor. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 40 ayat 2 tentang pendidik dan tenaga kependidikan.
Dalam konteks pendidikan sekarang alternatif metode atau strategi pembelajaran tersebut lebih identik dengan strategi PAIKEM (Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan).
B.     Saran
Dari berbagai hasil analisa penulis dalam menangkap konsep pemikiran Jalaluddin Rahmat tentang pendidikan Islam. Terdapat beberapa saran untuk seluruh praktisi pendidikan, diantaranya :
1.      Definisi pendidikan bukanlah sebatas pengajaran atau trasfer ilmu belaka, tetapi pendidikan memiliki tujuan pembentukan secara aplikatif dan substansifik terhadap anak didik dan pendidikan juga harus memperhatikan perpaduan antara tubuh dengan jiwa, karenanya perlu untuk benar-benar memahami hakekat dan fiktrah dari pendidikan itu sendiri.
2.      Pendidikan Islam tidak mengenal adanya dikotomik, karenanya dalam melestarikan ajarannya kita harus saling menghormati, menghargai pendapat orang lain.
3.      Pendidik merupakan salah satu faktor penting yang melingkupi sebuah pendidikan, yang memikili tangung jawab besar terhadap keberhasilan atau prestasi belajar anak didik. Untuk itu seorang pendidik harus mampu aktif, kreatif, dan inovatif dalam penyampaian pembelajaran dengan tidak menggunakan satu metode saja.
4.      Pendidik yang baik adalah pendidik yang selalu merasa dirinya bodoh, sehingga ia harus selalu dan terus menambah ilmunya.


DAFTAR PUSTAKA

 Ahmadi, Abu, Ilmu Sosial Dasar, Jakarta, PT Rineka Cipta, 1991
 _______, Metodik Pengajaran, Bandung, Pustaka Setia, 1985
 Al-Abrasyi, Muhd Athiyah, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1990
 Al-Baidhowi, Imam, Tafsir Al-Baidhowi ; Anwarul Tanzil wa Asrarul Ta’wil, Bairut-Libanon, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1408 H/1988M
 Al-Naquib Al-Atas, Syed Muhammad, Konsep Pendidikan dalam Islam, Terj. Haidar Baqir, (Bandung: Mizan, 1992
 An-Naisaburi, Tafsir Ghoroibil Qur’an wa roghoibil Furqon, Bairut-Libanon, Darul’utubul Ilmiuah, 1996
 Al-Habsy, Husen, Kamus Arab Lengkap, Bangil, YAPPI, 1989
 Al-Imamul Jalalain, Tafsir Al-Quranul Adzim, (Indonesia, Maktabah Dar ihya al-kutub al-arabiyah, tt.
 Al-Jurjani,Al-Syarif Ali bin Muhammad Kitab al-Ta’rifat, Beirut, Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 1988
 Al-Maroghi, Ahmad Mustofa, Tafsir Al-Maroghi, Semarang, Toha Putra, 1987
 Al-Nahlawi, Abdur Rahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, Jakarta, Gema Insani Press, 1996
 Al-Qurtubi, Imam, Al-Jami’ul Ahkam Al-Qur’an, Bairut-Libanon, Darulkutub al-ilmiyah, 1413 H/1993 M 
 Ardi Widodo, Sembodo, Kajian Filosofis Pendidikan Barat dan Islam, Jakarta: PT Nimas Multima, 2003
Al-Syaibani, Omar Mohammad al-Taumy, Falsafah Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta, Bulan Bintang, 1979
 Ardi Widodo, Sembodo, Kajian Filosofis Pendidikan Barat dan Islam, Jakarta: PT Nimas Multima, 2003
 Arief, Armai, Pengantar Ilmi Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta, Ciputat Pers, 2002
 Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama, Jakarta, Bulan Bintang, 1976
 Asyofi, Syamsudin, Prospek Pendidikan Islam dalam Perspektif Perubahan Sosial di Indonesia, dalam Majalah al-Rahmah, tahun I Juni-Agustus 1995
 Ath-Thobarii, Ja’far Muhmaad ibn Jarir, Tafsir Ath-Thobari, Jami’ul Bayan Ta’wilul Qur’an, Bairut-Libanon , Darul kutubul Ilmiuah, 1996
 Budiyanto, Konsep Pembaharuan Pendidikan Islam Menurut Nurcholish Madjid, Temanggung, STAINU, 2006
 Deden R, Mastuhu, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam,  Jakarta,  Pusjalit dan Nuansa, 1998
 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-2, Cet. IV, Jakarta, Balai Pusataka, 1995
 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang, Toha Putra, 1995
 Hussein, Syed Sajjad et.al., Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam, (Crisis Muslim Education), terj., Drs. Rahmani Astuti, Bandung, Gema Risalah Press, 1994
 Ismail SM, dkk, Paradigma Pendidikan Islam, Semarang, Pustaka Pelajar, 2001
 Kartono,Kartini, Pengantar Metodologi Reserch Sosial, Yogyakarta, Sumbangsih, 1975
 Kingsley Price, Eduction and Philosophical Though, Boston,  U.S.A: Allyn and Bacon Inc., 1965
 Langgulung, Hasan, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta, Pustaka al-Husna, 1988
 ________, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Bandung, Al-Ma’arif, 1980
 Madjid, Nurcholish,  Masyarakat Madani, Jakarta, Paramadina, 2000
 Moleong, Lexy J., Metodologi Peneltian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2002
 Muchtar, Aflatun, Tunduk Kepada Allah, Jakarta, Paramadina, 2001
 Muhaimin, Konsep Pendidikan Islam Menurut Ibnu Taimiyah, Skripsi, Temanggung, STAINU, 2009
 Marimba, Ahmad, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung, Al Ma’arif, 1989
 Najati,Usman, Qur’an dan Ilmu Jiwa Terj. Ahmad Rafi’I Usman, Bandung, Pustaka, 1985
 Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam I, Cet. I, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997
Nawawi,Hadari,  Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 1998
 Omar Al Syaibani, Mohammad Al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam (Falsafatut Tarbiyah al ISlamiyah), terj. Dr. Hasan Langgulung, Jakarta, Bulan Bintang, 1979
 Poerbakawatja, Soegarda, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta, Gunung Agung, 1981
 Rahmat, Jalaluddin, Catatan Kang Jalal Visi Media, Politik, Dan Pendidikan, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1998
 ________, Dahulukan Akhlak di Atas Fikih, Bandung, Mizan, 2002
 ________, Islam dan Pluralisme Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan, Jakarta, Serambi Ilmu Semesta, 2006
 ________, Psikologi Agama, Sebuah Pengantar, Bandung, Mizan, 2004 
 ________, Reformasi Sufistik, “Halaman Akhir” Fikri Yathir, Bandung,  IKAPI, 1999
 Ramayulis, Pendidikan Agama Islam, Jakarta, Kalam Mulia, 2006
 Rokhayati, Konsep Pendidikan Islam Menurut Prof. Dr. Athiyah Al-Abrasyi dan Prof. Dr. Hasan Langgulung (Studi Komparasi), Skripsi, Temanggung, STAINU, 2004
 Rosyadi, Khoiron, Pendidikan Profetik, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004
 Said, Ilmu Pendidikan, Bandung, PT Alumni, 1989
 Sakir, Moh, Citra Ilmu, Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam Sebagai Langkah Awal Peningkatan Mutu Pendidikan Islam, Temanggung, STAINU Press, 2008
 Sardja, Pengantar  Hasan Sulaiman dalam Pendidikan menurut Al-Qhozali, Jakarta, Dea Press, 2000
 Shihab, Quraisy, Membumikan al-Qur’an, Bandung, Mizan, 1992
 Sudjana, Nana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, Cet. II Bandung, Sinar Baru, 1991
 Sulaiman, Munandar, Ilmu Sosial Dasar, Bandung, Eresco, 1992
 Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Cet. I, Yakarta, CV Ruhama, 1995 Thoha, Chabib, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996
 ________, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Cet. II, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1992
 Thoha, Chabib, dkk, PBM-PAI Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam, Semarang, Pustaka Pelajar, 1998
 Tim Depag, Membiasakan Tradisi Agama; Arah Baru Pengembangan Pendidikan Agama Islam (PAI) pada Sekolah Umum, Jakarta, Direktorat Madrasah dan PAI pada Sekolah Umum, 2004
 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Amandemen Ke-4 Tanhun 2002, Semarang, Aneka Ilmu, 2002
 Undang-Undang R.I Nomor. 20 Tahun 2003 Tentang .Sistem Pendidikan Nasional Jakarta, CV Mini Jaya Abadi, 2003
 Usman Said, Jalaludin Usman, Falsafah Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangannya, Cet. II, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1996
 Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung, Pustaka Setia,1997
 

[2] Jalaluddin Rahmat, Islam dan Pluralisme Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), hlm.138

[3] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1995), hlm. 445
[4] Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 9
[5] Muhd Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hlm.1
[6] Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945, Hasil Amandemen 1999-2002, (Solo: Sarana Ilmu, 2004), hlm.23
[7] Undang-Undang R.I Nomor. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: CV Mini Jaya Abadi, 2003), hlm. 9
[8] Ibid, hlm. 98
[10] Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945, Op. Cit., hlm.23
[11] Undang-Undang R.I Nomor. 20 Tahun 2003, Op. Cit., hlm. 49
[12] Ibid.
[13] Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945, Op. Cit., hlm.23
[14] Ibid.
[15] Undang-Undang R.I Nomor. 20 Tahun 2003, Op. Cit., hlm. 51
[16] Ismail SM, dkk, Paradigma Pendidikan Islam, (Semarang: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 184
[17] Syamsudin Asyofi, Prospek Pendidikan Islam dalam Perspektif Perubahan Sosial di Indonesia, dalam Majalah al-Rahmah, tahun I Juni-Agustus 1995
[18] Undang-Undang R.I Nomor. 20 Tahun 2003, Op. Cit., hlm. 60
[19] Ibid, hlm. 61
[20] Moh Sakir, Citra Ilmu, Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam Sebagai Langkah Awal Peningkatan Mutu Pendidikan Islam, (Temanggung : STAINU Press, 2008), hlm. 144.
[21] Jalaludin Rahmat, Islam Aktual, (Bandunng: Mizan, 1992 ), hlm.77
[22] Ibid., hlm. 78
[23] Ramayulis, Pendidikan Agama Islam ( Jakarta: Kalam Mulia, 2006), hlm. 184
[24] Abu Ahmadi, Metodik Pengajaran, (Bandung: Pustaka Setia, 1985), hlm. 104
[25] Husen Al-Habsy, Kamus Arab Lengkap, (Bangil: YAPPI, 1989), hlm. 64
[26] Imam Al-Qurtubi, Al-Jami’ul Ahkam Al-Qur’an, (Bairut-Libanon: Darulkutub al-ilmiyah, 1413 H/1993 M), hlm. 131
[27] Ja’far Muhmaad ibn Jarir Ath-Thobarii, Tafsir Ath-Thobari, Jami’ul Bayan Ta’wilul Qur’an, (Bairut-Libanon : Darul kutubul Ilmiuah, 1996), hlm. 663
[28] Ahmad Mustofa Al-Maroghi, Tafsir Al-Maroghi, (terjemah), (Semarang : Toha Putra, 1987), hlm. 289
[29] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katstir (CD. Holly Qur,an ).
[30] Ja’far Muhmaad ibn Jarir Ath-Thobarii, Loc. Cit.
[31] Al-Imamul Jalalain, Tafsir Al-Quranul Adzim, (Indonesia, Maktabah Dar ihya al-kutub al-arabiyah, tt), hlm. 104. Kitab tafsir ini terkenal dengan nama tafsir “Jalalain”, artinya dua Jalal. Yang dimaksud dengan dua Jalal adalah nama tokoh ilmuwan Islam dalam bidang tafsir yaitu Jalaluddin Muhammad Ibn Ahmad Mahalli dan Jalaluddin Abdurahaman ibn Abi bakr Asy-Syuyuti. Di pesantren kitab tafsir ini menjadi salah satu kitab tafsir wajib yang harus dipelajari bagi setiap santri (menjadi kontens kurikullumnya pesantren).
[32] Husen Al-Habsy. Op. Cit, hlm. 43
[33] Imam Al-Baidhowi, Tafsir Al-Baidhowi ; Anwarul Tanzil wa Asrarul Ta’wil, (Bairut-Libanon: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1408 H/1988M), hlm. 571. Nama lengkap Al-Imam Al-Baidwowi adalah NAshiruddin Abi said Ibn Umar Muhammad ASy-yaeroji Al-Baidhowi.
[34] Jalaluddin Rahmat, Reformasi Sufistik, “Halaman Akhir” Fikri Yathir, (Bandung: IKAPI, 1999), hlm. 277
[35] Ismail SM, Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis PAIKEM, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2008), hlm. 20
[36] An-Naisaburi, Tafsir Ghoroibil Qur’an wa roghoibil Furqon, (Bairut-Libanon: Darul’utubul Ilmiuah, 1996), hlm. 316
[37] Undang-Undang R.I Nomor. 20 Tahun 2003, Op. Cit., hlm. 29
[38] Ismail SM, Op. Cit, hlm. 5
[39] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1980), hlm.93
[40] Chabib Thoha, dkk, PBM-PAI Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam, (Semarang : Pustaka Pelajar, 1998), hlm.32
[41] Jalaluddin Rahmat, Islam dan Pluralisme Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), hlm.40-41
[42] Aflatun Muchtar, Tunduk Kepada Allah, (Jakarta: Paramadina, 2001), hlm. 274
[43] Jalaluddin Rahmat, Catatan Kang Jalal Visi Media, Politik, Dan Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1998), hlm. 433
[45] Ibid.
[46] Ismail SM, dkk, Paradigma Pendidikan Islam, Op. Cit, hlm. 182

[1] Jalaluddin Rahmat, Psikologi Agama, Sebuah Pengantar, (Bandung: Mizan, 2004), hlm.v
[2] Jalaluddin Rahmat, Islam dan Pluralisme Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), hlm.5
[3] Jalaluddin Rahmat, Psikologi Agama, Sebuah Pengantar,Op. Cit, hlm.v-vi
[4] Jalaluddin Rahmat, Islam dan Pluralisme Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan, Op. Cit, hlm. 5
[5] Jalaluddin Rahmat, Psikologi Agama, Sebuah Pengantar,Op. Cit, hlm.vi
[6] Jalaluddin Rahmat, Islam dan Pluralisme Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan, Op. Cit, hlm. 6
[7] Jalaluddin Rahmat, Psikologi Agama, Sebuah Pengantar,Op. Cit, hlm.vi
[8] Ibid, hlm.vii
[9] Ibid, hlm.viii
[10] Ibid.
[12] Jalaluddin Rahmat, Psikologi Agama, Sebuah Pengantar,Op. Cit, hlm.vii
[13] Jalaluddin Rahmat, Dahulukan Akhlak di Atas Fikih, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 9
[14] Ibid, hlm.10
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Ismail SM, Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis PAIKEM, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2008), hlm. 2
[21] Ibid
[22] Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 172
[23] Ismail SM, dkk, Paradigma Pendidikan Islam, (Semarang: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 195
[24] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra, 1995), hlm. 391
[25] Omar Mohammad Al-Toumy Al Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam (Falsafatut Tarbiyah al ISlamiyah), terj. Dr. Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 406
[26] Ibid, hlm. 405
[27] Syed Sajjad Hussein, et.al., Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam, (Crisis Muslim Education), terj., Drs. Rahmani Astuti, (Bandung: Gema Risalah Press, 1994), hlm. 62
[28] Departemen Agama RI, Op. Cit, hlm. 49
[29] Ibid, hlm. 623
[30] Jalaluddin Rahmat, Psikologi Agama,Op. Cit, hlm.120
[32] Ibid.
[33] Ibid.
[34] Armai Arief, Pengantar Ilmi Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm. vii
[35] Departemen Agama RI, Op. Cit., hlm. 421
[36] Ibid, hlm.103

[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-2, Cet. IV, (Jakarta: Balai Pusataka, 1995), hlm. 232
[2] Syed Muhammad Al-Naquib Al-Atas, Konsep Pendidikan dalam Islam, Terj. Haidar Baqir, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 66
[3] Sembodo Ardi Widodo, Kajian Filosofis Pendidikan Barat dan Islam, (Jakarta: PT Nimas Multima, 2003), hlm.15
[4] Kingsley Price, Eduction and Philosophical Though, (Boston,  U.S.A: Allyn and Bacon Inc., 1965), hlm. 4
[5] Undang-Undang R.I Nomor. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: CV Mini Jaya Abadi, 2003), hlm. 5
[6] Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976) hlm. 12.
[7] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung: Al Ma’arif, 1989) hlm.19.
[8] Soegarda Poerbakawatja, et.al. Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung,
1981) hlm. 257.
[9] Al-Syarif Ali bin Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 1988), Cet. II, hlm. 23
[10] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. I, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), hlm.1
[11] Ahmad D. Marimba, Op. Cit., hlm. 21
[12] Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 99
[13] Chabib Thoha, dkk, PBM-PAI Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam, (Semarang : Pustaka Pelajar, 1998), hlm.32
[14] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra, 1995), hlm. 951
[15] Ibid, hlm. 301
[16] Ibid, hlm. 93
[17] Chabib Thoha, dkk, Op. Cit, hlm. 39
[18] Departemen Agama RI, Op. Cit, hlm. 645.
[19] Usman Najati, Qur’an dan Ilmu Jiwa Terj. Ahmad Rafi’I Usman, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 40.
[20] Departemen Agama RI, Op. Cit, hlm. 688.
[21] Chabib Thoha, dkk, Op. Cit, hlm. 59.
[22] Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 161.
[23] Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1988), hlm. 307.
[24] Tim Depag, Membiasakan Tradisi Agama; Arah Baru Pengembangan Pendidikan Agama Islam (PAI) pada Sekolah Umum, (Jakarta : Direktorat Madrasah dan PAI pada Sekolah Umum, 2004), hlm. 35. Lihat juga, Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 52.
[25] Ibid.
[26]Undang-Undang R.I Nomor. 20 Tahun 2003, Op. Cit, hlm. 9.
[27] Moh Sakir, Citra Ilmu, Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam Sebagai Langkah Awal Peningkatan Mutu Pendidikan Islam, (Temanggung : STAINU Press, 2008), hlm. 144.
[28] Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, Cet. II (Bandung: Sinar Baru, 1991), hlm. 4
[29] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I, Cet. I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm.123
[30] Omar Mohammad al-Taumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, Cet. I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 478-484
[31] Jalaludin Usman dan Usman Said, Falsafah Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangannya, Cet. II, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h. 44-45
[32] Ibid, hlm. 489-512
[33] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam,(Bandung: Pustaka Setia,1997),hlm.136
[34] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Cet. II, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), hlm. 135
[35] Said, Ilmu Pendidikan, (Bandung: PT Alumni, 1989), hlm. 11-13
[36] Abdur Rahman Al-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 205
[37] Ramayulis, Op. Cit, hlm. 146
[38] Mohammad Al-Toumy Al-Syaibani, Op Cit, hlm.395
[39] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Cet. I, (Jakarta: CV Ruhama, 1995), hlm. 157
[40] Ramayulis, Op. Cit, hlm. 155-156
[41] Sejarah pertumbuhan dan perkembangan pendidikan sekolah dalam Islam ini adalah hasil ringkasan dari Abdurrahman Al-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Cet. II, hlm. 148-151.
[42] Ramayulis, Op. Cit, hlm. 159
[43] Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu identitas bersama. Lihat M. Munandar Sulaiman, Ilmu Sosial Dasar, (Bandung; Eresco, 1992), Cet. VI, h. 63
[44] Abdurrahman Al-Nahlawi, Op. Cit, hlm. 136-137
[45] Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991), hlm. 162

[1] Muhd Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hlm.1.
[2] Undang-Undang R.I Nomor. 20 Tahun 2003 Tentang .Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: CV Mini Jaya Abadi, 2003), hlm.5.
[3] Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Amandemen Ke-4 Tanhun 2002, (Semarang: Aneka Ilmu, 2002), hlm. 29
[4] Ibid, hlm. 9
[5] Moh Sakir, Citra Ilmu, Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam Sebagai Langkah Awal Peningkatan Mutu Pendidikan Islam, (Temanggung : STAINU Press, 2008), hlm. 144
[6] Sardja,  Pengantar  Hasan Sulaiman dalam Pendidikan menurut Al-Qhozali, (Jakarta: Dea Press, 2000), hlm. viii.
[7] Nurcholish Madjid,  Masyarakat Madani, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 93
[8] Hasan Langgulung,  Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Huna, 1970) hlm. 17
[9] Muhd Athiyah Al-Abrasyi, Op. Cit. hlm.2-3
[10] Rokhayati, Konsep Pendidikan Islam Menurut Prof. Dr. Athiyah Al-Abrasyi dan Prof. Dr. Hasan Langgulung (Studi Komparasi), Skripsi, (Temanggung, STAINU, 2004), hlm, v
[11] Budiyanto, Konsep Pembaharuan Pendidikan Islam Menurut Nurcholish Madjid, (Temanggung, STAINU, 2006), hlm.v
[12] Muhaimin, Konsep Pendidikan Islam Menurut Ibnu Taimiyah, Skripsi, (Temanggung, STAINU, 2009), hlm, v
[13] Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Reserch Sosial, (Yogyakarta; Sumbangsih, 1975), hlm. 33
[14] Hadari Nawawi,  Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta; Gajah Mada University Press, 1998), hlm. 82
[15]  Mastuhu dan M Deden R,  Tradisi Baru Penelitian Agama Islam,  ( Jakarta:  Pusjalit dan Nuansa, 1998), hlm. 53
[16] Lexy J. Moleong, Metodologi Peneltian Kualitatif, (Bandung Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 190

1 komentar:

  1. Caesar Casino Review (2021) - Legit Bonus, Games, Support
    Caesar Casino is a betway login relatively 12bet new casino to 제왕카지노 the online world. It offers casino games like blackjack, roulette, craps, slots, poker,

    BalasHapus