SKRIPSI
PEMIKIRAN JALALUDDIN RAHMAT
TENTANG
PENDIDIKAN ISLAM
Disusun oleh :
Nama
|
:
|
M
Slamet Maskuri
|
NIM
|
:
|
2108115
|
Prodi
|
:
|
Pendidikan Agama Islam
|
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA (STAINU) TEMANGGUNG
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Manusia
membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan salah satu alternatif dalam
meningkatkan kualitas sumber daya manusia, akan tetapi pendidikan itu
harus
diberikan secara tepat dan benar juga adanya keseimbangan antara
pendidikan
agama dan umum. ”Para ahli pendidikan Islam telah sepakat bahwa maksud
dari
pendidikan bukanlah memenuhi otak anak didik dengan segala macam ilmu
yang
belum mereka ketahui, tetapi maksudnya mendidik anak sesuai dengan tahap
dan
akal mereka sehingga mereka mampu menyerap dan memahami ilmu yang
diberikan”.[1] Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia,serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
Negara”.[2] Banyak usaha masyarakat maupun pemerintah
telah dicurahkan untuk terselenggaranya pendidikan. Sebagaimana
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 Ayat 1 menyebutkan
“bahwa
setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”.[3]
Dalam dunia
Islam, pendidikan mempunyai fungsi dan tujuan yang secara formal, tujuan
pendidikan
Islam tentu mengacu kepada cita-cita bangsa Indonesia yang dituangkan ke
dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Bab II
pasal 4 yang menyebutkan :
“Pendidikan
Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
diri agar
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang
demokratis serta bertangung jawab”[4]
“Tujuan pendidikan sebagaimana
disebutkan di atas mencakup beberapa aspek penting terhadap peserta
didik dalam
kehidupan masyarakat. Yaitu manusia yang berkepribadian yang utuh,
berilmu yang
profesional, kreatifitas yang tinggi dalam upaya membentuk kemandirian
dalam
menghadapai perkembangan jaman, serta menjadi manusia yang bertanggung
jawab
atas keberadaan dirinya dan masa depan bangsa dan negara”.[5]
Islam dengan
perundang-undangannya yang paripurna dan
prinsip-prinsipnya yang abadi adalah satu-satunya penyelamat dari
berbagai
kerusakan individual, penyimpangan moral, tekanan politik, dan berbagai
keretakan sosial yang menimpa mereka. Dalam hal ini karena Islam sangat
menghargai adanya pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Persoalan pendidikan yang ada
selama ini memang
berdampak sangat luas terhadap proses pendidikan khususnya pendidikan
Islam
yang ada di Indonesia .
Penulis menganggap bahwa para tokoh pendidikan Islam mulai bergerak
menyongsong
masa depan untuk membuktikan suatu kemuliaan Islam, hal ini termasuk
faktor
terpenting dalam mewujudkan sebuah negara yang maju, dengan berusaha
untuk
menemukan apa yang selama ini dicari yakni prinsip-prinsip yang kuat di
dalam
mempersiapkan, mendidik, membina sehingga pada akhirnya tidak ada
alternatif
lain selain memilih metodologi pendidikan Islam yang paripurna yang
sesuai
dengan isyarat yang dijelaskan oleh syariat Islam dan prinsip-prinsipnya
yang
telah diwariskan Nabi SAW.
Pendidikan yang ada dewasa ini
belum dapat menyentuh
aspek budi pekerti yang seharusnya diutamakan dalam pendidikan Islam
yang bermanfaat
baginya, hal ini ditegaskan oleh Sardja dalam pengantar sebuah buku
sebagai
brikut:
“Hasil dari ketidak sesuaian antara sistem
pendidikan nasional secara
tertulis dan secara pelaksanaannya menyebabkan sistem pendidikan
nasional di
Indonesia secara berangsur terasa kering, tandus, perilaku cepat marah,
mau
menang sendiri, kurang menghargai orang lain, dll, hal ini merupakan
sebagian kecil
dari indikasi kurang dimilikinya
kelembutan hati nurani disebabkan karena kurangnya sentuhan
pendidikan
aspek budi pekerti dan budaya dalam praktek sistem pendidikan Islam di
Indonesia”.[6]
“Pendidikan
Islam
dinilai mampu dijadikan dasar pijakan penyelamat dari berbagai
kerusakan.
Pendidikan Islam sesungguhnya adalah pendidikan untuk pertumbuhan total
seorang
anak didik.”[7]
Kegiatan
menanamkan nilai religius yang sesungguhnya akan menjadi nilai inti dari
pendidikan keagamaan. Islam memulai pendidikan dengan pengertiannya yang
menyeluruh dengan pengertian dia berputar sekitar pengembangan jasmani,
rohani,
akal, emosi, dan akhlak.
Begitu juga Islam mengenal
pendidikan secara utuh
dengan pengertian bukan sebatas di sekolah saja, melainkan meliputi
segala yang
meliputinya antara lain di rumah, di
masyarakat, di jalan-jalan dan lain-lain”.[8]
Selain itu pendidikan agama tidak dapat dipahami sebatas hanya pada
pengajaran
agama saja, seperti keadaan pendidikan pada saat ini umumnya pada
masyarakat.
Pendidikan dalam Islam bukan
hanya memperhatikan
segi-segi agama, moral dan kejiwaan dalam pendidikan dan pengajarannya,
ia juga
tidak meremehkan segi-segi kemanfaatan dalam menentukan kurikulum
sekolah-sekolahnya. Hal ini nyata sekali dalam salah satu surat Umar bin
Khattab kepada wali-wali
(gubernur-gubernur): “Amma ba’du, ajarkanlah anak-anakmu berenang,
mengendarai
kuda, dan riwayatkanlah kepada mereka ibarat-ibarat yang baik, dan
syair-syair
yang indah”.[9]
Jadi pendidikan Islam akan dapat
dikatakan berhasil
apabila dapat dilihat dari adanya keyakinan akan keimanan terhadap
ajaran Islam
dan dalam wujud nyata dapat diukur melalui suatu perubahan sikap,
tingkah laku
dan budi pekerti yang luhur atau akhlaqul
karimah serta memiliki potensi
yang dapat bersaing dalam dunia global.
Menyikapi itu semua, banyak
bermunculan tokoh-tokoh
pendidikan yang turut menyumbangkan pemikirannya dengan harapan
terciptanya
tujuan pendidikan Islam secara benar dan sesuai situasi maraknya
modernisasi
Islam di Indonesia termasuk di dalamnya
pendidikan agama Islam. Tokoh Jalaluddin Rakhmat yang dalam
sejarah
pendidikan Islam tercatat sebagai salah satu tokoh pejuang yang banyak
memberikan kontribusi pendidikan agama Islam melalui ide pemikiran dan
karya-karyanya dalam pendidikan agama Islam. Salah satunya adalah
merancang pengembangan
kurikulum pendidikan yang di dalamnya memuat tentang tujuan dan metode
pendidikan agama di fakultasnya dan memberikan kuliah dalam berbagai
disiplin
Selain itu Jalaluddin Rakhmat pada dasarnya merupakan tokoh yang
banyak menyumbangkan ide-ide kontribusi
serta pemikiranya dalam pendidikan pada
umumnya dan termasuk pendidikan agama Islam
pada khususnya, maka dari sini penulis tertarik untuk meneliti tentang
konsep
pemikiran Jalaluddin Rakhmat tentang pendidikan agama Islam.
B. Rumusan
Masalah
Dengan adanya latar belakang
masalah di atas maka
penulis akan merumuskan masalah sebagai basic question atau pokok permasalahan
dalam penelitian ini sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah pemikiran Jalaluddin Rahmat
tentang pendidikan
Islam?.
2.
Bagaimanakah kontribusi pemikiran Jalaluddin
Rahmat
terhadap pendidikan Islam?.
C. Tujuan
Penelitian
Berdasarkan
rumusan
masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut
:
1. Untuk mengetahui pemikiran Jalaluddin
Rahmat tentang pendidikan Islam.
2. Untuk mengetahui kontribusi pemikiran
Jalaluddin Rahmat terhadap pendidikan Islam.
D. Manfaat
Penelitian
Adapun manfaat dari
penelitian ini, peneliti
bagi menjadi dua kategori yakni manfaat secara teoretik dan praktikal
dengan
uraian sebagai berikut :
1.
Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi
bahan
informasi berharga dalam rangka peningkatan mutu pendidikan.
2.
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat
ditemukan
konsep-konsep pendidikan yang dapat dijadikan salah satu alternatif
pilihan
dalam rangka perbaikan-perbaikan dalam pencapaian tujuan pendidikan Islam.
E. Kajian
Pustaka
Sebagaimana dikemukakan di atas,
studi ini akan
menggali tentang Konsep Pendidikan Islam Menurut Djalaludin Rahmad. Sementara itu, ada beberapa studi
terdahulu yang terkesan tepat dan sealur dengan apa yang dikaji. Meskipun hanya secara garis besar namun ini perlu
untuk ditampilkan. Telah banyak tulisan tentang penggunaan kata konsep
pendidikan dalam materi-materi tertentu. Beberapa tulisan yang ditemukan
dalam
skripsi ini antara lain : “Konsep
Pendidikan Islam Menurut Prof. Dr. Muhd Athiyah Al-Abrasyi dan Prof. Dr.
Hasan
Langgulung (Studi Komparasi),”[10] skripsi yang ditulis oleh Rohayati,
mahasiswi jurusan tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdhatul Ulama’
(STAINU)
Temanggung tahun 2006/2007 yang pada intinya merupakan penelitian
tentang
perbandingan perbedaan dan kesamaan antara konsep pendidikan menurut
Prof. Dr. Muhd Athiyah Al-Abrasyi dan Prof. Dr.
Hasan Langgulung. Selain itu ada juga ”Konsep
Pembaharuan Pendidikan Islam Menurut Nurcholish Madjid”.[11] Skripsi ini ditulis oleh Budiyanto, mahasiswa
jurusan tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdhatul Ulama’ (STAINU)
Temanggung tahun 2005/2006. “Konsep
Pembaharuan Pendidikan Islam Menurut
Ibnu Taimiyah”.[12] Skripsi yang ditulis oleh Muhaimin,
mahasiswa jurusan tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdhatul Ulama’
(STAINU)
Temanggung tahun 2008/2009 yang pada
intinya merupakan penelitian tentang konsep pendidikan menurut Ibnu
Taimiyah.
Dalam penelitian-penelitian ini konsep
pendidikan Islam yang dikemukakan hanya sebatas
konsep-konsep
pendidikan Islam saja, sedangkan penulis
akan mengulas sampai pada tujuan dan metode pendidikan Islam.
F. Metodologi
Penelitian
Adapun Metodologi yang penulis
gunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
- Jenis
Penelitian
Jenis penelitian ini adalah
penelitian kepustakaan (library resert). Adapun yang
dimaksud “penelitian
kepustakaan adalah suatu penelitian tang diadakan diperpustakaan dengan
cara
mengumpulkan buku-buku yang diperlukan dan mempelajarinya”.[13]
- Pendekatan
Penelitian
Adapun pendekatan yang digunakan
pada penelitian ini
adalah pendekatan yuridis (perundang-undangan yang berlaku) dan
normatif,
Pendekatan ini dilakukan untuk mengungkap berbagai teori, pandangan
hidup,
pemikiran filsafat dan lain-lain dapat di temui dalam berbagai
peninggalan
tertulis terutama dalam buku-buku yang dihasilkan pada zaman tertentu
dalam
prospek sejarah”.[14]
Khususnya pada hasil penelitian tentang konsep pendidikan Islam.
- Sumber Data
Dalam penelitian ini penulis
menggunakan dua jenis
data yang dipergunakan sebagai sumber penelitian sebagai berikut :
a.
Data Primer
Data Primer adalah data yang
diperoleh secara langsung oleh peneliti dari obyek penelitian”.[15]
Pada penelitian ini tokoh yang penulis teliti adalah Jalaluddin Rakhmat dan penulis tidak mengadakan wawancara secara
langsung melainkan penulis hanya fokus pada pemikiran-pemikiran
Jalaluddin
Rakhmat yang tertuang dalam karya-karyanya yang mendukung dan memadai
dalam penelitian
ini.
Dalam hal ini yang menjadi data
primer adalah sebagai berikut: Psikologi
Agama (2003), Islam dan Pluralisme
(2006) dan Reformasi Sufistik (1998).
b.
Data
Sekunder
Data Sekunder adalah data
mengenai
obyek penelitian yang di dapat dari tangan kedua, yakni data yang
diperoleh
penelitian lain yang kemudian dipublikasikan, data ini menyangkut
pemikiran
Jalaluddin Rakhmat yang di tulis dan di dipublikasikan oleh peneliti
atau
penulis lain. Antara lain: Belajar
Cerdas: Berbasis Otak (2007),
Psikologi Komunikasi (1985), Islam Alternatif (1986), Islam Aktual
(1991), Renungan-Renungan
Sufistik (1991) dan buku-lain yang relevan dengan bahasan tentang
pendidikan
Islam.
- Analisis
Data
Sesuai dengan pendekatan
penelitian di atas, maka
analisis penelitian ini memfokuskan pada analisis secara yuridis dan
normatif
yang berlaku. Adapun langkah-langkah analisis data sebagaimana yang
ditawarkan
oleh Lexy Moleong yaitu dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari
berbagai sumber, setelah dibaca, dipelajari, dan ditelaah kemudian
mengadakan
reduksi yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi dan selanjutnya
adalah
menyusunnya dalam satuan-satuan”.[16]
Metode ini digunakan untuk
menjelaskan
keterangan-keterangan dari sumber data baik primer maupun skunder dengan
selalu
memperhatikan sisi mana suatu analisis dikembangkan secara berimbang
dengan
melihat kekurangan dan kelebihan dengan melihat obyek penelitian.
G. Sistematika
Penulisan
Sistematika penulisan skripsi
disusun ke dalam tiga
bagian utama sebagai berikut :
Bagian muka (formalitas), terdiri
dari; halaman
sampul, halaman, judul, halaman pengajuan, halaman disposisi pembimbing,
halaman pengesahan, halaman motto dan persembahan, kata pengantar,
abstrak,
daftar isi, daftar lampiran.
Bagian isi pokok skrisi (batang
tubuh), terdiri dari lima
bab yang saling berkaiatan
:
Bab I memuat pendahuluan yang
berisi latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian
pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II yang memuat kajian teori
tentang pendidikan
Islam yang berisi pengertian pendidikan Islam, dasar-dasar pendidikan
Islam, tujuan pendidikan Islam, kurikulum pendidikan Islam, pendekatan
dan
metode pendidikan
Islam, dan lingkungan dalam pendidikan Islam.
Bab III Mengenal pemikiran
Jalaluddin Rakhmat yang
terdiri dari: riwayat hidup Jalaluddin Rahmat, aktivitas intelektual
Jalaluddin
Rahmat, karya-karya Jalaluddin Rahmat, tujuan dan metode pendidikan
Islam
menurut Jalaluddin Rahmat.
Bab IV yang memuat analisa
terhadap pemikiran
Jalaluddin Rahmat terhadap pendidikan Islam yang berisi analisa terhadap
tujuan
pendidikan Islam, analisa terhadap metode pendidikan Islam dan
kontribusi
Jalaluddin Rahmat terhadap pendidikan Islam.
Bab V
yang
memuat kesimpulan yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
Bagian akhir (pelengkap), terdiri
dari; daftar pustaka
dan lampiran-lampiran.
BAB II
PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian Pendidikan Islam
Sebelum
penulis menguraikan pengertian pendidikan Islam, terlebih dahulu
perlu diketahui tentang pendidikan secara umum. Istilah pendidikan
berasal dari
kata “didik” yang telah mendapat prefiks
“pe” dan sufiks “an” mengandung arti
“proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang
dalam
usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.”[1]
Istilah pendidikan ini semula berasal dari
bahasa
Yunani, yaitu “paedagogie” yang berarti bimbingan yang
diberikan
kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
dengan “education”
yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah ini
sering
diterjemahkan dengan “tarbiyah” dan ”ta’dib”
yang berarti pendidikan.
Lebih
lanjut Naquib Al-Atas menegaskan bahwa tarbiyah
(pendidikan) secara simantik berarti mengasuh yang baik, mengembangkan,
memelihara. Sedangkan kata ”ta’dib” mengacu
pada pengertian (’ilm), pengajaran (ta’lim).[2] M.J. Langeveld sebagaimana dikutip oleh
Sembodo
Ardi mengemukakan bahwa ”pendidikan atau pedagogi adalah kegiatan
bimbingan
anak manusia menuju kepada kedewasaan dan kemandirian”.[3]
Sementara itu Kingley mengemukakan bahwa :
“Pendidikan
adalah proses yang memungkinkan kekayaan budaya non fisik dipelihara
atau
dikembangkan dalam mengasuh anak-anak atau mengajar orang-orang
dewasa (education is the process by which
nonphysical possions of a culture are preserved or increased in the
reaning of
the young or in the intruction of adults)”.[4]
Pengertian pendidikan secara umum
juga
diuraikan dalam Sistem Pendidikan Nasional sebagai usaha sadar dan
terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.[5]
Menurut
H.M.Arifin, “pendidikan adalah usaha orang dewasa secara sadar
untuk membimbing dan mengembangkan kepribadian serta kemampuan dasar
anak didik
baik dalam bentuk pendidikan formal maupun non formal”.[6]
Adapun menurut Ahmad D. Marimba adalah bimbingan atau pimpinan secara
sadar
oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik
menuju
terbentuknya kepribadian yang utama.[7]
Adapun pengertian pendidikan menurut Soegarda Poerbakawatja ialah “semua
perbuatan atau usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya,
pengalamannya, kecakapannya, dan ketrampilannya kepada generasi muda.
Sebagai
usaha menyiapkan agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmani maupun
rohani”.[8]
Dari
beberapa pendapat yang telah diuraikan secara terperinci dapat
disimpulkan bahwa pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha manusia
untuk
dapat membantu, melatih, dan mengarahkan anak melalui transmisi
pengetahuan,
pengalaman, intelektual, dan keberagamaan orang tua (pendidik) dalam
kandungan
sesuai dengan fitrah manusia supaya dapat berkembang sampai pada tujuan
yang dicita-citakan
yaitu kehidupan yang sempurna dengan terbentuknya kepribadian yang
utama.
Sedangkan
kata “Islam” berasal dari bahasa Arab yang berarti selamat
(jalannya orang-orang yang diberi petunjuk). Al-Jurjani mendefinisikan
Islam
sebagai “rasa ketundukan dan kepatuhan terhadap semua ajaran yang dibawa
oleh
Nabi Muhammad SAW.” [9]
Islam adalah agama yang paling benar di sisi Allah, yang berlandaskan
Al-Qur’an
dan Hadis.
Dari
pengertian di atas, para pemikir tentang pendidikan Islam
mendefisinikan sebagai berikut :
Muhammad Athiyah Al-Abrasy sebagaimana dikutip oleh
Ramayulis dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam memberikan pengertian
bahwa
“Pendidikan Islam adalah mempersiapkan manusia supaya hidup dengan
sempurna dan
bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi
pekertinya,
teratur pikirannya, halus perasaannya, cakap dalam pekerjaannya dan
manis tutur
katanya.”[10]
Menurut
ahmad Marimba adalah ”bimbingan jasmani maupun rohani berdasarkan
hukum-hukum
agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran
Islam”.[11]
Senada dengan pendapat diatas, menurut Chabib Thoha ”pendidikan Islam
adalah
pendidikan yang falsafah dasar dan tujuan serta teori-teori yang
dibangun untuk
melaksanakan praktek pandidikan berdasarkan nilai-nilai dasar Islam yang
terkandung
dalam Al-Qur’an dan Hadits”.[12]
B. Dasar-Dasar Pendidikan Islam
Pendidikan
Islam
dalam konteks pendidikan nasional diistilahkan dengan pendidikan agama
Islam. Adapun dasar atau landasan penyelenggaraan Pendidikan Agama Islam
di
sekolah dapat ditinjau dari beberapa aspek, di antaranya adalah aspek
normatif,
aspek psikologis, aspek historis, dan aspek yuridis.[13]
1.
Aspek Normatif
Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang
secara langsung atau
tidak langsung mewajibkan umat Islam melaksanakan pendidikan, khususnya
pendidikan Agama. Itulah yang dimaksud dasar normatif pelaksanaan
Pendidikan
Agama Islam. Adapun kewajiban melaksanakan Pendidikan Agama Islam itu
ditujukan
kepada :
a.
Kewajiban
bagi orang tua mendidik anaknya. Sebagaimana Firman Allah SWT QS.
at-Tahriim ayat 6 :
$pkš‰r'¯»tƒ
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3‹Î=÷dr&ur
#Y‘$tR $ydߊqè%ur â¨$¨Z9$#
äou‘$yfÏtø:$#ur $pköŽn=tæ îps3Í´¯»n=tB
ÔâŸxÏî ׊#y‰Ï© žw tbqÝÁ÷ètƒ ©!$#
!$tB
öNèdttBr& tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrâsD÷sムÇÏÈ
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa
yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan”.[14]
b.
Kewajiban bagi setiap muslim untuk belajar
agama. Sebagaimana
Firman Allah SWT QS. At-Taubah ayat 122 :
* $tBur šc%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuŠÏ9
Zp©ù!$Ÿ2
4
Ÿwöqn=sù
txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù
öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuŠÏj9
’Îû Ç`ƒÏe$!$# (#râ‘É‹YãŠÏ9ur óOßgtBöqs% #sŒÎ) (#þqãèy_u‘ öNÍköŽs9Î) óOßg¯=yès9 šcrâ‘x‹øts† ÇÊËËÈ
Artinya : “Tidak sepatutnya
bagi mukminin itu pergi
semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan
di
antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama
dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.[15]
c. Kewajiban mengajarkan agama kepada orang
lain. Sebagaimana Firman Allah SWT QS. Ali Imran ayat 104 :
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB
×p¨Bé& tbqããô‰tƒ ’n<Î) ÎŽösƒø:$# tbrããBù'tƒur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztƒur
Ç`tã
Ìs3YßJø9$# 4
y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd
šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ
Artinya : “Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan,
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah
orang-orang
yang beruntung”.[16]
2.
Aspek Psikologis
Menurut ilmu jiwa agama, agama
merupakan fenomena
kehidupan manusia, karena agama mempunyai pengaruh yang sangat besar
pada sikap
dan tingkah laku serta keadaan hidup manusia pada umumnya.[17]
Apek kejiwaan dari agama
tidaklah lengkap kalau tidak
merujuk pada ilmu jiwa dari sudut pandang Al-Qur’an, Al-Qur’an
menyatakan bahwa
dorongan beragama merupakan dorongan yang alamiah. Sebagaimana firman
Allah QS.
Ar-Rum ayat 30 :
óOÏ%r'sù y7ygô_ur
ÈûïÏe$#Ï9 $Zÿ‹ÏZym
4
|NtôÜÏù
«!$#
ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$#
$pköŽn=tæ 4
Ÿw Ÿ@ƒÏ‰ö7s? È,ù=yÜÏ9
«!$#
4
šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$# ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r&
Ĩ$¨Z9$#
Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÉÈ
Artinya
: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah
atas)
fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak
ada perubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia
tidak
mengetahui”.[18]
Dalam ayat ini Allah
mengemukakan bahwa dalam fitrah manusia, yakni dalam penciptaan dan
tabiat
dirinya terdapat kesiapan alamiah untuk memahami keindahan ciptaan Allah
dan
menjadikannya sebagai bukti tentang adanya Allah dan keesaan-Nya.[19]
3.
Aspek Historis
Berdasarkan sejarah agama
Islam tumbuh dan berkembang
bersamaan dengan datangnya Islam, hal ini terjadi sejak Nabi Muhammad
SAW
mendakwahkan ajaran agama Islam kepada masyarakat di sekitarnya yang
dilaksanakan secara bertahap, mulai dari keluarganya, sahabatnya,
kemudian masyarakat
sekitarnya.
Ajaran dakwah Nabi tidak
terlepas dari pendidikan
Islam, karena tugas utama Nabi ialah dakwah (menyeru) manusia agar mau
masuk
Islam, sebagaimana tersebut dalam firman Allah QS. Saba ’
ayat 28 :
!$tBur y7»oYù=y™ö‘r& žwÎ)
Zp©ù!$Ÿ2
Ĩ$¨Y=Ïj9 #ZŽÏ±o0
#\ƒÉ‹tRur £`Å3»s9ur uŽsYò2r&
Ĩ$¨Z9$#
Ÿw šcqßJn=ôètƒ ÇËÑÈ
Artinya
: “Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia
seluruhnya
sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi
kebanyakan manusia tiada Mengetahui.”[20]
Untuk tugas dakwah
ajaran-ajaran Islam harus disampaikan, agar difahami, dihayati dan
selanjutnya
dapat diamalkan. Proses dari penyampaian ajaran sampai pemahaman,
penghayatan
dan pengamalan, itulah yang disebut pendidikan Islam. Dalam rentangan
sejarah
yang panjang, di mana dunia Islam semakin luas terjadilah proses
Islamisasi dan
sekaligus pendidikan Islam bagi bangsa-bangsa non Arab hingga sampai ke Indonesia .
4.
Aspek Yuridis
Aspek yuridis merupakan
kekuatan hukum dalam
pelaksanaan pendidikan agama. Karena Indonesia adalah negara
hukum, maka
seluruh aspek kehidupan manusia termasuk kegiatan pendidikan agama harus
didasarkan pada hukum (undang-undang) yang berlaku. Untuk itu perlu
ditinjau
hal-hal yang berkaitan dengan hukum yang melandasi pelaksanaan
Pendidikan Agama
Islam. Dalam hal ini ada dua landasan yaitu landasan idiil dan landasan
operasional.[21]
a.
Landasan Idiil
Terwujudnya kehidupan beragama
bagi seluruh rakyat Indonesia
menjadi suatu cita-cita (Idiil) para pendiri Republik. Cita-cita itu
dituangkan
dalam UUD 1945, sehingga dapat disebut sebagai landasan idiil, yang
mengandung
nilai-nilai dasar.
Pancasila dan UUD 1945
merupakan landasan idiil dan
konstitusional bagi kehidupan beragama. Karena pancasila merupakan
sumber
segala sumber hukum dan UUD 1945 merupakan dasar hukum yang baru
merupakan
aturan-aturan pokok, maka untuk operasionalnya diperlukan aturan-aturan
penyelenggaraan dari aturan pokok tersebut, yang selanjutnya disebut
landasan
operasional.
b.
Landasan Operasional
Landasan operasional merupakan
dasar yang secara
langsung mengatur pelaksanaan pendidikan agama di lembaga-lembaga
pendidikan
formal maupun non formal yang ada di Indonesia. Adapun undang-undang
terbaru
yang memuat tentang pendidikan agama yaitu Undang-Undang Nomor : 20
Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
C. Tujuan Pendidikan
Islam
Dalam
aktivitas yang kita lakukan tentunya tidak terlepas dari maksud-maksud
yang
ingin kita capai. Dalam mencapai maksud-maksud tersebut ada yang ingin
kita
capai dalam jangka panjang maupun jangka pendek dan tentunya tidak
keluar dari
konsep yang telah ditentukan. Tujuan pendidikan Islam merupakan salah
satu
unsur dari pendidikan Islam, di mana pendidikan Islam itu menciptakan
manusia
yang sesuai dengan konsep Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadis.
Dalam Al-Qur’an dan Hadis manusia
ditentukan untuk
menjadi khalifah yang telah dilengkapi dengan akal atau pikiran untuk
membawa
risalah bagi seluruh alam di bawah bimbingan Allah SWT. Pengelolaaan
alam yang
baik dan penyampaian risalah yang benar akan menciptakan keselarasan,
kedamaian, dan kebahagiaan bagi individu dan masyarakat. Dengan akal
saja tanpa
mendapat pendidikan yang baik manusia tidak akan mampu melaksanakan
tugasnya
dengan baik, karena pendidikan yang sesuai dengan konsep Islam adalah
pendidikan
yang mampu menciptakan manusia-manusia yang berakhlak Islami yang akan
berpengaruh bagi masyarakat luas.
Tentang tujuan Pendidikan Islam dapat dilihat dari para pendapat
tokoh-tokoh pendidikan muslim. Misalnya saja dari tujuan pendidikan
Islam Omar Muhammad
Al-Toumy Al-Syaibani salah seorang ahli pendidikan Islam memberikan ciri
dan
prinsip-prinsip umum yang dijadikan landasan dasar untuk mencapai tujuan
utama
cita-cita pendidikan Islam, maka pendidikan harus mampu melahirkan
kekuatan
tiga dimensi yang saling terkait dengan yang lainnya, dimensi tersebut
adalah :
1.
Dimensi Imanitas yang dapat mendudukan
harkat dan
martabat manusia sebagai hamba Allah yang tertinggi di dunia serta punya
daya
tahan terhadap ujian hidup dan berpijak pada kebenaran.
2.
Dimensi jiwa dan pandangan hidup Islam yang
membawa
cita rahmatal lil’alamiin.
3.
Dimensi kemajuan yang akan memanjatkan
manusia tangguh
terhadap apa yang dititahkan oleh Allah dan terhadap segala kejadian
suatu
perubahan yang ada”.[22]
Pandangan tentang tujuan
Pendidikan Agama Islam lain
juga dikemukakan oleh Athiyah Al-Abrasyi, beliau menyatakan bahwa tujuan
pokok
dari pada dasarnya adalah mendidik budi pekerti dan pendidikan jiwa
peserta
didik, sedangkan Naquib al-Attas yang dikutip oleh Hasan Langgulung
tujuan pendidikan
Islam adalah tercapainya kesempurnaan manusia melalui pendekatan
spiritual
dengan melakukan berbagai aktifitas ibadah.[23]
Sedangkan dalam konsep Al-Qur’an
disebut ulul al-bab, pengajaran Islam pada
dasarnya adalah berorientasi untuk menjadikan manusia yang mempunyai
ilmu dan
peka terhadap perkembangan jaman”.[24]
Salah satu tujuan pengajaran Agama Islam di sekolah adalah membentuk dan
mengembangkan keimanan serta menjadikan khalifah di bumi sebagai manusia
yang
kreatif, inovatif yang dilandasi dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam
konsep Al-Qur’an disebut ulul al-baab,
pengajaran Islam pada dasarnya adalah berorientasi untuk menjadikan
manusia
yang mempunyai ilmu dan peka terhadap perkembangan jaman”.[25]
Tujuan pendidikan Islam dan
tujuan pendidikan nasional
tidak dapat dipisahkan.Tujuan pendidikan Islam di Indonesia harus
berorientasi
kepada tujuan umum sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, tetapi
juga
harus berorientasi pada tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan
nasional
dirumuskan berdasarkan pandangan hidup bangsa yaitu Pancasila. Dengan
demikian
lembaga pendidikan Islam diharapkan dapat melahirkan manusia Muslim
Pancasila.
Tujuan pendidikan nasional dengan tujuan pendidikan Islam mempunyai
persamaan
jika diletakkan secara proporsional yaitu menciptakan insan kamil yang
bertaqwa. Secara formal tujuan pendidikan Islam tentu mengacu kepada
cita-cita
bangsa Indonesia yang dituangkan ke dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II pasal 4 yang menyebutkan :
“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi diri agar
menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertangung jawab”.[26]
Tujuan pendidikan sebagaimana
disebutkan di atas
mencakup beberapa aspek penting terhadap peserta didik dalam kehidupan
masyarakat. Yaitu manusia yang berkepribadian yang utuh, berilmu yang
profesional, kreatifitas yang tinggi dalam upaya membentuk kemandirian
dalam
menghadapai perkembangan jaman, serta menjadi manusia yang bertanggung
jawab
atas keberadaan dirinya dan masa depan bangsa dan negara.[27]
Dari beberapa pendapat di atas
maka dapat disimpulkan
bahwa tujuan dari Pendidikan Agama Islam adalah membentuk manusia
Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan
Yang Maha Esa serta mempunyai ilmu pengetahuan dan mampu mengembangkan
potensinya dengan teknologi untuk kesejahteraan umat manusia sebagai
kodratnya
sebagai kholifah di bumi.
D. Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum
merupakan
salah satu komponen yang sangat menentukan dalam suatu sistem
pendidikan karena kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan
pendidikan
sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengajaran pada semua jenis
dan
jenjang pendidikan. Di dalam kamus Webster’s Third New International,
istilah kurikulum awal mulanya digunakan dalam dunia olahraga pada zaman
Yunani
Kuno. Kurikulum dalam bahasa Yunani berasal dari kata “curir”
artinya
pelari, “curere” artinya tempat berpacu. Jadi secara etimologi
kurikulum diartikan jarak yang harus ditempuh oleh pelari.[28]
Pengertian
kurikulum
dalam dunia pendidikan terdapat banyak rumusan dari para ahli. Crow
dan Crow merumuskan bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran yang
isinya
sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematis yang diperlukan
sebagai syarat
untuk menyelesaikan suatu program pendidikan tertentu.[29]
Adapun
pengertian kurikulum dalam pendidikan Islam, jika kita kembali kepada
kamus-kamus Bahasa Arab, maka kita dapati kata-kata “manhaj”
yang
bermakna jalan terang yang dilalui oleh pendidik/guru latih dengan
orang-orang
yang terdidik atau dilatihnya untuk mengembangkan pengetahuan,
keterampilan,
dan sikap mereka.
Pengertian
yang
sempit tersebut bukan hanya berlaku di dunia Islam, tetapi juga berlaku
pada sebagian negeri-negeri Timur, Afrika, dan Barat yang bukan Islam.
Mengapa
demikian? Karena kurikulum pada sebagian besar dunia Islam pada periode
akhir
dalam sejarahnya belum berkenalan dengan konsep pendidikan modern. Baru
pada
abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 para pendidik modern mulai mengecam
konsep,
metode, dan alat-alat pendidikan yang berlaku di masjid-masjid,
universitas-universitas Islam yang mulai muncul dalam dunia Islam pada
pertengahan abad ke19.
Kecaman-kecaman
para
pendidik modern telah menarik perhatian para pendidik dan perencana
kurikulum dalam dunia Islam dan telah mendorong para pendidik untuk
melengkapi
kekurangan-kekurangan mereka dengan mengikuti semangat pendidikan modern
di
dunia Barat. Kecaman tersebut juga telah mengubah definisi mereka
mengenai
kurikulum, yaitu bahwa kurikulum tidak hanya meliputi mata pelajaran dan
pengalaman yang tersusun yang berlaku di dalam kelas, tetapi meliputi
semua
kegiatan kebudayaan, kesenian, olah raga dan sosial yang dikerjakan oleh
murid-murid di luar jadwal waktu dan di luar kelas di bawah bimbingan
sekolah.[30]
Adapun tujuan pendidikan yang
akan dicapai oleh
kurikulum dalam pendidikan Islam adalah sama dengan tujuan pendidikan
Islam itu
sendiri, yaitu membentuk akhlak yang mulia dalam kaitannya dengan
hakikat
penciptaan manusia. Dalam hal ini, maka pengertian kurikulum pendidikan
Islam
berisi materi pendidikan seumur hidup, sebagai realisasi tuntunan Nabi
yang
berbunyi: “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat.”[31]
Kurikulum dalam pendidikan Islam
mempunyai ciri-ciri
khusus, yaitu:
- Menonjolkan tujuan agama dan akhlakul karimah, baik dalam tujuan pengajaran, materi, dan pelaksanaannya.
- Kandungan
materi pendidikan mencakup aspek jasmaniah, intelektual, psikologi,
maupun
spiritual
- Adanya
keseimbangan antara ilmu syariat dengan ilmu akliyat
- Tidak
melupakan bahan maupun apresiasi seni, tetapi juga tidak merusak
perkembangan akhlakul karimah
- Mempertimbangkan
perkembangan dan kondisi peserta
didik.[32]
E. Metode Pendidikan
Islam
Metode
berasal dari bahasa Latin meta yang berarti melalui dan hodos
yang berarti jalan atau cara ke atau ke. Dalam bahasa Arab disebut
”tariqah”
artinya jalan, cara, sistem dan ketertiban dalam mengerjakan sesuatu.
Sedangkan
menurut istilah ialah suatu sistem atau cara yang mengatur suatu
cita-cita[33]
Untuk
lebih memahami metode
itu sendiri seyogiyanya harus diketahui beberapa istilah lain yang
berkaitan
dengan metode yaitu strategi dan teknik. Strategi adalah langkah-langkah
yang
disusun untuk mencapai tujuan, sedangkan teknik terbagi dua yaitu teknik
langsung dan teknik tidak langsung.
Dari
definisi di atas dapat
dipahami bahwa metode pembelajaran adalah suatu teknik penyampaian bahan
pelajaran oleh guru kepada murid agar murid dapat memahami pelajaran
dengan
mudah dan efektif.
Menurut
Al-Nahlawi dalam
Al-Qur’an dan Hadis dapat ditemukan berbagai metode pendidikan yang
sangat
mendidik jiwa dan membangkitkan semangat. Menurut Al-Nahlawi,
sebagaimana dikutip
oleh Ahmad Tafsir dalam bukunya Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam,
bahwa metode
untuk menanamkan rasa iman antara lain sebagai berikut :
1 Metode
hiwar (percakapan qur’ani dan nabawi)
2. Metode
kisah
qur’ani dan nabawi
3. Metode
amsal
(perumpamaan qur’ani dan nabawi)
4. Metode keteladanan
5. Metode pembiasaan
6. Metode ibrah dan mau’idzoh
7. Metode targhib dan tarhib.[34]
Dalam dunia pendidikan dikenal empat metode ilmu
pendidikan, yaitu:
- Metode empiris-positivistis yang berkembang di Inggris
dan AS.
- Metode hermeneutik Metode ini berusaha
memahami kenyataan pendidikan
yang konkret dan historis untuk menjelaskan makna struktur dari
kegiatan
pendidikan.
- Metode deskriptif fenomenologis. Metode
ini mencoba menguraikan
kenyataan pendidikan dan mengklasifikasikannya tanpa membawa
perubahan
dalam praktik. Metode ini berpangkal pada pengalaman luar dan
menguraikan
ciri-cirinya.
- Metode filosofis kritis. Metode ini
mengkritik semua metode yang ada.
Selain dari empat metode yang lengkap meliputi segala aspek
ilmu
pendidikan, ada metode lain yang hanya membicarakan sebagian dari ilmu
pendidikan Islam, seperti syarat-syarat pendidikan, norma-norma
pendidikan, dan
lain-lain yang disebut metode kombinasi.[35]
Dalam sejarah pendidikan Islam dapat diketahui bahwa para
pendidik muslim
dalam beberapa situasi dan kondisi yang berbeda telah menerapkan
berbagai
metode pendidikan. Ulama-ulama muslim yang mengemukakan pendapat tentang
metode
pendidikan di antaranya:
- Al-Ghazali
a. Lebih cenderung berfaham
empirisme. Karena itu beliau sangat menekankan pengaruh pendidik
terhadap anak
didik.
b. Dalam proses pendidikan
dimulai dengan hafalan diteruskan dengan pemahaman
c. Pendidikan yang diinginkan
adalah pendidikan yang diarahkan pada pembentukan akhlak mulia.
- Ibnu Khaldun
a. Hendaknya tidak memberikan
pelajaran yang sulit kepada anak didik
b. Anak didik diajarkan pelajaran
yang sederhana yang dapat dipahami akal pikiran kemudian secara bertahap
diajarkan pelajaran yang lebih sukar dengan menggunakan alat peraga
tertentu.
- Ibnu Sina
a. Lebih menekankan pendidikan
moral
b. Metode yang diperlukan adalah
metode pembiasaan, perintah dan larangan, pemberian motivasi, hadiah dan
hukuman.
- Muhammad Abduh
Menekankan kemampuan rasio dengan memahami ajaran Islam
dari sumbernya (Al-Qur’an dan Hadis) sebagai pengganti metode hafalan.[36]
F. Lingkungan Dalam Pendidikan
Islam
Dalam arti luas lingkungan mencakup iklim, geografis, tempat
tinggal, adat
istiadat, pengetahuan, pendidikan, dan alam. Dengan kata lain,
lingkungan
adalah segala sesuatu yang ada dan terdapat dalam alam kehidupan yang
senantiasa berkembang. Lingkungan adalah seluruh yang ada, baik manusia
maupun
benda buatan manusia, atau alam yang bergerak atau tidak bergerak, atau
kejadian-kejadian yang mempunyai hubungan dengan seseorang.[37]
Menurut Mohammmad Al-Toumy Al-Syaibani, lingkungan adalah
ruang lingkup
yang berinteraksi dengan insan yang menjadi medan dan aneka bentuk
kegiatannya.
Keadaan sekitar benda-benda, seperti air, udara, bumi, langit, matahari,
dan
sebagainya, juga masyarakat yang mencakup insan pribadi, kelompok,
institusi,
sistem, undang-undang, adat kebiasaan, dan sebagainya.[38]
Dalam pengertian yang luas, lingkungan pendidikan Islam
terbagi dua, yaitu:
- Lingkungan pendidikan di dalam sekolah
- Lingkungan pendidikan di luar sekolah, meliputi
keluarga, masyarakat,
dan negara serta individu.
Namun pembahasan ini akan dimulai dari lingkungan
keluarga karena keluarga adalah pendidikan yang pertama dan utama
sebelum anak
mengenal lingkungan pendidikan yang lain.
a.
Keluarga
Keluarga merupakan suatu unit sosial terkecil dalam kehidupan
manusia
sebagai makhluk sosial. Pengertian keluarga dalam Islam adalah suatu
sistem
kehidupan masyarakat terkecil yang dibatasi oleh adanya keturunan (nasab)
atau disebut ummah akibat adanya kesamaan agama.
Keluarga merupakan unit pertama dalam masyarakat. Di situlah
terbentuknya
tahap awal proses sosialisasi dan perkembangan individu. Setiap orang
tua
memikul tanggung jawab memelihara dan melindungi anaknya, baik dari segi
biologis agar anak-anak dapat tumbuh secara wajar maupun dari segi
psikologis.
Untuk memenuhi kebutuhan biologis anak yang masih bayi itu, secara
alamiah
diciptakan Allah air susu ibu dalam kandungan. Inilah proses sosialisasi
anak
yang pertama kali dalam keluarga, yang dalam hal ini sosialisasi dengan
ibu.
ASI (Air Susu Ibu) juga merupakan manifestasi tanggung jawab ibu yang
diberikan
kepada anaknya.
Sedangkan sebagai pendidik mereka memikul tanggung jawab
membimbing,
membantu, dan mengarahkan perkembangan anak agar mencapai kedewasaan
sebagaimana dicita-citakan. Diharapkan setelah anak melampaui pendidikan
keluarga yang panjang, ia mampu berdiri sendiri dalam arti dapat hidup
layak
bersama orang lain dan mampu bertanggung jawab atas perbuatannya pada
diri
sendiri, masyarakat, dan kepada Tuhan.
Keluarga juga merupakan masyarakat alamiah yang pergaulan di
antara
anggotanya bersifat khas. Dalam lingkungan ini terletak dasar-dasar
pendidikan.
Di sini pendidikan berlangsung dengan sendirinya tanpa harus diumumkan
terlebih
dahulu agar diketahui dan diikuti oleh anggota keluarga.
Pada umunya para pendidik Muslim menjadikan Luqmanul Hakim
sebagai contoh
dalam pendidikan, di mana nasihatnya kepada anaknya terdapat dalam Surat
Luqman
ayat 13-19. Allah mengatakan Luqman dikaruniai hikmah dan kebijaksanaan.
Ayat-ayat tersebut mencerminkan:
1) Pembinaan iman dan tauhid
2) Pembinaan akhlak
3) Pembinaan agama
4) Pembinaan kepribadian dan
sosial
Untuk mencapai tujuan pendidikan keluarga, orang tua harus
melatih akal
anak seperti berdiskusi kecil-kecilan di rumah. Di samping itu, orang tua harus
mendidik anak dengan pendidikan kalbu/agama. Ada dua arah mengenai
kegunaan
pendidikan rumah tangga, pertama penanaman nilai/pandangan
hidup yang
kelak mewarnai perkembangan jasmani dan akalnya, kedua penanaman
sikap
yang kelak menjadi basis dalam menghargai guru dan teman di sekolah.[39]
Keluarga bahagia dan sejahtera yang dijiwai oleh pancaran
sinar tauhid
tidak tercipta dengan sendirinya, tetapi harus melalui proses
sosialisasi
dengan beberapa metode yang dilakukan orang tua, yaitu:
1)
Pembiasaan
2)
Keteladanan
3)
Perintah
dan larangan
4)
Latihan
dan praktikum
5)
Ganjaran
Pertumbuhan kecerdasan anak sampai umur enam tahun terkait
dengan
alat inderanya, atau biasa yang disebut berpikir inderawi, artinya anak
belum mampu memahami hal yang abstrak. Karena itu pendidikan dan
pembinaan iman
dan taqwa belum dapat menggunakan kata-kata (verbal), tetapi diperlukan
teladan,
pembiasaan dan latihan secara alamiah. Misalnya si anak biasa mendengar
orang
tuanya membaca Al-Qur’an, dan berdoa kepada Allah, mengucap kalimat thayyibah,
dan di bulan Ramadhan melakukan sahur bersama, buka puasa bersama,
shalat
tarawih dan witir, tadarus, dan merayakan hari kemenangan/Idul Fitri.
Anak
memperoleh nilai-nilai keimanan yang sangat penting dan diserapnya masuk
ke
dalam perkembangan kepribadiannya.
Kemudian timbul permasalahan, bagaimana anak yang telah
mengenal lingkungan
luar, televisi dan lainnya, sehingga terkadang teladan dari orang tua
dan Nabi
tidak begitu dipedulikan? Di sinilah pentingnya pendidikan keluarga.
Jika
pondasi pendidikan dari orang tua itu kuat, maka pengaruh-pengaruh
tersebut
dapat dikatakan bagai suatu hal yang mampir dalam kehidupan anak karena
orang
tua selalu mengarahkan dan menunjukkan kepeduliannya kepada anak. Dalam
suatu
keluarga seharusnya kedua orang tua itu seiman agar pendidikan yang
diarahkan
kepada anak tetap pada satu tujuan. Kita pun tidak boleh lupa bahwa
untuk mencapai
keluarga yang harmonis unsur utama dalam pendidikan keluarga yaitu
adanya rasa
kasih sayang dan kewibawaan dari orang tua.
b. Sekolah
Kegiatan pendidikan pada mulanya dilaksanakan dalam lingkungan
keluarga
dengan menempatkan peran ayah dan ibu sebagai pendidik utama. Semakin
dewasa
anak semakin banyak hal yang dibutuhkannya untuk dapat hidup di
masyarakat
secara layak dan wajar. Karenanya untuk dapat mencapai hal tersebut,
anak
selain membutuhkan pendidikan keluarga juga membutuhkan lingkungan lain,
seperti
pendidikan sekolah.
Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang melaksanakan
pembinaan pendidikan dan pengajaran dengan sengaja, teratur dan
terencana. Guru-guru yang melaksanakan tugas pembinaan, pendidikan dan
pengajaran tersebut adalah orang-orang yang telah memiliki pengetahuan
tentang
anak didik, dan kemampuan untuk melaksanakan tugas pendidikan.6 Sekolah
juga merupakan organisasi kerja atau sebagai wadah kerjasama sekelompok
orang
untuk mencapai suatu tujuan. Sebagai organisasi atau wadah tentunya ia merupakan alat,
bukan tujuan.7
Dari definisi di atas jelas bahwa sekolah itu adalah suatu
lembaga atau
organisasi yang melakukan kegiatan pendidikan berdasarkan kurikulum
tertentu
yang melibatkan sejumlah murid dan guru yang harus bekerja sama untuk
suatu
tujuan.
Eksistensi sekolah sebagai lembaga pendidikan formal sudah
dikenal sejak
zaman Yunani Kuno. Plato adalah orang pertama yang meninggalkan catatan
tertulis mengenai ruang kelas dan sekolah. Sekolah pertama orang Athena
sangat
sederhana. Sekolah itu berupa tambahan dari suatu program pendidikan
yang
dititikberatkan pada latihan kemiliteran, atletik, musik, dan puisi.
Pengajaran
membaca, menulis, dan berhitung hanya pelajaran sampingan saja.
Pendidikan di
Athena itu bersifat tutorial. Ketika Athena menjadi lebih demokratis,
jumlah
murid yang semakin bertambah, maka secara berangsur-angsur hubungan
tutorial
itu diganti dengan pengajaran kelompok.
Adapun pertumbuhan dan perkembangan pendidikan sekolah dalam
Islam
meliputi:
1) Sekolah Zaman Rasulullah SAW
Kondisi aktivitas persekolahan baru mengalami perubahan yang
berarti ketika
Islam lahir. Bagi bangsa Arab, masjid merupakan sekolah pertama yang
bersifat
umum dan sistematis. Di masjid anak-anak dan orang dewasa menuntut ilmu.
Masjid
juga digunakan oleh kaum fakir miskin untuk berlindung dari dinginnya
udara
sambil belajar agama. Terkadang masjid digunakan untuk latihan perang.
Dengan
demikian masjid tetap difungsikan untuk dua kepentingan yang saling
menunjang
hingga pada masa khalifah Umar bin Khatttab yang membangun tempat-tempat
khusus
untuk anak-anak menuntut ilmu, di sudut-sudut masjid. Sejak zaman
itulah
pendidikan anak mulai tertata. Hari Jum’at merupakan hari libur mingguan
sebagai waktu menyiapkan shalat Jum’at, di mana usulan itu berasal dari
Umar
bin Khattab. Masjid menjadi pusat pengajian yang di dalamnya terdapat
kelompok-kelompok studi yang setara dengan SMA sekarang.
2) Sekolah Periode Abbasiyah
Akhir
Setelah kekhalifahan Abbasiyah berpindah dari satu periode ke
periode
selanjutnya, banyak negara kecil yang berhasil melepaskan diri dari
kekhalifahan. Mereka mulai membangun tempat-tempat pengajian ilmu atau
madrasah
dengan sistem internal dan setiap lokal madrasah memuat sepuluh orang
siswa.
Sekolah terlihat dalam bentuk kubah-kubah yang menyembul dari
kebun-kebun milik
masyarakat. Di kota-kota terdapat madrasah seperti madrasah Al-Zhariyah
yang
didirikan oleh Raja Zhahir, dan madrasah Al-Nuriyah yang didirikan oleh
Nuruddin Zanki. Sistem pengajaran di madrasah tetap memiliki otonomi
sendiri,
baik dalam sistem kurikulum, referensi, metode, dan lain-lain. Hubungan madrasah dengan
pemerintah hanya menyangkut masalah pendanaan.
3) Sekolah Zaman Modern
Terselenggaranya sekolah-sekolah modern seperti yang kita
lihat sekarang
lebih disebabkan oleh adanya perubahan sistem kehidupan politik. Artinya
negara
merasa perlu mengurus rakyat dan memandang dirinya bertanggung jawab
terhadap
seluruh masalah pangan, kekayaan, kecenderungan politik yang semua itu
berkaitan dengan perwujudan kemerdekaan, kemuliaan dari para pejabat
negara,
serta kehormatan negara di mata negara lain. Seluruh persoalan tersebut
ditumpukan pada pendidikan. Itulah alasan sosial dan politik yang
memotivasi
pemerintah untuk memegang kendali pendidikan, termasuk dalam penyiapan
kurikulum, bangunan sekolah, maupun tenaga pengajaranya.
Seperti telah disebutkan, bahwa dalam perkembangan dunia
pendidikan Islam,
khalifah sangat menaruh perhatian terhadap keberadaan madrasah, seperti
yang
dilakukan oleh khalifah Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz.
Sepintas lalu
sistem Islam dan non Islam tidak berbeda. Namun jika ditinjau lebih
jauh, akan
ditemukan metode dan aplikasi yang berbeda. Islam memberikan kebebasan
penyelenggaraan pendidikan Islam secara penuh kepada pengelola dan
rakyat pun
percaya atas pengelolaan wakil-wakil mereka karena memiliki aturan dan
tujuan
yang sama. Sekolah-sekolah Islam tetap berpegang teguh pada tujuan
fundamental,
yaitu merealisasikan pendidikan Islam demi tercapainya ketaatan kepada
Allah
dan melahirkan kemanfaatan sosial, ekonomi, keamanan, maupun demokrasi.[41]
Adapun pemindahan lembaga pendidikan dari masjid ke madrasah
disebabkan
semakin banyak penuntut ilmu dan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan
agama
dan umum. Hal ini terjadi pada masa Dinasti Abbasiyah akhir dan orang
yang
berjasa dalam mendirikan madrasah adalah perdana menteri Nizham Al-Mulk.
Sampai sekarang madrasah berkembang ke seluruh negara Islam.
Sekolah
sebagai jalur pendidikan formal diselenggarakan atas syarat-syarat,
tujuan, dan
alat-alat tertentu yang pelaksanaannya berpedoman pada:
a) Kurikulum harus bersifat
dinamis terhadap perkembangan masyarakat.
b) Alat-alat dan media fisik dan
nonfisik seperti bahan bacaan Al-Qur’an dan Hadis, alat audio visual,
mushalla,
dan lain-lain.
- Administrasi
dan supervisi serta organisasi yang mantap.
- Sistem dan metodologi yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat”.[42]
c. Masyarakat
Masyarakat merupakan lingkungan dan lembaga pendidikan ketiga
setelah
keluarga dan sekolah. Pendidikan masyarakat sudah dimulai sejak
anak-anak lepas
dari asuhan keluarga dan sekolah. Pendidikan masyarakat dilaksanakan
dengan
sengaja, tetapi tidak begitu terikat dengan peraturan dan syarat
tertentu.[43]
Di masyarakat terdapat lembaga-lembaga pendidikan, seperti
masjid, asrama,
perkumpulan olahraga, KNPI, Karang Taruna, organisasi kesenian, dan
sebagainya
yang tidak terikat dengan peraturan dan syarat tertentu. Kesemuanya itu
membantu pendidikan dalam membentuk sikap, keagamaan, kesusilaan, dan
menambah
ilmu. Dalam kaitannya dengan pendidikan Islam akan diterangkan beberapa
lembaga
dan organisasi yang ada di masyarakat.
1) Masjid
Setelah Nabi hijrah dari Mekkah ke Madinah, aktivitas
pertama yang dilakukan Nabi adalah membangun masjid yang dapat
menghimpun kaum
muslimin. Sebagai lingkungan pendidikan Islam, masjid mempunyai fungsi:
a) Fungsi Edukatif
Masjid berfungsi sebagai tempat pembinaan angkatan perang dan
gerakan
kemerdekaan, pembebasan umat dari penyembahan berhala, juga tempat
manusia
dididik supaya memegang teguh keutamaan, cinta kepada ilmu pengetahuan,
mempunyai
kesadaran sosial, serta menyadari hak dan kewajiban mereka dalam negara
Islam.
b) Fungsi Sosial
Ketika perang menerpa kaum muslimin, masjid digunakan sebagai
tempat
berlindung, sebagaimana pernah terjadi pada perang Salib pertama dan
kedua yang
ketika itu kaum muslimin melawan penjajah yang bercokol satu abad lebih.
Revolusi Aljazair pun berbasis di pondok-pondok dan sekolah-sekolah
Islam yang
berada di masjid. Demikian pula gerakan Islam di Pakistan, Afganistan,
dan
sebagainya.[44]
2) Asrama
Dalam waktu tertentu hubungan anak dengan keluarga dapat
terputus. Terputus
ini mungkin dapat diartikan seorang anak yang salah satu orang tuanya
meninggal, sehingga secara lahir terputuslah hubungannya, walaupun
secara batin
dan hubungan darah tetap ada selamanya. Asrama bukan hanya sebagai
tempat
penempatan anak yang terputus, namun orang tua bisa bekerja sama dengan
pengurus asrama untuk penitipan anak.
Jenis-jenis asrama yang dikenal adalah asrama yatim piatu,
asrama tampung
karena orang tua tidak mampu atau orang tua menitipkan pendidikan anak
kepadanya, asrama yang didirikan dalam sekolah, dan asrama untuk
menunjang
tercapainya tujuan pendidikan suatu jabatan.
d. Negara
Negara merupakan alat masyarakat yang mempunyai kekuasaan
untuk mengatur
hubungan manusia dalam masyarakat. Karena itu, sebagai organisasi,
negara dapat
memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan
serta
dapat menetapkan tujuan bersama.[45]
Bagi kita umat Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah
diperintahkan
untuk mentaati syariat Allah yang dibawa Rasul dan juga mentaati Ulil
Amri (QS.
Al-Nisa ayat 59). Allah memerintahkan kepada kita untuk membentuk
pemerintahan
(khilafah). Pembentukan pemerintahan
ini diperintahkan dengan cara pemilihan. Karena itu dalam pemilihan
pemerintahan
ini umat Islam diminta hati-hati jangan sampai memilih orang-orang anti
Tuhan.
Setiap negara mempunyai pandangan hidup berbeda yang dapat
mempengaruhi
semua aspek kehidupan bernegara, termasuk pendidikan. Pendidikan sebagai
upaya
sadar untuk membina manusia tidak bisa terlepas dari pandangan hidup
manusia
Indonesia, yaitu Pancasila.
Sebelum Indonesia merdeka, peluang pendidikan modern bagi umat
Islam
sangatlah sempit karena sikap dan kebijaksanaan kolonial yang amat
diskriminatif terhadap umat Islam (pribumi). Setelah Indonesia merdeka,
pemerintah RI sangat memperhatikan masalah pendidikan dengan dibentuknya
Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Dalam hal ini
dipilih Ki
Hajar Dewantara sebagai menterinya.
Berkaitan dengan pasal 31 UUD 1945, mengenai pengelolaan
pendidikan agama
yang diberikan di sekolah-sekolah umum dikeluarkan Surat Keputusan
Bersama
antara Menteri P dan K dan Menteri Agama. Hal ini diatur secara khusus
dalam UU
No. 4 tahun 1950 pada bab XII pasal 20 dan dalam SKB No. 1432 tanggal 20
Januari 1951 yang isi pokoknya bahwa tiap-tiap sekolah rendah, sekolah
lanjutan
umum dan sekolah kejuruan diberikan pendidikan agama dan siswa yang
berbeda
agama dibolehkan meninggalkan jam pelajaran tersebut. Ada satu hal
penting
bahwa pada masa Orde Lama ini dengan pengejawantahan Manipol Usdek,
murid
berhak tidak ikut serta dalam pendidikan agama jika wali murid atau
murid
dewasa menyatakan keberatannya.
Untuk mengubah mental masyarakat yang sudah terindroktrinasi
Manipol Usdek
Orde Lama, pemerintah mengeluarkan TAP MPRS No. XXVII/1966 Bab II Pasal
3
yang intinya mempertinggi mental, moral, budi pekerti dan memperkuat
keyakinan
beragama.
Dalam TAP MPRS No. IV/MPR/1973 (GBHN) dirumuskan tentang
hakikat
pendidikan, yaitu usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan di
dalam dan di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup. Oleh kareana
itu, agar
pendidikan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat sesuai dengan kemampuan
masing-masing individu maka pendidikan merupakan tanggung jawab
keluarga,
sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Hal ini jelas sekali bahwa tanggung
jawab pendidikan bukan hanya diserahkan kepada negara, tetapi keluarga,
sekolah, dan masyarakat harus bekerja sama dengan negara untuk mencapai
tujuan
pendidikan.
Sebagai usaha untuk menghilangkan dualisme sistem pendidikan
yaitu di satu
pihak Departemen Agama mengelola semua jenis pendidikan agama maupun
umum, dan
di lain pihak Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan
melaksanakan
sistem pendidikan nasional, maka dikeluarkan UU No. 2 tahun 1989 tentang
sistem
pendidikan nasional yang isinya antara lain semua masalah kurikulum
pendidikan
di bawah koordinasi Depdikbud sebagai wadah formal terintegrasinya
pendidikan
Islam dalam sistem pendidikan nasional, dan hal ini ditindaklanjuti
dengan PP
No. 28/1990 kemudian disempurnakan lagi dengan adanya Undang-Undang
Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
BAB III
MENGENAL PEMIKIRAN
JALALUDDIN RAHMAT
A. Riwayat
Hidup Jalaluddin Rahmat
Jalaluddin
Rakhmat,
lahir di Bandung, 29 Agustus 1949.[1]
Kang Jalal, begitu panggilan populernya dikenal sebagai salah satu tokoh
cendikiawan dan mubaligh Islam terkemuka di Indonesia, bersama Gus Dur
almarhum
(KH Abdurahman Wahid) dan Cak Nur almarhum (Prof.Dr. Nurcholis Madjid).[2]
Ibunya
adalah seorang aktifis Islam di desanya. Ayahnya adalah seorang kiai dan
sekaligus lurah desa. Karena kemelut politik Islam pada waktu itu,
ayahnya
terpaksa meninggalkan Jalal kecil yang masih berusia dua tahun. Ia
berpisah
dengan ayahnya puluhan tahun sehingga ia hampir tidak mempunyai ikatan
emosional dengannya. Menurut teori ateisme, mestinya Jalal menjadi
ateis;
tetapi ibunya mengirimkan Jalal ke Madrasah sore hari, membimbingnya
membaca
kitab kuning malam hari, setelah mengantarkannya ke sekolah dasar pagi
hari.
Jalal mendapatkan pendidikan agama hanya sampai akhir sekolah dasar.[3]
Dalam
suatu
wawancara, ia menuturkan : “Saya dilahirkan dalam keluarga Nahdiyyin
(orang-orang NU). Kakek saya punya pesantren di puncak bukit Cicalengka.
Ayah
saya pernah ikut serta dalam perjuangan gerakan keagamaan untuk
menegakkan
syariat Islam. Begitu bersemangatnya, beliau sampai meninggalkan saya
pada
waktu kecil untuk bergabung bersama para pecinta syariat. Saya lalu
berangkat
ke kota Bandung untuk belajar di SMP.”[4]
Karena
merasa rendah diri Jalal menghabiskan masa remajanya di perpustakaan
negeri,
peningggalan Belanda. Ia tenggelam dalam buku-buku filsafat, yang
memaksanya
belajar bahasa Belanda. Di situ ia berkenalan dengan para filosof, dan
terutama
sekali sangat terpengaruh oleh Spinoza dan Nietzsche. Ayahnya juga
meninggalkan
lemari buku yang dipenuhi oleh kitab-kitab berbahasa Arab. Dari
buku-buku
(kitab) peninggalan ayahnya itu, ia bertemu dengan Ihya Ulum al-Din-nya
al
Ghazali.[5]
Ia begitu terguncang karenanya sehingga seperti (dan mungkin memang)
gila. Ia
meninggalkan SMA-nya dan berkelana menjelajah ke beberapa pesantren di
Jawa
Barat. Pada masa SMA itu pula ia bergabung dengan kelompok Persatuan
Islam
(Persis) dan aktif masuk dalam kelompok diskusi yang menyebut dirinya
Rijalul
Ghad atau pemimpin masa depan.
Ini pun
tidak berlangsung lama. Ia kembali ke SMA-nya. Karena keinginannya untuk
mandiri, ia mencari perguruan tinggi yang sekaligus memberikan
kesempatan
bekerja kepadanya. Ia masuk kuliah Fakultas Publisistik, sekarang
Fakultas Ilmu
Komunikasi, Unpad Bandung. Pada saat yang sama, ia memasuki pendidikan
guru SLP
Jurusan Bahasa Inggris. Ia terpaksa meninggalkan kuliahnya, ketika ia
menikah
dengan santrinya di masjid, Euis Kartini. Setelah berjuang menegakkan
keluarganya, ia kembali lagi ke almamaternya.
“Saat
yang
sama, saya juga bergabung dengan Muhammadiyah, dan dididik di Darul
Arqam
Muhammadiyah dan pusat pengkaderan Muhammadiyah. Dari latar belakang itu
saya
sempat kembali ke kampung untuk memberantas bidáh, khurafat dan
takhayul. Tapi
yang saya berantas adalah perbedaan fiqih antara Muhammadiyah dan fiqih
NU
orang kampung saya. Misi hidup saya waktu itu saya rumuskan singkat:
menegakkan
misi Muhammadiyah dengan memuhammadiyahkan orang lain. Saya membuang
beduk dari
mesjid di kampung saya, karena itu dianggap bidáh. Tapi apa yang
kemudian
terjadi? Saya bertengkar dengan Uwa’ (Paman) saya yang membina pesantren
dan
dengan penduduk kampung. Sebab ketika semua orang berdiri untuk shalat qabliyah Jumát, saya duduk secara
demonstratif. Saya hampir-hampir dipukuli karena membawa fiqih yang baru
itu.’’[6]
Sebagai
kepala keluarga, ia sangat bahagia karena dikaruniai lima orang anak dan
empat
orang cucu. Sebagai hamba Allah, ia masih juga merasa belum sanggup
mengsyukuri
anugrah-Nya.
Dalam
posisinya sebagai dosen, ia memperoleh beasiswa Fulbright
dan masuk Iowa State University. Ia mengambil kuliah
Komunikasi dan Psikologi. Tetapi ia lebih banyak memperoleh pengetahuan
dari
perpustakaan universitasnya. Berkat kecerdasannya Ia lulus dengan
predikat magna cum laude. Karena memperoleh 4.0 grade point average, ia terpilih menjadi
anggota Phi Kappa Phi dan Sigma Delta Chi.[7]
Pada
tahun
1981, ia kembali ke Indonesia dan menulis buku Psikologi Komunikasi. Ia
merancang kurikulum di fakultasnya, memberikan kuliah dalam berbagai
disiplin,
termasuk Sistem Politik Indonesia. Kuliah-kuliahnya terkenal menarik
perhatian
para mahasiswa yang diajarnya. Ia pun aktif membina para mahasiswa di
berbagai
kampus di Bandung. Ia juga memberikan kuliah Etika dan Agama Islam di
ITB dan
IAIN Bandung, serta mencoba menggabungkan sains dan agama.
Kegiatan
ekstrakurikulernya dihabiskan dalam berdakwah dan berkhidmat kepada kaum
mustadháfin. Ia membina jamaah di masjid-masjid dan tempat-tempat kumuh
gelandangan. Ia terkenal sangat vokal mengkritik kezaliman, baik yang
dilakukan
oleh elit politik maupun elit agama. Akibatnya ia sering harus berurusan
dengan
aparat militer, dan akhirnya dipecat sebagai pegawai negeri. Ia
meninggalkan
kampusnya dan melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke kota Qum, Iran,
untuk
belajar Irfan dan filsafat Islam dari para Mullah tradisional, lalu ke
Australia untuk mengambil studi tentang perubahan politik dan hubungan
internasional dari para akademisi moderen di ANU. Dari ANU inilah ia
meraih
gelar Doktornya.
Sekarang,
lénfant terrible ini kembali lagi ke
kampusnya, Fakultas ilmu Komunikasi, Unpad. Ia juga mengajar di beberapa
perguruan tinggi lainnya dalam Ilmu Komunikasi, Filsafat Ilmu, Metode
Penelitian, dll. Secara khusus ia pun membina kuliah Mysticism
(Irfan/Tasawuf)
di Islamic College for Advanced Studies (ICAS)- Paramadina University,
yang ia
dirikan bersama almarhum Prof.Dr. Nurcholis Madjid, Dr. Haidar Bagir,
dan Dr.
Muwahidi sejak tahun 2002.[8]
B. Aktivitas
Intelektual Jalaluddin Rahmat
Di tengah kesibukannya mengajar
dan berdakwah di
berbagai kota di Indonesia , ia tetap
menjalankan
tugas sebagai Kepala SMU Plus Muthahhari Bandung, sekolah yang yang
didirikannya dan kini menjadi sekolah model (Depdiknas) untuk pembinaan
akhlak.
Sebagai ilmuwan ia menjadi anggota berbagai organisasi professional,
nasional
dan internasional, serta aktif sebagai nara
sumber dalam berbagai seminar dan konferensi. Sebagai mubaligh, ia sibuk
mengisi berbagai pengajian. Jamaah yang bergabung dengannya menyebut
diri
mereka sebagai “laron-laron kecil… menuju misykat pelita cahaya ilahi”.[9]
Misykat juga menjadi pusat kajian tasawuf dan sekaligus nama jamaáhnya.
Sebagai aktifis ia membidani dan
menjadi Ketua Dewan
Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) yang kini sudah
mempunyai
hampir 100 Pengurus Daerah (tingkat kota) di seluruh Indonesia dengan
jumlah
anggota sekitar 2,5 juta orang. Ia
juga menjadi pendiri Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta bersama Dr.
Haidar
Bagir dan Umar Shahab,MA.[10]
Keaktifannya
sebagai
intelektual mengantarkannya untuk menghasilkan puluhan buku dalam
berbagai disiplin keilmuan dan tema. Lebih dari 45 buku sudah dia tulis
dan
diterbitkan oleh beberapa penerbit terkemuka. Kini ia mencoba
mengembangkan
jangkauan pencerahan pemikiran umat dan dakwahnya melalui dunia cyber. Website The Jalal Center for the
Enlightenment,[11]
ini pun menjadi rumah maya kita bersama dan kampus virtual yang mudah
dijangkau
dari berbagai penjuru dunia. Dakwahnya pun makin bergaung melalui
layanan SMS
yang menyajikan ayat Qur’an, hadits dan hikmah lainnya, melalui REG
JALAL
(kirim ke 9388). Hasil keuntungan dari layanan dakwah SMS ini
didedikasikannya
untuk membiayai kegiatan dakwah dan pendidikan yang dikelola para
ustadz,
madrasah dan pesantren di berbagai peloksok Nusantara, yang dibinanya.
Selain
aktif sebagai dosen di berbagai perguruan tinggi, Kang Jalal aktif
berdakwah
dan berkhidmat kepada kaum mustadháfin. Ia membina jamaah di
masjid-masjid dan
di tempat-tempat kumuh dan gelandangan. Belakangan (3 tahun yang lalu)
ia
mendirikan sekolah gratis : SMP Plus Muthahhari di Cicalengka Bandung
yang dikhususkan
untuk siswa miskin. “Obsesi saya yang lain, melihat SMP Muthahhari
berdiri di
seluruh pelosok tanah Air sehingga anak-anak miskin tidak terputus
aksesnya
dari pendidikan. Mereka tidak bayar apapun, namun semua fasilitas
disediakan
dan mutu pendidikan yang diperolehnya tetap bermutu”.[12]
Dari
pengalaman
hidup masa remajanya ketika mengalami pubertas beragama, Kang Jalal
akhirnya
menemukan bahwa fiqih hanyalah pendapat para ulama dengan merujuk pada
sumber
yang sama, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Menurutnya “kalau orang menentang
Al-Qur’an
dan Sunnah, jelas ia kafir. Tapi kalau hanya menentang pendapat orang
tentang
Al-Qur’an dan Sunnah, kita tidak boleh menyebutnya kafir. Itu hanya
perbedaan
tafsiran saja”.[13] “Karena itulah
kemudian saya berfikir bahwa sebenarnya ada hal yang mungkin
mempersatukan kita semua, yaitu akhlak. Dalam bidang akhlak, semua orang
bisa
bersetuju, apapun mazhabnya. Lalu saya punya pendirian: kalau berhadapan
dengan
perbedaan pada level fiqih saya akan dahulukan akhlak”.[14]
Belum
lama
ini, ia bersama sejumlah tokoh populer, antara lain KH Abdurahman Wahid,
Prof. Dr.
Quraisy Shihab, hingga Dawam Raharjo, memperoleh atribut sesat lewat
sebuah
buku berjudul Aliran-aliran Sesat. ”Saya anggap saja numpang beken.
Karena tidak
hanya saya yang dicap sesat, tapi juga Gus Dur dan Ustadz Quraisy
Shihab,”
kelakarnya. Cap sesat acap dilekatkan padanya mungkin karena
kedekatannya
dengan komunitas agama lain. Ia tidak saja begitu toleran kepada
Ahmadiyah yang
dianggap sesat oleh MUI, tapi juga dengan umat lain. Cendikiawan yang
belakangan dipanggil kiai ini sering juga diminta berbicara di gereja
dan
forum-forum umat Kristiani.
Bahkan
Pluralisme menjadi isu yang kini kerap digaunkannya. Pluralisme versi
Kang
Jalal adalah menghormati dan mengapresiasi perbedaan dan tidak
memaksakan
pemahaman dan penafsiran kita tentang keselamatan dan kebenaran kepada
pihak
lain. Ia ingin menampilkan wajah Islam yang benar-benar “Rahmatan
lil Álamin”. Yakni Islam apa adanya yang
rasional-progresif (modern) namun tidak meninggalkan pedoman Al-Qur’an
dan
Sunnah Nabi. Pendekatannya terhadap Islam yang moderat, yang
mengharmoniskan aktifitas
dan metode pendekatan “fikir” dan “zikir” secara proporsional, mendayung
di
antara dua karang ekstrimitas: Liberalisme dan Fundamentalisme Literal.
Kang
Jalal panggilan
popular dari Jalaluddin Rakhmat, adalah nama yang identik dengan
perkembangan
tasawuf kota (urban sufism). Bahkan,
bisa dibilang dialah yang merintis kajian-kajian tasawuf dengan kelompok
sasaran masyarakat kelas menengah perkotaan, yaitu kalangan pengusaha,
pejabat,
politisi, selebriti, dan kalangan profesional dari berbagai bidang yang
rata-rata berpendidikan baik (well
educated).
Hal ini
bisa dilihat ketika pria yang akrab disapa Kang Jalal itu mendirikan dan
Pusat
Kajian Tasawuf (PKT): Tazkia Sejati, OASE-Bayt Aqila, Islamic College
for
Advanced Studies (ICAS-Paramadina), Islamic Cultural Center (ICC) di
Jakarta,
PKT Misykat di Bandung. Di lembaga-lembaga inilah putra Kiai Haji
Rakhmat dan
ahli komunikasi lulusan Iowa State University, AS, ini secara intensif
menyampaikan
pengajian atau kuliah-kuliah tasawufnya kepada masyarakat urban yang
dahaga
akan siraman ruhani Islam.
Bekal
pendidikannya yang diperoleh di negara-negara maju setelah meraih
masternya di
Amerika Serikat, ia juga memperoleh gelar doktor dari Australian
National University-menjadikan
Kang Jalal cukup paham idiom-idiom masyarakat kelas menengah perkotaan
dan
memahami model dakwah Islam seperti apa yang mereka inginkan. Itulah
sebabnya
dakwahnya mudah diterima oleh audiensnya yang kebanyakan orang-orang
terdidik
dengan kehidupan ekonomi yang baik itu.
Sejak
kecil, Kang Jalal sebenarnya bercita-cita menjadi pilot, bukan juru
dakwah.
Meskipun demikian, Jalal kecil sudah akrab dengan kehidupan bernuansa
agamis
dalam keluarga, meski sekolah formalnya sendiri bukan sekolah Islam.
Jalal
kecil memulai pendidikan formalnya dimulai dari Sekolah Dasar (SD) di
kampungnya. Lalu ia meninggalkan kampung halamannya guna melanjutkan
sekolah di
SMP Muslimin III Bandung. Jalal terbilang murid yang cerdas, buktinya
sejak kelas
satu SMP sampai tamat, ia selalu menjadi juara kelas. Itulah sebabnya ia
hanya
dibebani biaya sekolah satu kuartal saja, selebihnya beasiswa. Lulus
SMP, Jalal
melanjutkan ke SMA II Bandung. Kemudian dengan bekal ijazah SMA ia
melanjutkan
studinya di Fakultas Publisistik Universitas Padjajaran (UNPAD) yang
sekarang
berganti nama menjadi Fakultas Ilmu Komunikasi.
Menurut
pengakuannya, kuliah di Fakultas Publisistik itu hanya kebetulan. Karena
desakan ekonomi, ia kuliah di Fakultas Publisistik yang belajarnya sore,
sehingga pagi hari ia masih bisa mencari tambahan biaya hidup. Maklum
sejak
kecil ia sudah ditinggal oleh ayahnya. Untuk tetap membekali Jalal
dengan
pendidikan agama sepeninggal ayahnya, ibunda Kang Jalal menitipkannya
kepada
kiai Sidik, seorang kiai NU. Dari kiai Sidik inilah Jalal diperkenalkan
dengan
Ilmu Nahwu (gramatika) dari kitab Jurumiyah dan Sharaf (ilmu yang
membahas
perubahan kata dalam bahasa Arab). Menurut Kang Jalal, penguasaan
literatur dan
kemampuan bahasa Arabnya Kiai Sidik sangat fasih. Kiai Sidiklah yang
berjasa
membimbing Kang Jalal mengenal dan memahami beberapa bab dari kitab
Alfiah Ibnu
Malik.
Ketika
memasuki usia remaja, Jalal membaca kitab Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, karya
besar Imam
al-Ghazali. Buku itu telah menggoncangkan jiwanya, kemudian mengubah
cara
pandangnya tentang dunia. “Saya merasa dunia ini terlalu banyak dilumuri
dosa,”
ujarnya.[15]
Oleh
karenanya kehidupan dunia harus ditinggalkan. Setelah mengalami
goncangan itu
Jalal nekad meninggalkan sekolah dan pergi ke pesantren. Tapi pihak
pesantren
ternyata merasa keberatan menerima Jalal sebagai santrinya. Bukan karena
ia
hanya membawa beberapa liter beras, tapi karena ia hanya datang sendiri
tanpa
diantar oleh orang tua. Setelah
peristiwa itu ia pun melanjutkan kembali sekolahnya hingga tamat.
Materi
dakwah yang dibawakan Jalal muda dengan pemahaman Islam yang lebih
rasional,
membumi dan lebih membela orang-orang lemah baik dari sisi ekonomi,
pendidikan,
politik (kaum mustadl‘afîn)
mengundang kontroversi. Bagi
kaum muda, da’i model Kang Jalal memang cocok dengan semangat mereka.
Sementara
bagi kalangan tua dan mereka yang lebih senior dalam jenjang keulamaan,
kehadiran Jalal kurang disukai. Sebagai kelanjutan ketidaksukaan itu
Jalal
dicap sebagai agen Syiah dan dianggap meresahkan masyarakat. Maka pada
1985 ia
pun “diadili” oleh Majelis Ulama Kotamadya Bandung dengan “hukuman”
dilarang
berceramah di kota kota Bandung.[16]
Larangan
ceramah yang dikeluarkan oleh MUI kota Bandung tidak menghentikan
langkah Kang
Jalal untuk tetap berdakwah. Meskipun kali ini dakwahnya lebih banyak
pada
dakwah dengan tulisan. Karena ketika ada larangan ceramah, Kang Jalal
lebih
banyak waktu untuk menulis artikel dan buku. Tak lama kemudian, undangan
untuk
ceramah pun datang dari Yayasan Paramadina milik Dr. Nurcholish Madjid
di
Jakarta. Jalal diminta untuk
menjadi salah satu pengisi materi pada pengajian rutin yang
diselenggarakan
oleh Yayasan tersebut. Dan sejak itu Jalal malah laris ceramah di luar
Bandung,
dan ia pun memiliki akses dan reputasi nasional dan internasional. Masih
dalam
bidang dakwah, pada 3 Oktober 1988 bersama-sama Haidar Baqir, Agus
Effendy,
Ahmad Tafsir, dan Ahmad Muhajir, Kang Jalal mendirikan Yayasan
Muthahari. Salah
satu tujuan dari didirikannya yayasan ini adalah menumbuhkan kesadaran
Islami
melalui gerakan dakwah yang direncanakan secara professional berbekal
ilmu
pengetahuan moderen dan khazanah keilmuan Islam tradisional.
Sukses
di
Bandung, Kang Jalal merambah Jakarta. Dengan dukungan dana dan fasilitas
dari
keluarga H.Sudharmono, mantan wakil presiden semasa Orde Baru, Kang
Jalal
pernah mendirikan pusat kajian tasawuf dengan nama Yayasan Tazkiya
Sejati.
Lalu
pada
2004 Kang Jalal juga mendirikan dan memimpin satu forum lagi yang khusus
bergerak di bidang kajian tasawuf, yaitu Kajian Kang Jalal (KKJ) yang
pernah
bermarkas di Gedung Bidakara, dan kini KKJ tiap bulannya dilaksanakan di
Universitas Paramadina, Jln. Gatot Subroto, Kav.96-97, Mampang, Jakarta.
Berikutnya,
tahun
2003 bersama Cak Nur, Dr. Muwahidi dan Dr Haidar Bagir ia mendirikan
ICAS-Paramadina, bersama Haidar Bagir dan Umar Shahab ia mendirikan
Islamic
Cultural Center (ICC), sejak tahun 2004 ia membina LSM OASE dan Bayt
Aqila dan
aktif membina Badan Perjuangan Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan
(BPKBB),
sebuah forum dialog. silaturahmi dan kerjasama atak tokoh-tokoh pemimpin
agama-agama dan aliran kepercayaan di Indonesia. Terakhir sejak Agustus
2006 Ia
membina The Jalal-Center for Enlightenment (JCE) di Jakarta..
Selain
aktif berdakwah, Kang Jalal juga mengisi seminar keagamaan di berbagai
tempat,
mengajar di Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
ICAS-Paramadina &
ICC Jakarta dan UNPAD Bandung. Dan yang tetap ia lakukan di tengah
kesibukannya
ialah menyisihkan waktu untuk mengisi pengajian rutin (Kuliah Ahad Pagi)
di
Masjid al-Munawarah, masjid di dekat rumah yang jama’ahnya sudah dibina
sejak
tahun 1980-an. Juga, tahun 2001-2003 setiap pagi ia sering mengisi
pengajian
rutin yang disiarkan langsung oleh radio Ramako Group di Jakarta.[17]
- Pada Mulanya Ahli Fikih
Sebenarnya, pria kelahiran Bojong
Salam Rancaekek,
Bandung, pada 29 Agustus 1949 ini pada mulanya adalah seorang ahli
fikih.
Dakwah yang ia sampaikan pun dengan sendirinya lebih kental nuansa
fikihnya.
Malahan, ia pernah berbangga diri bahwa dalam setiap debat mengenai
fikih ia
selalu berhasil “menaklukkan” lawan-lawannya. Kebanggaan yang berlebihan
sempat
membuatnya lupa diri dan kelewat PeDe (percaya diri) bahkan sombong.
Banyak
sekali paham keislaman yang sudah mapan di tengah masyarakat Bandung ia libas.
Misalnya, ia menentang
tahlilan untuk orang meninggal, bolehnya kawin mut’ah, perlunya menambah
rukun
Islam dengan amar makruf nahi munkar, dan lain-lain.[18]
Keponggahan dan kesombongan
intelektual itu kemudian
berhenti ketika salah seorang jamaah Kang Jalal yang bernama Darwan
meninggal
dunia akibat ditabrak kereta api di dekat stasiun Kiaracondong. Menurut
penuturan Kang Jalal dalam pengantar bukunya Rindu Rasul, Darwan yang
pengetahuan agamanya sangat sederhana, tidak banyak tahu tentang tafsir
dan
hadis, pada menit-menit terakhir hidupnya, yang ia ingat hanya Nabi
Muhammad,
dan bulan itu adalah bulan Maulid. Ia pun berpesan pada istrinya agar
bikin
selamat buat kanjeng Nabi. Ia tidak ingat anak, ubi-ubi yang ia tanam,
dan
semua harta yang ia miliki. Peristiwa itulah di antaranya yang
meruntuhkan
keponggahan dan kesombongan intelektual Kang Jalal yang memahami agama.
Tahun 1983-1985 Kang Jalal aktif
memberikan kajian
rutin atas buku-buku karya para tokoh Ikhwanul Muslimin Mesir seperti
Hasan
al-Bana, Said Hawa, Syayid Qutb kepada para mahasiswa di Mesjid Salman
ITB,
Bandung, sebelum ia akhirnya mulai melirik kitab-kitab dan pemikiran
para tokoh
Syiah
- Tertarik dengan Tasawuf
Jalal sendiri mengenal dunia
tasawuf dan tertarik
dengan tasawuf, ketika bersama-sama Haidar Bagir dan Endang Saefuddin
Anshory
diundang pada sebuah konferensi di Kolombia pada 1984. Dari konferensi
itu ia
bertemu dengan ulama-ulama asal Iran
yang memiliki pemahaman mendalam tentang tasawuf dan ia merasa kagum
pada
mereka. Ia pun mendapat hadiah banyak buku dari ulama Iran
tersebut, yang di dalamnya
banyak membahas masalah ‘irfân (tasawuf).
Pascapulang dari konferensi
tersebut, Kang Jalal
banyak tertarik dengan dunia tasawuf termasuk pemikiran ulama-ulama
Syiah Iran
seperti Imam Khomeini, Murtadha Muthahari, dan lain-lain. Para
ulama tersebut disamping memiliki kualitas keilmuan yang tinggi, mereka
juga
memiliki integritas moral yang luar biasa. Maka, menurut Kang Jalal,
sosok
seperti Murtadha Muthahari bisa dijadikan sebuah model keterbukaan. Tak
heran
jika sejak saat itu tulisan-tulisan Kang Jalal banyak mengutip pendapat
dari
tokoh-tokoh tersebut. Tentang Imam Khomeini, ia melihatnya sebagai sosok
pejuang yang tangguh dan sekaligus seorang sufi besar yang aktivitas
politiknya
bisa mengguncang dunia, termasuk merepotkan negara penindas sebesar
Amerika
sekalipun.[19]
C. Karya-karya
Jalaluddin Rahmat
Kang Jalal dapat digolongkan
sebagai da’i dan
cendekiawan yang produktif. Dalam perjalanan karirnya ia sudah banyak
menghasilkan karya-karya ilmiah, baik yang berupa buku, majalah,
buletin,
makalah, artikel, kata pengantar beberapa buku yang sudah terbit dan
beredar di
toko-toko buku. Lebih dari 40 buku telah ditulisnya dan terbit. Adapun
buku-buku yang sudah terbit di antaranya:
1. Psikologi Komunikasi (1985)
Dalam
buku
ini Kang Jalal mengatakan bahwa kualitas hidup kita, hubungan kita
dengan
sesama manusia, dapat ditingkatkan dengan memahami dan memperbaiki
komunikasi
yang kita lakukan. Kita dapat mempelajarinya dengan berbagai tinjauan
tentang
komunikasi dan psikologi seperti yang diuraikan.
Buku ini
merupakan kumpulan dari ceramah-ceramah penulis di ITB, yang kemudian
diedit
dan disarikan kembali oleh Haidar Baqir. Buku ini berisi 5 bagian yang
masing-masing bagian terdiri dari beberapa pokok bahasan. Bagian
pertama,
berbicara Islam sebagai rahmat bagi alam. Bagian kedua, Islam pembebas
mustadl’afîn. Bagian ketiga, Islam dan pembinaan masyarakat. Bagian
keempat
Islam dan ilmu pengetahuan, dan bagian kelima, Islam Madzhab Syiah.
2. Islam Alternatif (1986).
Buku ini
merupakan kumpulan dari artikel yang telah dimuat oleh beberapa media
massa,
mulai dari Tempo, Gala, Kompas, Pikiran Rakyat, Panji Masyarakat, Jawa
Pos dan
Berita Buana. Menurut pengakuan penulis dalam pengantar buku ini, buku
ini
memang tidak utuh, karena merupakan percikan-percikan pemikiran penulis
yang
dimaksudkan untuk konsumsi media massa.
Meskipun
menggunakan judul seperti itu, menurut Kang Jalal, pembaca tidak akan
memperoleh penjelasan yang mendalam layaknya buku Suhrawardi Awârif
Al-Ma`rifah, dan I hyâ’ ‘Ulum al-Dîn, karya sufi besar al-Ghazali. Buku
Kang
Jalal yang satu ini mengajak kepada pembaca untuk menyesuaikan diri kita
dengan
perintah Allah (muwâfaqah), bagaimana
mencintai rasul dan para imam suci, dan saling menyayangi di antara
hamba Allah
(munâsabah), bagaimana melawan
keinginan hawa nafsu (mukhâlafah),
serta bagaimana memerangi setan (mu
hârabah).
4. Retorika Moderen (1992)
Buku ini
berupaya memberikan petunjuk-petunjuk praktis dalam retorika: Persiapan,
penyusunan, dan penyampaian pidato; lengkap dengan bahasan khusus
mengenai
pidato informatif, persuasif dan rekreatif. Petunjuk-petunjuk itu
dilandasi
teori-teori ilmiah.Kita ingin memasyarakatkan retorika yang berbobot
yang
melahirkan tuan dan puan, apa pun pekerjaan Anda. Banyak orang keliru
menganalisis seolah-olah kemajuan dunia
5. Catatan
Kang Jalal (1997).
Catatan
Kang Jalal (1997). Buku ini merupakan kumpulan dari tulisan-tulisan Kang
Jalal
yang telah dimuat di berbagai media massa. Isinya berupa ceramah-ceramah
spontan, makalah santai dan serius, obrolan ringan dan berat, yang
berlangsung
dari 1990-an, kemudian disarikan kembali oleh Miftah Fauzi Rakhmat. Ada beberapa visi yang ingin dilontarkan
penulis dalam buku ini. Yakni
visi media, visi politik, visi pendidikan, visi tranformasi sosial, visi
feminisme dan visi ukhuwah yang perlu dibangun.
6. Reformasi Sufistik (1998).
Seperti
buku Jalal yang lain, buku ini pun merupakan respon penulis atas
berbagai
persoalan yang sedang terjadi di tengah masyarakat, mulai dari politik,
kepemimpinan nasional, kekerasan sosial, demokrasi, keadilan, figur
pemimpin
Nabi, sampai persoalan sufistik. Digunakannya nama reformasi pada judul
buku
ini tentunya tidak luput dari situasi sosial yang berkembang saat itu,
sisi lain
mungkin karena pertimbangan bisnis agar lebih aktual dan menarik.
7. Jalaluddin Rakhmat Menjawab Soal-Soal
Islam Kontemporer (1998).
Buku ini
seperti yang dikatakan oleh sang editor, Hernowo, merupakan kumpulan
dari tanya
jawab pengajian yang diasuh Kang Jalal mulai dari tahun 1980-an sampai
1998,
baik yang berlangsung di Masjid Salman maupun di Masjid Jami
Al-Munawarah. Oleh
editor buku ini dibagi menjadi 4 bagian. Bagian pertama, berisi bahasan
seputar
ibadah mahdah, bagian kedua, membahas masalah mu’amalah, bagian ketiga,
membahas ahl al-bait, dan bagian keempat, menyajikan tafsir hadis, dan
masalah-masalah kontemporer.
8. Meraih Cinta Ilahi: Pencerahan Sufistik
(1999).
Seperti
pada buku-buku Kang Jalal sebelumnya, isi pesan dalam buku ini juga
hampir sama
dengan buku-buku terdahulu. Hanya sedikit saja perbedaannya. Kalau
dibandingkan
dengan buku Reformasi Sufistik, buku ini lebih banyak mengangkat
persoalan
sufistik. Lewat buku ini penulis mengajak para pembaca bagaimana
berusaha untuk
menjadi kekasih Allah, seperti uraian pada Bab I. Caranya melalui ibadah
ritual
dan ibadah sosial seperti penjelasan dalam Bab II dan III. Penulis juga
mengajak kita untuk melihat kembali sejarah masa lalu umat Islam (Bab
IV),
sedangkan pada Bab V disajikan tafsir surat-surat pendek.
9. Tafsir Sufi Al-Fâtihah (1999).
Menurut
Kang Jalal dalam pengantar buku ini, sampai sekarang tafsir sufi (isyâri) atau disebut juga tafsir
simbolis, keberadaannya masih diperdebatkan. Karena seperti ditulis oleh
al-Zarqani, tafsir ini adalah ta’wil al-Qur’an tanpa mengambil makna
lahirnya
untuk menyingkapkan petunjuk tersembunyi yang tampak pada para pelaku
suluk dan
ahli tasawuf. Namun demikian Jalal nampaknya ingin meyakinkan kepada
para pihak
yang keberatan dengan tafsir sufi ini, dengan membeberkan apa itu tafsir
dan
apa itu ta’wil. Secara garis besar
buku ini membahas apakah tafsir sufi itu diperlukan atau menyesatkan.
10. Rekayasa Sosial: Reformasi Atau Revolusi?
(1999).
Gelombang
Reformasi
pasca Orde Baru memunculkan isu-isu utama tentang perubahan sosial.
Persoalan buku ini adalah: Apakah perubahan sosial itu sesuatu yang ada
dalam
jangkauan ikhtiari, atau sesuatu yang
determinan? Kalau bersifat ikhtiari, maka setiap waktu perubahan itu
bisa
dilakukan melalui upaya-upaya yang berjalan secara alamiah atau normal.
Tetapi
kalau perubahan itu bersifat tergantung, maka harus ada upaya secara
radikal
yang disusun, guna membedah penyumbatan dalam sistem tatanan sosial yang
ada.
Inilah yang sering disebut dengan istilah revolusi.
11. Rindu Rasul (2001).
Melalui
buku ini kang Jalal ingin menceriterakan kepada pembaca bagaimana dahulu
ia
tidak suka shalawat yang macam-macam, membaca barjanji, minta syafaat
kepada
Nabi. “Paham modernis yang merasuki pikiran serta kepongahan intelektual
yang
palsu telah menjauhkan saya dari cinta kepada Nabi saw,” demikian
pengakuan
Kang Jalal dalam pengantar buku ini. Maka lewat buku ini ia ingin
menumpahkan
kerinduannya kepada Rasul kesayangannya yang untuk sementara waktu
kurang
diindahkan. Secara khusus buku ini ingin mengajak kepada pembaca untuk
lebih
dekat, mengenal, memahami dan mencintai Rasulullah manusia pilihan, nabi
teladan dan pemberi syafa’at di hari
kemudian.
12. Dahulukan Akhlak Di Atas Fikih (2002).
Buku ini
berisi pesan agar umat Islam tidak terpecah-belah oleh karena perbedaan
fikih
yang diyakini. Kang Jalal memaparkan berbagai peristiwa yang kurang
harmonis
sebagai akibat dari perbedaan fikih di antara masyarakat Islam. Bahkan
karena
pemahaman fikih yang ia yakini banyak masyarakat Muslim yang kesulitan
menjalankan agamanya. Baik tidaknya seseorang akan dinilai sejauhmana ia
menjalankan fikih yang diyakini. Padahal fikih sendiri sesungguhnya
adalah
pemahaman para ulama tentang syariah yang kemungkinan kebenarannya juga
tidak
mutlak. Kang Jalal juga berpendapat bahwa demi persaudaraan, maka
seseorang
boleh meninggalkan fikih yang diyakini.
13. Psikologi Agama (2003)
Buku ini
mencoba menyingkap misteri terjauh dan kenyataan terdekat itu
dalam proses-proses kejiwaan manusia. Bagaimana kita dapat memahami
agama yang
begitu kompleks? Agama tentu saja dapat dipelajari dari berbagai
pendekatan–Anda boleh memilihnya. Tetapi, dibandingkan dengan pendekatan
lain
(terutama teologi), pendekatan psikologi adalah yang paling menarik dan
manusiawi. Mengapa? Psikologi memperlakukan agama bukan sebagai fenomena
langit
yang serba sakral dan transenden–biarlah itu menjadi lahan teologi. Ia
ingin
membaca keberagamaan sebagai fenomena yang sepenuhnya manusiawi. Ia
menukik ke
dalam proses-proses kejiwaan yang mempengaruhi perilaku kita dalam
beragama,
membuka “topeng-topeng” kita, dan menjawab pertanyaan “mengapa”.
Psikologi,
karena itu, memandang agama sebagai perilaku manusiawi yang melibatkan
siapa
saja dan di mana aja.
14. Meraih Kebahagiaan (2004)
Melalui
buku yang ditebitkan Simbiosa Rekatama Media Bandung ini, Jalaluddin
Rakhmat
ingin membuktikan bahwa baik penderitaan maupun kebahagiaan,
kedua-duanya
adalah pilihan kita. Melalui kajian agama, filsafat dan ilmu
pengetahuan, serta
makna yang hakiki tentang kebahagiaan, Anda dapat memilih cara untuk
meraih
kebahagiaan yang Anda inginkan. Buku ini juga menerangi perjalanan Anda
menuju
kebahagiaan dengan menunjukkan jebakan-jebakan kebahagiaan: sukses,
kekayaan,
dan kesenangan. Kapan saja Anda ditimpa penderitaan, teguhkanlah dalam
diri
Anda untuk memilih dan meraih kebahagiaan.
15. Belajar Cerdas Berbasiskan Otak (2005).
Lewat
bahasa yang mengalir dan simpel, Jalaluddin Rakhmat menyajikan hal-hal
penting
berkaitan dengan otak dalam rangka membuat proses belajar dapat
dijadikan
secara menyenangkan dan efektif. Buku ini dibuka dengan uraian yang
cerdas
tentang otak kita yang menakjubkan. Bab berikutnya menjelaskan
pentingnya
memberikan makanan bergizi kepada otak dan kaitan otak dengan gerakan.
Bab
terakhir membahas sifat otak kita yang suka tantangan dan bagaimana
pengaruh
lingkungan terhadap pertumbuhan otak. Empat bab yang mengisi buku ini
akan
membuat perubahan-perubahan mendasar terhadap penyelenggaraan pendidikan
di
sekolah. Belajar berbasiskan otak akan “menghidupkan” sekolah.
16. Memaknai Kematian (2006)
Dalam
buku
ini Kang Jalal mengajak para pembaca untuk merenungkan dan memahami dan
memaknai kematian. Kajian eskatologis tentang kematian, hidup sesudah
mati,
akhirat, pertemuan dengan Tuhan Allah, dll. Dipaparkanya berdasarkan
kajian
al-Qur’an dan hadits-hadits. Dengan berusaha memaknai kematian, Kang
Jalal
sekaligus juga mengajak pembaca untuk memaknai kehidupan. Buku ini
terbagi
dalam dua bagian utama. Bagian Pertama: Menghayati Kematian berbicara
tentang
Makna dan Misteri Kematian, Kematian dalam Perspektif Sufi. Penjelmaan
Amal,
Reuni Keluarga di Surga; Bagian kedua membahas Hidup dalam Pengahayatan
Kematian: Berjumpa dengan Allah, Menghindari Su’ul Khatimah, Arti
penting
Ziarah Kubur, Syafaat: Buah Cinta kepada Ahlul Bait, dan Percik-percik
Makna Kematian.
17. Islam dan Pluralisme, Akhlak Al-Quran
dalam Menyikapi Perbedaan (2006).
Buku ini
membahas Apakah hanya Islam agama yang diterima Allah? Buku ini mencoba
mencari
jawabannya dalam Al-Quran. Lewat analisis bahasa dan telaah yang tajam
atas
ragam tafsir yang ada, Kang Jalal mendedah makna Islam dan agama (dîn), mengungkap spirit firman-Allah
dalam memandang agama-agama lain dan menyikapi perbedaan itu, serta
merumuskan
bagaimana kita beriman secara autentik di tengah pluralitas kebenaran
itu.
Dengan gaya-ungkap yang menawan, segar, dan cerdas, cendekiawan muslim
yang
pakar komunikasi ini juga mengajak kita menelaah berbagai wacana
keislaman dan
fenomena keberagamaan kontemporer: dari cara mengenal Tuhan hingga
menjadi
manusia, dari fundamentalisme hingga ateisme, dan dari penegakan syariat
hingga
transparansi sosial.
Adapun
buku
Kang Jalal lainnya yang sudah beredar adalah ‘Khalifah Ali ibn Abi
Thalib,
Rintihan Suci Ahl-bait, Fathimah Azzahra, Tafsir bi Al-Ma’sur, Zainab
al-Qubra,
Keluarga Muslim dalam masyarakat Moderen, dan Komunikasi Antar Budaya;
semua
buku tersebut diterbitkan oleh Rosdakarya Bandung. Sedangkan buku yang
berjudul
‘Madrasah Ruhaniah: Berguru Pada Ilahi Di Bulan Suci (Mizan Pustaka,
2005), Sq
for Kids (Mizan Pustaka), The Road to Allah (Mizan Pustaka),
Khotbah-khotbah di
Amerika (Rosdakarya Bandung), Menyinari Relung-relung Ruhani:
Mengembangkan EQ
dan SQ Cara Sufi (IIMAN dan Penerbit Hikmah, 2002), dan O’Muhammadku:
Puisi
Cinta Untuk Nabi (Muthahhari Press, 2001). Selain itu, banyak juga
karya-karya
Kang Jalal yang dikompilasikan dengan para penulis lain dan telah
diterbitkan
(termasuk yang dimuat di media massa dan elektronik). Misalnya,
tulisan-tulisan
Kang Jalal bisa dibaca dalam buku Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam
Sejarah
(Jakarta: Paramadina, 1994); dan Rekonstruksi dan Renungan Religius
Islam
(Jakarta: Paramadina, 1996).
D.
Tujuan dan Metode Pendidikan Islam menurut
Jalaluddin Rahmat
Sebagai
media refleksi ummat Islam, harus diakui bahwa dunia pendidikan Islam
masih
diselimuti mendung dan aneka problematika yang belum terurai dari masa
ke masa.
Diantara problematika dan indikator kemandegan yang selama ini
menghantui
pendidikan Islam adalah dalam hal yang berkenaan dengan tujuan dan
penerapan
metode atau strategi dalam pengajaran.
Arma’i
Arief sebagaimana dikutip oleh Ismail menyebutkan bahwa
persoalan-persoalan
yang selalu menyelimuti dunia pendidikan Islam saat ini adalah seputar
tujuan
dan hasil yang tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat, metode
pembelajaran
yang statis dan kaku, sikap dan mental pendidik yang dirasa kurang
mendukung
proses, dan materi pemeblajaran yang tidak progesif”.[20]
Konsep
pendidikan Islam yang membahas tujuan, strategi, metode, media, sumber,
lingkungan bahkah materi sekalipun memang harus bersifat elastis dalam
arti
sesuai tuntunan kebutuhan manusia yang selalu tumbuh dan berkembang.
Elastis di
sini, tidak berarti proses pendidikan Islam tidak memiliki dasar, tetapi
sebagai sebuah proses tentu bukan merupakan suatu harga mati, final, dan
tuntas
terutama yang berhubungan dengan pendukung terjadinya proses dimaksud
seperti
strategi, metode, media, sumber dan sebagainya.
Menurutnya
pendidikan
Islam identik dengan dasar ajaran Islam itu sendiri, yaitu Al-Quran
dan Al-Hadis”.[21]
Pendidikan Islam sebagai sebuah konsep, perumusan atau produk pikiran
manusia
dalam rangka pelaksaan pembinaan atau produk pikiran manusia dalam
rangka
pelaksaan pembinaan dan pengembangan potensi peserta didik tidak
bersifat baku
dan mutlak, tetapi bersifat relatif daya nalar manusia mengkaji
kandungan,
nilai dan makna wahyu Allah SWT.
Al-Qur’an
mengintroduksi
dirinya sebagai pemberi petunjuk kepada jalan yang lebih lurus.
Petunjuk-petunjuknya bertujuan memberi kesejahteraan dan kebahagiaan
bagi
manusia baik secara pribadi maupun kelompok, dan karena itu ditemukan
petunjuk-petunjuk bagi manusia dalam kedua bentuk tersebut”.[22]
Al-Quran
dan Hadis sebagai rujukan final telaah, kajian dan sumber teliti.
Al-Quran
merupakan kebenaran mutlak yang tidak mungkin dan tidak terjadi
perubahan. Abdurrahman
Saleh sebagaimana dikutip oleh Mahfudz Junaidi mengatakan, seseorang
tidak
mungkin dapat berbicara tentang pendidikan Islam tanpa mengambil
Al-Qur’an
sebagai satu-satunya rujukan.[23]
Oleh karena itu, kedua wahyu Allah tersebut menjadi dasar pendidikan
Islam,
sebagaimana Al-Quran Surah al-Hijr ayat 9 :
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨“tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ
Artinya : “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan
Al-Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya”.[24]
Disamping
itu,
pendidikan itu berhasil atau tidak, tidak lepas dari sebuah kurikulum.
Kurikulum salah satu komponen yang sangat menentukan sistem pendidikan,
karena
itu kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan dan
sekaligus
pedoman dalam pelaksaan pengajaran pada semua jenis dan tingkat
pendidikan.
Pemikiran
Kang
Jalal tentang tujuan dan metode pengajaran pendidikan Islam khususnya
dapat dilihat dari beberapa pendapatnya dan kurikulum yang pernah
dibuatnya
pada universitas di mana dia mengajar.
1.
Tujuan Pendidikan Islam Menurut Jalaluddin
Rahmat
Tujuan
pendidikan di suatu bangsa atau negara ditentukan oleh falsafah dan
pandangan
hidup bangsa atau negara tersebut. Bedanya falsafah dan pandangan hidup
suatu
bangsa atau negara menyebabkan berbeda pula tujuan yang hendak dicapai
dalam
pendidikan tersebut dan sekaligus akan berpengaruh pula terhadap negara
tersebut. Begitu pula perubahan politik pemerintahan suatu negara
mempengaruhi
pula bidang pendidikan, yang sering membawa akibat terjadinya perubahan
kurikulum yang berlaku. Oleh karena itu, kurikulum senantisa bersifat
dinamis
guna lebih menyesuaikan dengan berbagai perkembangan yang terjadi.
Tujuan
pendidikan yang ingin dicapai oleh kurikulim dalam pendidikan Islam
adalah
sejalan dengan tujuan pendidikan Islam dan juga dengan tujuan
pendidikan, yaitu
membentuk akhlah yang mulia dalam kaitannya dengan tujuan penciptaan
manusia,
yaitu mengabdi kepada Allah SWT.
Untuk
mencapai tujuan dimaksud tidak dapat dilakukan sekaligus malainkan harus
melalui
tahap-tahap tertentu yang setiap tahap itu harus menuju ke sasaran yang
sama,
yaitu pengabdian (menyembah) kepada Allah SWT.
Tujuan
pendidikan pada dasarnya adalah tujuan tertinggi atau terakhir yaitu
tujuan
yang tidak ada lagi tujuan di atasnya. Omar Mohammad ath-Thaumy
as-Syaibani menjelaskan,
kalau kita pandang tentang bentuk yang digambarkan oleh ungkapan tentang
tujuan
terakhir pendidikan dengan kacamata Al-Qur’an (Islam), maka kita
dapatkan tidak
ada pertentangan dalam makna dan tidak didapati di dalamnya apa yang
bertentangan dengan roh Islam. Pandangan ini akan mengajak kita
mengembalikan
semua kepada tujuan terakhir, yaitu persiapan untuk kehidupan dunia dan
akhirat”.[25]
Tujuan terakhir dengan pengertian ini tidak terbatas pelaksanaannya pada
institusi-institusi khas seperti sekolah, pondok, masjid dan lain-lain,
tetapi
wajib dilaksanakan oleh semua institusi yang ada di masyarakat”.[26]
Sebagaimana
disebutkan
di atas, bahwa pendidikan dalam Islam bertujuan untuk mengabdikan
diri kepada Allah. Menyembah (mengabdi) dimaksudkan adalah bersifat
ekstensif
dan konprehensif, di mana ia tidak terbatas pada pelaksanaan fisik dari
ritual
agama semata melainkan mencakup seluruh aspek aktivitas: iman, pikiran
perasaan
dan pekerjaan”.[27]
Ibadah dalam pendidikan Islam adalah sarana mengaktualisasikan diri
untuk
memperoleh derajad taqwa, yang pada akhirnya dengan taqwa itu akan dapat
diraih
kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Hal ini menunjukkan bahwa
pendidikan
Islam sangat menjunjung tinggi aspek keseimbangan sebagaimana dicermikan
dalam
firman Allah (QS, Al-Baqarah : 201) dan (QS, Qashash : 77) ;
!$oY/u‘ $oYÏ?#uä ’Îû $u‹÷R‘‰9$# ZpuZ|¡ym ’Îûur ÍotÅzFy$# ZpuZ|¡ym $oYÏ%ur z>#x‹tã Í‘$¨Z9$#
Artinya : "Ya Tuhan kami, berilah kami
kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari
siksa
neraka".[28]
Æ÷tGö/$#ur !$yJ‹Ïù š9t?#uä ª!$# u‘#¤$!$# notÅzFy$# ( Ÿwur š[Ys? y7t7ŠÅÁtR šÆÏB $u‹÷R‘‰9$# ( `Å¡ômr&ur !$yJŸ2 z`|¡ômr& ª!$# šø‹s9Î) ( Ÿwur Æ÷ö7s? yŠ$|¡xÿø9$# ’Îû ÇÚö‘F{$# ( ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä† tûïωšøÿßJø9$# ÇÐÐÈ
Artinya : “Dan carilah pada apa yang Telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi”.[29]
Tujuan
pendidikan agama Islam di atas tidak terlepas dari tujuan agama itu
sendiri.
Mukti Ali sebagaimana dikuti oleh Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa
agama
adalah percaya akan adanya Tuhan Yang Esa dan hukum-hukum yang
diwahyukan
kepada kepercayaan utusan-utusan-Nya untuk kebahagiaan hidup manusia di
dunia
dan di akhirat”.[30]
Tujuan keseimbangan tersebut tentunya mengandung arti yang sangat
mendalam dan
hanya dapat dicapai melalui proses pencarian pengetahuan melalui
pendidikan.
Secara
garis besar pendidikan Islam menurut Jalaluddin Rahmat diartikan
sebagai upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis dalam
rangka
membentuk manusia yang memiliki:
1.
Kepribadian
Islam
2. Menguasai Tsaqafah Islamiyah dengan handal
3. Menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan
teknologi)
2.
Metode Pendidikan Islam Menurut Jalaluddin
Rahmat
Pada
dasarnya, metode pendidikan Islam sangat
efektif dalam membina kepribadian anak didik dan memotifasi mereka
sehingga
aplikasi metode ini memungkinkan puluhan ribu kaum mukminin dapat
membuka hati
manusia untuk menerima petunjuk Illahi dan konsep-konsep peradaban
Islam.
Selain itu metode pendidikan Islam akan mampu menempatkan manusia di
atas
luasnya permukaan bumi dan lamanya masa yang tidak diberikan kepada bumi
lainnya.
Metode
mengajar dalam pendidikan Islam sebenarnya
cukup kaya, terutama pada zaman keemasan Islam dalam perkembangan ilmu
pengetahuan seperti telah dibuktikan oleh para intelektual besar Islam
yaitu Al
Kindi, Al Farabi, Ibnu Maskawai, Al Mawardi, Ibnu Sina, Al Ghazali, Ibnu
Rusyd,
Ibnu Bajah, Ibnu Thufal, Ibnu Kaldun dan lain-lain. Namun
demikian, dalam penerapannya masih saja
kurang maksimal.
Apabila
proses pendidikan tidak menggunakan metode yang tepat maka akan
sulit untuk mendapatkan tujuan pembelajaran yang diharapkan. Sinyalemen
ini
seluruh pendidik sudah maklum, namun masih saja di lapangan penggunaan
metode
mengajar ini banyak menemukan kendala. Kendala penggunaan metode yang
tepat
dalam mengajar banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor ; keterampilan
guru
belum memadai, kurangnya sarana dan prasarana, kondisi lingkungan
pendidikan
dan kebijakan lembaga pendidikan yang belum menguntungkan pelaksanaan
kegiatan
belajar mengajar yang variatif”.[32]
Sebagai
media refleksi ummat Islam, harus diakui
bahwa dunia pendidikan Islam masih diselimuti mendung dan aneka
problematika
yang belum terurai dari masa ke masa. Diantara problematika dan
indikator
kemandegan yang selama ini menghantui pendidikan Islam adalah dalam hal
menerapkan metode dalam proses pembelajaran”.[33]
Berbagai
pendapat dan komentar tentang stagnasi dan
ketidak efektifan metode pembelajaran agama Islam pun bermunculan. Armai
Arief
mengatakan bahwa persoalan-persoalan yang selalu menyelimuti dunia
pendidikan
Islam sampai saat ini adalah seputar tujuan dan hasil yang tidak sejalan
dengan
kebutuhan masyarakat, metode pembelajaran yang statis dan kaku, sikap
dan
mental pendidik yang dirasa kurang mendukung proses, dan materi
pembelajaran
yang tidak progresif”.[34]
Dari
berbagai pendapat tersebut semkain jelas
bahwa di antara tantangan pendidikan Islam yang perlu dicarikan
alternatif
jalan keluarnya adalah persoalan metode. Mengingat, dalam proses
pendidikan
Islam, metode memiliki kedudukan yang sangat signifikan untuk mencapai
tujuan
pendidikan Islam. Bahkan metode sebagai seni dalam menstransfer ilmu
pengetahuan
kepada siswa dianggap lebih signifikan dibansing dengan materi itu
sendiri. Ini
sebuah realita bahwa cara penyampaian yang komunikatif lebih disenangi
oleh
siswa, walaupun sebenarnya materi yang disampaikan sesungguhnya tidak
terlalu
menarik. Sebaliknya materi yang cukup menarik, karena disampaikan dengan
cara
yang kurang menarik maka materi itu kurang dapat dicerna oleh siswa.
Karenanya,
penerapan metode yang tepat sangat mempengaruhi keberhasilan dan proses
belajar
mengajar. Sebaliknya, kesalahan dalam menerapkan metode akan berakibat
fatal.
Metode
pembelajaran dan mengajar dalam Islam tidak terlepas dari sumber
pokok ajaran yaitu Al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai tuntunan dan pedoman
bagi umat
telah memberikan garis-garis besar mengenai pendidikan terutama tentang
metode
pembelajaran dan metode mengajar.
Beberapa
ayat yang terkait secara langsung
tentang dorongan untuk memilih metode secara tepat dalam proses
pembelajaran
adalah diantaranya dalam surat An Nahl ayat 125 :
äí÷Š$# 4’n<Î) È@‹Î6y™ y7În/u‘ ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9ω»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }‘Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7/u‘ uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#‹Î6y™ ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïωtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ
Artinya :
“Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang
lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang
lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.[35]
Selain itu, dalam surat Ali
Imran ayat 156 sebagai
berikut :
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qçRqä3s? tûïÏ%©!$%x. (#rãxÿx. (#qä9$s%ur öNÎgÏRºuq÷z\} #sŒÎ) (#qç/uŽŸÑ ’Îû ÇÚö‘F{$# ÷rr& (#qçR%x. “x“äî öq©9 (#qçR%x. $tRy‰YÏã $tB (#qè?$tB $tBur (#qè=ÏFè% Ÿ@yèôfuŠÏ9 ª!$# y7Ï9ºsŒ ZouŽô£ym ’Îû öNÍkÍ5qè=è% 3 ª!$#ur ¾Ç‘øtä† àM‹Ïÿä‡ur 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎ÅÁt/ ÇÊÎÏÈ
Artinya : “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir
(orang-orang
munafik) itu, yang mengatakan kepada Saudara-saudara mereka apabila
mereka
mengadakan perjalanan di muka bumi atau mereka berperang: "Kalau mereka
tetap bersama-sama kita tentulah mereka tidak mati dan tidak dibunuh."
akibat (dari perkataan dan keyakinan mereka) yang demikian itu, Allah
menimbulkan rasa penyesalan yang sangat di dalam hati mereka. Allah
menghidupkan dan mematikan. dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan”.[36]
Sebagaimana
disinggung sebelumnya, bahwa esensi
pendidikan agama Islam terletak pada kemampuannya untuk mengembangkan
potensi
siswa agar menjadi manusia yang beriman
dan bertaqwa dan dapat tampil sebagai khalifatullah
fi al ardh. Esensi ini menjadi acuan terhadap metode pembelajaran
utuk
mencapai tujuan yang maksimal
Sedangkan
prinsip-prinsip dasar dalam metode
menyampaikan
materi pelajaran Islam sebagaimana tercantum dalam surat An-Nahl ayat
125. Ayat
ini memuat tentang prisnsip-prinsip berdakwah (mengajar, mendidik) yang
terdiri
dari :
1.
Al-Hikmah (arif-bijaksana
bersumber dari Al-Qur’an).
2.
Maudzoh
Hasanah (perkataan yang
baik, lemah lembut) .
BAB IV
ANALISA TERHADAP
PEMIKIRAN JALALUDDIN RAHMAT TENTANG PENDIDIKAN ISLAM
A.
Analisa Terhadap Tujuan Pendidikan Islam
Sebagai
salah satu tokoh pemikir pembaharuan, Jalaluddin Rakhmat dalam sejarah
pendidikan Islam tercatat sebagai salah satu tokoh pejuang yang banyak
memberikan kontribusi pendidikan Islam melalui ide pemikiran dan
karya-karyanya
dalam pendidikan agama Islam. Salah satunya adalah merancang
pengembangan
kurikulum pendidikan yang memuat tentang dasar, tujuan, dan metode
pendidikan
agama di fakultasnya dan memberikan kuliah dalam berbagai disiplin yang
tentunya juga banyak dipakai dan ditiru oleh lembaga pendidikan lain
yang ada
negeri ini.
Sebagaimana
disampaiakan
pada bab sebelumnya bahwa kurikulum merupakan salah satu komponen
yang sangat menentukan dalam suatu sistem pendidikan karena kurikulum
merupakan
alat untuk mencapai tujuan pendidikan sekaligus sebagai pedoman dalam
pelaksanaan pengajaran pada semua jenis dan jenjang pendidikan.
Tujuan
pendidikan Islam menurut Kang Jalal sebagaimana telah dipaparkan pada
bab
sebelumnya yaitu upaya sadar,
terstruktur, terprogram, dan sistematis dalam rangka membentuk
manusia yang memiliki : 1) kepribadian Islam, 2) menguasai Tsaqafah
Islamiyah dengan handal, 3) menguasai
ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan
teknologi, 4) memiliki
skills/ketrampilan yang tepat guna dan berdaya guna meliputi syari'at, tariqat dan hakikat
(ibadah, mu'amalah).ditunjang dengan sains dan teknologi.
Sebagaimana
disebutkan
sebelumnya bahwa analisis pemikiran Jalaluddin Rahmat tentang
pendidikan Islam akan peneliti analisis dengan pendekatan normatif dan
yuridis.
Peneliti akan mencari keterkaitan pemikirannya dengan norma dan
hukum-hukum
yang berlaku dalam hal ini kaitannya dengan konteks pendidikan sekarang.
Adapun
tujuan pendidikan Islam menurut Kang Jalal akan peneliti analisis secara
rinci
sebagai berikut :
- Kepribadian Islam
Tujuan
ini merupakan konsekuensi keimanan seorang
muslim, yaitu teguhnya dalam memegang identitas kemuslimannya dalam
hidup dan pergaulan
sehari-hari. Identitas itu tampak pada dua aspek yang fundamental, yaitu
pola
berfikirnya (aqliyah) dan pola
sikapnya (nafsiyyah) yang berpijak
pada aqidah dan ahklak Islam.[1]
Menurutnya makna hidup manusia diukur sejauhmana ia berhasil beramal
sebaik-baiknya, yakni sejauh mana ia mengembangkan iman dan ilmunya.[2]
Sebagaimana firman Allah (QS. Al Kahfi:7) :
$¯RÎ) $oYù=yèy_ $tB ’n?tã ÇÚö‘F{$# ZpoYƒÎ— $ol°; óOèduqè=ö7oYÏ9 öNåkš‰r& ß`|¡ômr& WxyJtã ÇÐÈ
Artinya :
”Sesungguhnya kami Telah menjadikan apa
yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar kami menguji mereka
siapakah di
antara mereka yang terbaik perbuatannya”.[3]
Berkaitan
dengan pengembangan keperibadian dalam
Islam ini, paling tidak terdapat tiga langkah upaya pembentukannya
sebagaimana
yang dicontohkan Rasulullah saw., yaitu :
a.
Menanamkan
aqidah Islam kepada seorang manusia dengan
cara yang sesuai dengan kategori aqidah tersebut, yaitu sebagai aqidah
aqliyah;
aqidah yang keyakinannya muncul dari proses pemikiran yang mendalam.
b.
Mengajaknya
untuk senantiasa konsisten dan istiqamah
agar cara berfikir dan mengatur kecenderungan insaninya berada tetap di
atas
pondasi aqidah yang diyakininya.
c.
Mengembangkan
kepribadian dengan senantiasa mengajak
bersungguh-sungguh dalam mengisi pemikirannya dengan tsaqafah
Islamiyah, berakhlak mulia dan mengamalkan perbuatan yang
selalu berorientasi pada melaksanakan ketaatan kepada Allah swt.
Dari
pernyataan di atas nampak jelas bahwa tujuan pendidikan Islam yang
dimaksud adalah menanamkan rasa keimanan, ketaqwaan kepada Allah dan
berakhlakul
karimah serta keseimbangan antara khabluminallah
dan khablumminannas.
Pernyataan
senada juga disampaikan oleh Nurcholish Madjid, bahwa tujuan
akhir yang inginn dicapai melalui kegiatan pendidikan Islam yang
dilakukannya
terdiri dari dua dimensi hidup, pertama; penanaman rasa taqwa kepada
Allah,
kedua; kemanusiaan, mengembangkan rasa kemanusiaan kepada sesama dengan
berakhlakul karimah.[4]
Kaitannya
pendidikan sebagai upaya mengembangkan budi pekerti luhur,
pendidikan Islam memandang bahwa pendidikan budi pekerti/akhlak adalah
jiwa
pendidikan Islam. Mencapai akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya
dari
pendidikan dengan tidak mengesampingkan aspek-aspek penting lainnya;
pendidikan
jasmani, akal, ilmu pengetahuan ataupun segi-segi praktis lainnya”.[5]
Undang-Undang
Dasar
Tahun 1945 pasal 31 ayat ketiga sudah mengamanatkan bahwa pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa”.[6]
Hal
tersebut sangatlah sesuai dengan konteks pendidikan saat ini yaitu
dengan tujuan pendidikan
nasional yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk
berkembangnya potensi diri agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertangung
jawab”.[7]
Implementasi
dari
tujuan tersebut dengan menerapkan materi Pendidikan Kewarganegaraan
(PKn)
dan Pendidikan Agama Islam (PAI) serta Aqidah Akhlak pada semua jenjang
pendidikan tentang ketaatan dengan kompetensi dasar perilaku taat dalam
beribadah terhadap Tuhan Yang Maha Esa.[8]
Dari paparan tersebut nampak jelas bahwa terdapat keserasian antara
tujuan
pendidikan Islam dan tujuan pendidikan nasional sebagai konteks
pendidikan
nasional sekarang.
- Menguasai Tsaqafah
Islamiyah dengan handal
Islam
mendorong setiap muslim untuk menjadi manusia
yang berilmu dengan cara mewajibkannya untuk menuntut ilmu. Adapun ilmu
berdasarkan takaran kewajibannya menurut Al Ghazali dibagi dalam dua
kategori,
yaitu :
a.
Ilmu yang fardlu
‘ain, yaitu wajib dipelajari setiap muslim, yaitu ilmu-ilmu tsaqafah
Islam
yang terdiri konsespsi,ide, dan hukum-hukum Islam (fiqh),
bahasa Arab, sirah nabawiyah, ulumul quran, tahfidzul quran,
ulumul hadits, ushul fiqh, dll.
b.
Ilmu yang
dikategorikan fadlu kifayah, biasanya ilmu-ilmu yang
mencakup sains dan
teknologi, serta ilmu terapan-ketrampilan, seperti biologi, fisika,
kedokteran,
pertanian, teknik, dll.[9]
Berkaitan
dengan tsaqafah Islam, terutama bahasa Arab, Rasulullah
saw. telah
menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan dan
urusan
penting lainnya, seperti bahasa diplomatik dan interaksi antar negara.
Dengan
demikian, setiap muslim yang bukan Arab diharuskan untuk mempelajarinya.
Berkaitan dengan hal ini karena keterkaitan bahasa Arab dengan bahasa Al
Quran
dan As Sunnah, serta wacana keilmuan Islam lainnya.
Maksud
dari hukum wajib menuntut ilmu tersebut di
atas menunjukkan bahwa salah satu tujuan pendidikan Islam adalah untuk
pengembangan ilmu keislaman sesuai dengan Al-Qur’an dan As Sunnah.
Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 pasal 31 ayat kesatu sudah mengamanatkan bahwa ”setiap
warga negara berhak mendapatkan pendidikan” dan ayat kedua menyebutkan
bahwa
”setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib
membiayainya”.[10]
Dari
amanat tersebut, seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan
bangsa
yang merupakan salah satu tujuan negara Indonesia”.[11]
Salah
satu implementasi dari konsekuensi pemerintah
yang juga di sebutkan dalam visi pendidikan nasional yaitu dengan
mengupayakan
perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu
bagi
seluruh rakyat Indonesia.
- Menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu,
dan teknologi)
Menguasai
ilmu-ilmu
terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi) diperlukan agar umat
Islam
mampu mencapai kemajuan material sehingga dapat menjalankan fungsinya
sebagai khalifatullah
di muka bumi dengan baik. Islam menetapkan penguasaan sain sebagai fardlu kifayah, yaitu kewajiban yang
harus dikerjakan oleh sebagian rakyat apabila ilmu-ilmu tersebut sangat
diperlukan umat, seperti kedokteran, kimia, fisika, industri
penerbangan,
biologi, teknik, dll.
Pada
hakekatnya ilmu pengetahuan terdiri atas dua
hal, yaitu pengetahuan yang mengembangkan akal manusia, sehingga ia
dapat
menentukan suatu tindakan tertentu dan pengetahuan mengenai perbuatan
itu sendiri.
Berkaitan
dengan akal, Allah swt. telah memuliakan manusia dengan akalnya.
Akal
merupakan faktor penentu yang melebihkan
manusia dari makhluk lainnya, sehingga kedudukan akal merupakan sesuatu
yang
berharga. Allah menurunkan Al-Quran dan mengutus Rasul-Nya dengan
membawa Islam
agar beliau menuntun akal manusia dan membimbingnya ke jalan yang benar.
Pada
sisi yang lain Islam memicu akal untuk dapat menguasai ilmu-ilmu
terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi), sebab
dorongan dan perintah untuk maju merupakan buah dari keimanan.
Dalam
kitab Fathul Kabir, juz III, misalnya
diketahui bahwa Rasulullah saw. pernah mengutus dua orang sahabatnya ke
negeri
Yaman untuk mempelajari pembuatan senjata muktahir, terutam alat perang
yang
bernama dabbabah, sejenis tank yang terdiri atas kayu tebal
berlapis
kulit dan tersusun dari roda-roda. Rasulullah saw. memahami manfaat alat
ini
bagi peperangan melawan musuh dan menghancurkan benteng lawan.[12]
Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 pasal 31 ayat kelima mengamanatkan bahwa ”pemerintah
memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi
nilai-nilai
agama dan persatuan bangsa untuk memajukan peradaban serta kesejahteraan
umat
manusia”.[13]
Ayat selanjutnya juga menyatakan bahwa negara memprioritaskan anggaran
pendidikan
sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja
negara”.[14]
Undang-Undang
RI Nomor 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa salah satu misi dari
pendidikan nasional mempunyai misi meningkatkan keprofesionalan dan
akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu
pengetahuan,
keteampilan, pengamalan, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional
dan
global”.[15]
Alokasi
20 persen untuk bidang pendidikan dari RAPBN telah membuktikan
bahwa pemerintah telah bersungguh-sungguh dalam usahanya guna mencapai
tujuan
pendidikan nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
- Memiliki skills/ketrampilan yang tepat guna dan
berdaya guna
Perhatian
besar Islam pada ilmu teknik dan praktis, serta ketrampilan
merupakan salah satu dari tujuan pendidikan Islam. Penguasaan
ketrampilan yang
serba material ini merupakan tuntutan yang harus dilakukan umat Islam
dalam
rangka pelaksanaan amanah Allah Swt. Hal ini diindikasikan dengan
terdapatnya
banyak nash yang mengisyaratkan
kebolehan mempelajari ilmu pengetahuan umum dan ketrampilan. Hal ini
dihukumi
sebagai fardlu kifayah.
Secara
konsepsional, sebenarnya pendidikan Islam berorientasi kepada
masalah duniawai dan ukhrawi. Namun dalam praktek operasional banyak
lembaga
Islam cenderung mementingkan pendidikan yang berorientasi keakhiratan
dari pada
keduniaan.[16]
Gejala
semacam ini menjadi indikasi salah satu sebab kenapa uot-put
pendidikan Islam pada umumnya terasa kurang terserap dalam
pemenuhan tenaga-tenaga terampil yang sangat diperlukan dalam
meningkatkan mutu
kehidupan.[17]
Dengan
demikian, pendidikan Islam juga harus mampu meningkatkan kesadaran
peserta didik terhadap problema sosial, politik dan ekonomi yang
dihadapi
manusia secara macro. Pada waktu yang sama tidak ketinggalan untuk
membina dan
membekali mereka dengan keahlian (skill)
dan kemampuan-kemampuan dasar agar mereka kelak mampu menyelesaikan
persoalan-persoalan peningkatan mutu kehidupan.
Tujuan
juga telah diimplementasikan oleh pemerintah dengan mengembangkan
pendidikan
kecakapan hidup melalui pendidikan formal dan non formal seperti halnya
kursus
dan pelatihan.
Pendidikan
kecakapan hidup (life
skills) adalah pendidikan yang memberikan kecakapan personal,
kecakapan
sosial, kecakapan intektual, dan kecakapan vokasional untuk bekerja atau
usaha mendiri”.[18]
Kursus
dan pelatihan sebagai bentuk pendidikan berkelanjutan untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik dengan penekanan pada penguasaan
ketrampilan, standar kompetensi, pengembangan sikap kewirausahaan serta
pengembangan kepribadian profesional”.[19]
Pendapat
Abdul Majid sebagaimana dikutip oleh Muh
Sakir menyebutkan bahwa :
”Tujuan pendidikan agama Islam di sekolah atau madrasah
bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian
dan
pemupukan pengetahuan, penghayatan, serta pengamalan peserta didik
tentang
agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam
hal
keimanan, ketaqwaanya, berbangsa, dan bernegara serta untuk dapat
melanjutkan
pada jenjang yang lebih tinggi”.[20]
Dengan
demikian tujuan dari pendidikan Islam
adalah membentuk manusia
Indonesia yang berdasarkan Pancasila, yang beriman kepada Tuhan Yang
Maha Esa
serta mempunyai ilmu pengetahuan dan mampu mengembangkan teknologi untuk
kesejahteraan umat manusia sebagai kodratnya menjadi khalifah di bumi.
B.
Analisa Terhadap Metode Pendidikan Islam
Unsur
penting dalam proses pelaksanaan pendidikan Islam yang menjadi salah
satu kontribusi Kang Jalal yaitu metode pendidikan Agama Islam. Dalam Al-Qur’an
banyak memuat istilah-istilah komunikasi sebagai salah satu metode
pembelajaran. Istilah-istilah tersebut adalah ; Qaulan
sadidan (QS 4 : 9), Qaulan
maysuran (QS 17 : 28), Qaulan Layinan
(QS 20 : 44), Qaulan kriman (QS 17 :
23), Qaulan Mau’rufan ( QS 4 : 5 )
dan istilah ” Qaulan Balighon” ( Qs 4
: 63 )”.[21]
Kata “Baligh”
dalam bahasa Arab atinya sampai, mengenai sasaran, atau mencapai tujuan.
Bila
dikaitkan dengan qawl (ucapan), kata
balig berarti fasih, jelas maknanya, terang, tepat mengungkapkan apa
yang
dikehendaki. Karena itu prinsip qaulan balighan
dapat diterjemahkan sebgai prinsip komunikasi yang effektif. Komunikasi
yang
efektif dan efisien dapat diperoleh bila memperhatikan pertama, bila
dalam
pembelajaran menyesuaikan pembicaranya dengan sifat khalayak. Istilah
Al-Quran
“fii anfusihiim”, artinya penyampaian
dengan “bahasa” masyarakat setempat. Hal yang kedua agar komunikasi
dalam
proses pembelajaran dapat diterima peserta didik manakala komunikator
menyentuh
otak atau akal juga hatinya sekaligus”.[22]
Adapun
secara terminologi sebagimana dikutip oleh Ramayulis, para ahli
pendidikan mendefinisikan metode sebagai berikut ; a). Hasan Langgulung
mendefinisikan bahwa metode adalah cara atau jalan yang harus dilalui
untuk
mencapai tujuan pendidikan. b). Abd. Al-Rahman Ghunaimah mendefinisikan
bahwa
metode adalah cara-cara yang praktis dalam mencapai tujuan pengajaran.
c).
Ahmad Tafsir mendefinisikan metode mangajar adalah cara yang paling
tepat dan
cepat dalam mengajarkan mata pelajaran”.[23]
Ada
beberapa landasan dasar dalam menentukan metode yang tepat dalam
mengajar diantaranya diulas oleh Abu Ahmadi, beliau mengatakan bahwa
landasan
untuk pemilihan metode ialah :
a.
Sesuai
dengan tujuan pengajaran agama.
b.
Sesuai
dengan jenis-jenis kegiatan.
c.
Menarik
perhatian murid.
d.
Maksud
metodenya harus dipahami siswa.
e.
Sesuai
dengan kecakapan guru agama yang bersangkutan”.[24]
Sedangkan
prinsip-prinsip dasar dalam metode
menyampaikan
materi pelajaran Islam dalam pandangan Kang Jalal sebagaimana tercantum
dalam
surat An-Nahl ayat 125. Dalam ayat ini terdapat tiga prinsip dalam
implementasi
metode penyampaian (dakwah, pembelajaran, pengajaran, komunikasi dan
sebagainya) yaitu :
1. Al-Hikmah (arif-bijaksana bersumber dari
Al-Qur’an)
Dalam
bahasa Arab Al-hikmah artinya ilmu, keadilan, falsafah,
kebijaksanaan, dan
uraian yang benar”.[25]
Al-hikmah berarti mengajak kepada
jalan Allah dengan cara keadilan dan kebijaksanaan, selalu
mempertimbangkan
berbagai faktor dalam proses belajar mengajar, baik faktor subjek,
obyek,
sarana, media dan lingkungan pengajaran. Pertimbangan pemilihan metode
dengan
memperhatikan audiens atau peserta didik diperlukan kearifan agar tujuan
pembelajaran tercapai dengan maksimal.
Imam
Al-Qurtubi menafsirkan Al-hikmah dengan “kalimat yang
lemah lembut”.[26]
Nabi diperintahkan untuk mengajak umat manusia kepada “Dienullah”
dan syariatnya dengan lemah lembut tidak dengan sikap
bermusuhan.
Hal ini
berlaku kepada kaum muslimin seterusnya
sebagai pedoman untuk berdakwah dan seluruh aspek penyampaian termasuk
di
dalamnya proses pembelajaran dan pengajaran.
Proses
belajar mengajar dapat berjalan dengan baik
dan lancar manakala ada interaksi yang kondusif antara guru dan peserta
didik.
Komunikasi yang arif dan bijaksana memberikan kesan mendalam kepada para
siswa
sehingga “teacher oriented” akan
berubah menjadi “student oriented”. Guru
yang bijaksana akan selalu memberikan peluang dan kesempatan kapada
siswanya
untuk berkembang. Kebebasan siswa untuk
aktif dalam kegiatan belajar sangat mempengaruhi keberhasilan proses
belajar
mengajar.
Al-Hikmah
dalam tafsir At-Tobari adalah
menyampaikan sesuatu yang telah diwahyukan kepada nabi.[27] Hal ini hampir senada dengan Mustafa
Al-Maroghi
bahwa Al-Hikmah cenderung diartikan sebagai sesuatu yang diwahyukan”.[28]
Nampak dengan
gamblang sebenarnya yang dimaksud dengan penyampaian wahyu
dengan hikmah ini yaitu penyampaian dengan lemah lembut tetapi juga
tegas
dengan mengunakan alasan, dalil dan argumentasi yang kuat sehingga
dengan
proses ini para peserta didik memiliki keyakinan dan kemantapan dalam
menerima
materi pelajaran. Materi pembelajaran bermanfaat dan berharga bagi
dirinya,
merasa memperoleh ilmu yang berkesan dan selalu teringat sampai masa
yang akan
datang.
2.
Maudzah Hasanah
(perkataan yang baik, lemah lembut)
Maudzah
hasanah terdiri dari dua kata “al-Maudzah dan Hasanah”. Al-mauidzah dalam tinjauan etimologi
berarti “pitutur, wejangan, pengajaran, pendidikan, sedangkan hasanah
berarti
baik. Bila dua kata ini digabungkan bermakna pengajaran yang baik. Ibnu
Katsir
menafsiri Al-mauidzah hasanah sebagai
pemberian peringatan kepada manusia, mencegah dan menjauhi larangan
sehingga
dengan proses ini mereka akan mengingat kepada Allah.[29]
At-Thobari
mengartikan mauidzah hasanah dengan “Al-ibr
al-jamilah” yaitu perumpamaan yang indah bersal dari kitab Allah
sebagai hujjah, argumentasi dalam proses
penyampaian.[30]
Pengajaran
yang baik mengandung nilai-nilai kebermanfaatan bagi kehidupan para
siswa. Mauidzah hasanah sebagai prinsip dasar
melekat pada setiap da’i (guru, ustadz, mubaligh) sehingga penyampaian
kepada
para siswa lebih berkesan. Siswa tidak merasa digurui walaupun
sebenarnya
sedang terjadi penstranferan nilai.
Al-Imam
Jalaludin Asy-Syuyuti dan Jalaludin Mahali
mengidentikan kata “Al-Mauidah” itu
dengan arti perkataan yang lembut”.[31]
Pengajaran yang baik berarti disampaikan melalui perkataan yang lembut
diikuti
dengan perilaku hasanah sehinga kalimat tersebut bermakna lemah lembut
baik
lagi baik.
Dengan
melalui prinsip maudzah hasanah dapat memberikan
pendidikan yang menyentuh, meresap
dalam kalbu. Ada banyak
pertimbangan (multi approach) agar penyampaian materi
bisa diterima oleh peserta
didik diantaranya :
a.
Pendekatan
Relegius, yang menekankan bahwa
manusia adalah makhluk relegius
dengan bakat-bakat keagamaan. Metode pendidikan Islam harus merujuk pada
sumber
ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits.
b.
Dasar Biologis,
pertumbuhan jasmani memegang peranan yang sangat penting dalam proses
pendidikan.
c.
Dasar Psikologis,
metode pendidikan Islam bisa
effektif dan efesien bila didasarkan pada perkembangan psikis meliputi
motivasi, emosi, minat, sikap, keinginan, kesediaan, bakat-bakat dan
kecakapan
akal intelektual
d.
Dasar Sosiologis,
pendekatan social interaksi
antar siswa, guru dengan siswa sehingga memberikan dampak positif bagi
keduanya.
3.
Mujadalah
(diskusi, dialog bila perlu berdebat ).
Kata
mujadalah berasal dari kata “jadala”
yang makna awalnya percekcokan dan perdebatan”.[32]
Kalimat “jadala” ini banyak terdapat
dalam Al-Qur’an diantaranya dalam surat Al-Kahhfi ayat 54 dan surat
Az-Zukhruf
ayat 56.
Kalimat “jadala” dengan berbagai
variasinya juga bertebaran dalam Al-Qur’an, seperti pada surat (2:197),
(4:107,109), (6:25, 121), ( 7 : 71), ( 11:32,74), (13:13), (18:54,56(,
(22:8,68), (29:46), (31;20), (40 :4,5,32,56,69), 24:35), (43:58),
(58:1).
Bahkan ada surat yang bernama “Al-Mujaadilah”
(perempuan-perempuan yang mengadakan gugatan).
Mujadalah dalam konteks
dakwah dan pendidikan diartikan dengan dialog atau diskusi sebagai kata “ameliorative” berbantah-bantahan. Mujadalah
berarti menggunakan metode
diskusi ilmiyah yang baik dengan cara lemah lembut serta diiringi dengan
wajah
penuh persahabatan sedangkan hasilnya diserahkan kepada Allah swt”.[33]
Metode
penyampaian ini dicontohkan oleh Nabi Musa dan Nabi Harun ketika
berdialog/diskusi dan berbantahan dengan Fir’aun. Sedangkan hasil
akhirnya
dikembalikan kepada Allah SWT. Sebab hanya Allahlah yang mengetahui
orang
tersebut mendapat petunjuk atau tidak. Atau kisah tentang nabi Khidir
yang
berdialog dengan muridnya dalam setiap perjalanannya”.[34]
Diskusi
pada dasarnya adalah saling menukar informasi, pendapat dan
unsur-unsur pengalaman secara teratur dengan maksud untuk mendapat
pengertian
bersama yang lebih jelas dan lebih teliti tentang sesuatu, atau untuk
mempersiapkan dan merampungkan keputusan bersama”.[35]
Dalam kajian metode mengajar disebut metode “hiwar”
(dialog). Diskusi memberikan peluang sebesar-besarnya kepada
para siswa untuk mengeksplor pengetahuan yang dimilikinya kemudian
dipadukan
dengan pendapat siswa lain. Satu sisi mendewasakan pemikiran,
menghormati
pendapat orang lain, sadar bahwa ada pandapat di luar pendapatnya dan
disisi
lain siswa merasa dihargai sebagai individu yang memiliki potensi,
kemampuan
dan bakat bawaannya. Diskusi (mujadalah)
tidak akan memperoleh tujuan apabila tidak memperhatikan metode diskusi
yang
benar, yang hak sehingga diskusi jadi “bathal”
tidak didengarkan oleh mustami’in”.[36]
Metode
mujadalah lebih menekankan kepada pemberian dalil, argumentasi dan
alasan yang kuat. Para siswa
berusaha untuk menggali potensi yang dimilikinya untuk mencari
alasan-alasan
yang mendasar dan ilmiyah dalam setiap argumen diskusinya. Para guru hanya
bertindak sebagai motivator, stimulator, fasilitator atau sebagai
instruktur.
Sistem ini lebih cenderung ke “Student
Centre” yang menekankan aspek penghargaan terhadap perbedaan
individu para
peserta didik (individual differencies)
bukan “Teacher Centre” sehingga
proses pembelajaran menjadi lebih efektif dan menyenangkan dan siswapun
dapat
berperan secara aktif.
Dari
berbagai pemikiran Jalaluddin Rahmat tentang metode pendidikan Islam
di atas menggambarkan bahwa sebagai seorang pendidik/guru harus
benar-benar
mengusai dan dapat menerapkan metode atau strategi pembelajaran serta
menciptakan suasana pendidikan yang agamis, kreatif, dinamis, dan
dialogis.
Undang-Undang
R.I
Nomor. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 40 ayat 2
tentang pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban untuk menciptakan
suasana
pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis.[37]
Dalam
konteks pendidikan sekarang alternatif metode atau strategi
pembelajaran tersebut lebih identik dengan strategi PAIKEM (Pembelajaran
Aktif,
Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan). PAIKEM merupakan
pendekatan
dalam proses belajar mengajar yang bila diterapkan secara tepat
berpeluang
dapat meningkatkan tiga hal, pertama
maksimalisasi pengaruh fisik terhadap jiwa, kedua,
maksimalisasi pengaruh jiwa terhadap proses psikofisik dan psikososial,
dan ketiga, bimbingan ke arah pengalaman
kehidupan spiritual”.[38]
Jika
pembelajaran agama Islam dipahami sebagai pembelajaran untuk melatih
jiwa
seseorang agar terdorong untuk membiasakan melakukan perbuatan-perbuatan
yang
baik, sebagaimana konsep Al-Ghazali, maka pembelajaran agama Islam
dengan
menggunakan pendekatan PAIKEM, setidaknya bisa memberikan harapan baru
untuk
efektif pencapaian tujuan pembelajaran agama Islam.
C. Kontribusi Pemikiran Jalaluddin
Rahmat Tentang
Pendidikan Islam
Konsep
atau
ide-ide pemikiran Jalaluddin Rahmat tentang pendidikan Islam secara umum
merupakan perpaduan antara dua unsur yaitu pendidikan dan keagamaan.
Menurutnya
landasan filosofis pendidikan Islam harus dibangun di atas pondasi yang
kuat,
baik sisi epistemologi, konsep manusia dengan merujuk pada sumber
normatif
yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.
Sebagaimana
kita
ketahui bahwa dalam Islam terdapat lima macam sumber nilai yang diakui,
yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, itulah yang asal. Kemudia datang sumber
ketiga
yaitu Qiyas, artinya membandingkan masalah yang disebutkan oleh
Al-Qur’an atau
Sunnah dengan masalah yang dihadapi oleh umat Islam pada masa tertentu,
tetapi nas
yang tegas dalam Al-Qur’an tidak ada. Kemudian sumber keempat adalah
kemaslahatan umum pada suatu ketika yang difikirkan patut menurut kaca
mata
Islam. Sedang sumber kelima adalah kesepakatan
dan Ijma’ ulama-ulama dan ahli-ahli fikir Islam pada suatu ketika
yang
dianggap sesuai dengan sumber dasar yaitu Al-Qur’an dan Sunnah”.[39]
Pandangannya
tentang
landasan tersebut didasarkan pada banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang
secara langsung atau tidak langsung mewajibkan umat Islam melaksanakan
pendidikan, khususnya pendidikan Agama. Itulah yang dimaksud dasar
normatif
pelaksanaan Pendidikan Agama Islam”.[40]
Konsep
tentang keagamaan menurut Jalaluddin Rakhmat, bahwa agama dan Islam
menurut
makna aslinya, Din sama saja dengan
Islam. Secara etimologi, Islam berasal dari kata aslama yang mengandung
pengertian khahla’a (tunduk) dan istaslama
(sikap berserah diri), dan
juga adda’ (menyerahkan atau
menyampaikan).[41] Al-Maududi sebagaimana dikutip oleh
Aflatun Muctar, mengartikan Islam sebagai ”tunduk” berserah diri, taat,
dan patuh
kepada perintah dan larangan yang berkuasa (al-amir)
tanpa membantah.[42]
Dalam
agama
tersebut tidak mengenal adanya dikotomik, nilai spritualitas-sufistik,
serta
holistik. Sebagian karyanya banyak mencerminkan nilai-nilai keagamaan di
mana
kita sebagai manusia harus dapat menyesuaikan diri kita dengan perintah
Allah,
mencintai rasul dan para imam suci, saling menyayangi di antara hamba
Allah,
melawan keinginan hawa nafsu serta bagaimana memerangi setan sebagai
musuh yang
nyata bagi manusia.
Kang
jalal dalam
sebuah artikelnya dengan jelas memapaparkan bahwa dikotomik antara
Sunni-Syi’ah
tidak relevan lagi, Jadi argumentasinya
bukan bahwa Islam yang datang ke
Indonesia itu Syi'ah yang berbaju Syafi'i, tetapi memang mazhab Syafi'i.
Sebab
Imam Syafi'i memang sangat simpatik terhadap Syi'ah. Menurut riwayat,
Imam
Syafi'i itu pernah diseret dari Hijaz ke Syria dalam belenggu besi dan
dihadapkan kepada Harun al Rasyid. Satu demi satu kawannya 'dipotong'
dan hanya
Imam Syafi'i yang selamat. Konon, Imam Syafi'i itu diseret karena
simpatinya
terhadap Syi'ah”.[43] Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa
beliau sebagai salah satu tokoh pluralisme yang tidak menerima terhadap
dikotomik dalam bermadhab atau beragama.
Salah
satu perkembangan memprihatinkan di masyarakat Islam Indonesia
belakangan ini adalah makin kuatnya kecenderungan meninggalkan akhlak
ketika
menghadapi perbedaan dalam paham keagamaan. Hal ini dapat kita lihat
pula pada
realitas yang ada di negeri ini. Kebanyakan para ilmuwan dan penguasanya
tidak
memiliki balancing dalam pendidikannya. Ketika mereka pandai
dalam ilmu
agama, ilmu umumnya sangat kurang, dan begitu pula sebaliknya. Ketika
mereka
menguasai ilmu umum, pendidikan agamanya pun minim. Makanya, tidak heran
jika
di negeri ini sangat rentan terjadi tindakan-tindakan curang seperti
korupsi. Karena pendidikan
mereka tidak dibarengi dengan pendidikan moral yang baik. Seolah
meniscayakan adanya dikotomi di antara kedua ilmu tersebut. Karena
itulah
kemudian Kang Jalal berpikir bahwa sebenarnya ada hal yang mungkin
mempersatukan kita semua, yaitu akhlak. Dalam bidang akhlak, semua orang
bisa
bersetuju, apapun mazhabnya. Dengan pandangan tersebut kemudian beliau
berpendapat dahulukan akhlak di atas
fikih.
Al-Ghazali
sendiri misalnya bercerita tentang sirr, atau rahasia
dari semua aturan fikih. Misalnya, puasa bukan sekadar menahan makan dan
minum,
tapi juga mengendalikan diri dari segenap perbuatan yang dilarang Allah.
Jadi
ada juga unsur akhlaknya. Tapi kalau kita bicara fikih sebagai ilmu,
tentu
tidak begitu. Misalnya dalam Kitâbul Fiqh `alal Madzâhib
al-‘Arba`ah.
Di situ sudah tidak ada lagi pembicaraan soal akhlak.
Imam al-Ghazali juga berbicara di situ dalam
konteks pengajaran tasawuf; mencari rahasia di balik ritual, di balik
syariat.
Soal syariatnya sendiri tetap berpusat pada fikih. Sampai ada yang
mengatakan
fikih itu soal al-hukm biz dzawâhir. Jadi, fikih itu
secara umum
memang berpegang teguh pada hal-hal yang lahiriah. Sementara, al-Ghazali
sendiri membedakan antara khalq dan khuluq, walaupun dalam
penulisannya Arabnya sama. Khalq adalah gambaran lahir atau tubuh
kita,
sementara khuluq gambaran batin.[44]
Jadi, khalq
itu urusan fikih, sementara khuluq “sepatutnya”
diurus oleh tasawuf. Artinya, dalam kenyataan, fikih terpisah dari studi
akhlak, walau para ulama membahas fikih sekaligus menyertakan akhlak
sebagai
ilmu. Tapi yang ingin Kang Jalal tekankan: walau kita mungkin belajar
fikih
tidak boleh terlepas dari akhlak, bahkan fikih harus menyempurnakan
akhlak,
dalam kenyataan sehari-hari, kita tetap sering menemukan tuntutan fikih
yang
bertentangan dengan tuntutan akhlak”.[45]
Unsur
pendidikan dari pemikiran Jalaluddin Rakhmat yaitu di mana pendidikan
harus
memperhatikan perpaduan antara tubuh dengan jiwa, manusia memiliki
kemampuan
hampir tidak ada batasnya, dimensi spiritual (mistikal),
mampu memberikan pengetahuan baik substansi maupun
proses. harus menanamkan sifat inklusif (terbuka) dan kritis; serta
melatih
peserta didik untuk menerima, mengolah, dan menyampaikan informasi.
Penyelenggaraan pendidikan di sekolah haruslah
dapat meningkatkan motivasi dan prestasi belajarnya. Dalam hal ini Kang
Jalal
menawarkan konsep belajar berbasis otak dengan tujuan untuk
memaksimalkan
kemampuan otak anak dalam menerima suatu rangsangan yang masuk untuk
dapat
dianalisis. Sehingga dengan rangsangan pada otaknya tersebut, anak akan
lebih
kritis dalam memecahkan suatu masalah. Penyelenggaraan pendidikan Islam
di
Indonesia tidak saja dituntut memenuhi dan memahami sistem ajaran Islam
dan
nilai-nilai dasar Pancasila, lebih pada itu dituntut pula untuk memiliki
kemampuan teoritis dalam mengembangkan suatu formula pendidikan Islam
yang
sintetik sekaligus dialogis”.[46]
Pendidikan
Islam
juga mampu menyiapkan peserta didiknya unggul dalam ekonomi, Pendidikan
Islam harus mampu memberikan internalisasi nilai-nilai spiritual,
Pendidikan
yang mampu memberikan pencerahan spiritual, yaitu pencerahan yang
mengantarkan
pada keakraban, cinta, keberanian, nilai eskatis dan kemabukan dalam
diri sang Khaliq (Allah) disamping itu juga
pendidikan Islam menurut Jalalauddin Rakhmat harus mampu bersaing dengan
pendidikan yang lain pendidikan yang mampu memberikan jawaban akan
tantangan
turbulensi globalisasi.
Untuk
mengantarkan konsep di atas diperlukan tujuan pendidikan Islam yang
jelas
sesuai halnya tujuan Islam dalam Al-Qur’an seperti halnya, tujuan, bahwa
manusia harus memiliki a) kepribadian Islam, b) menguasai Tsaqafah
Islamiyah dengan handal, c) menguasai
ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan
teknologi, d) memiliki
skills/ketrampilan yang tepat guna dan berdaya guna meliputi syari'at, tariqat dan hakikat
(ibadah, mu'amalah).ditunjang dengan sains dan teknologi.dan metode pendidikan Islam yang benar seperti, a) Al-Hikmah
(arif-bijaksana bersumber dari Al-Qur’an) b) Maudzoh Hasanah
(perkataan yang baik, lemah lembut), c) Mujadalah
(diskusi, dialog bila perlu
berdebat).
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Setelah melalui kajian dan
analisa pembahasan yang
cukup panjang terhadap kontribusi dan pemikiran Jalaluddin Rahmad
tentang
pendidikan Islam, melalui karya-karya maupun tulisan tokoh-tokoh atau
penulis
lain yang secara langsung mengangkat kontribusi dan pemikiran Jalaluddin
Rahmat
secara keseluruhan dari pokok permasalahan, maka hasil analisa
sebagaimana di atas dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1.
Pemikiran Jalaluddin Rahmat tentang
pendidikan Islam dapat diidentifkasikan antara lain: landasan filosofis
pendidikan Islam harus dibangun di atas pondasi yang kuat, baik sisi
epistemologi, konsep manusia dengan merujuk pada sumber normatif yaitu
Al-Qur’an
dan Sunnah. Epistemologi Islam sudah jelas, sebagaimana konsepnya
Jalaluddin Rakhmat,
tidak mengenal pada dikotomik, nilai spritualitas-sufistik,
serta holistik. Secara khas
pemikiran Jalaluddin Rakhmat tentang pendidikan Islam mengisyartkan
bahwa:
pendidikan harus memperhatikan perpaduan antara tubuh dengan jiwa,
manusia
memiliki kemampuan hampir tidak ada batasnya, mampu memberikan
pengetahuan baik
substansi maupun proses, harus menanamkan sifat inklusif (terbuka)
dan kritis, serta melatih peserta didik untuk
menerima, mengolah, dan menyampaikan informasi. Penddikan Islam harus
mampu
memberikan internalisasi nilai-nilai spiritual, dan mampu memberikan
pencerahan
spiritual, yaitu pencerahan yang mengantarkan pada keakraban, cinta,
keberanian, dan kemabukan dalam diri sang Khaliq
(Allah) serta pendidikan Islam harus mampu bersaing dengan pendidikan
yang lain
pendidikan yang mampu menjawab tantangan turbulensi globalisasi.
Untuk mengantarkan konsep di
atas diperlukan tujuan dan metode pendidikan
Islam yang jelas sesuai halnya tujuan dan metode pendidikan Islam dalam
Al-Qur’an
2.
Kontribusi
pemikiran Jalaluddin Rahmat terhadap pendidikan Islam dapat kita lihat
dari
pengembangan kurikulum pendidikan yang memuat tentang tujuan dan metode
pendidikan agama. Jadi
kontribusi tersebut dapat dilihat dari dua aspek yaitu aspek tujuan dan
aspek
metode pendidikan Islam.
a.
Aspek
Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan
pendidikan Islam menurutnya merupakan upaya
sadar, terstruktur, terprogram, dan
sistematis dalam rangka membentuk manusia yang memiliki : kepribadian Islam, menguasai Tsaqafah Islamiyah dengan handal, menguasai ilmu-ilmu terapan
(pengetahuan, ilmu, dan
teknologi) dan memiliki skills (ketrampilan) yang tepat guna
dan
berdaya guna. Secara umum tujuan pendidikan Islam menurut Kang Jalal di
atas
sesuai dengan Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 pasal 31 ayat ketiga.
b.
Aspek
Metode Pendidikan Islam
Prinsip-prinsip dasar dalam metode menyampaikan
materi pelajaran Islam dalam
pandangan Kang Jalal sebagaimana tercantum dalam surat An-Nahl ayat 125.
Dalam
ayat ini terdapat tiga prinsip dalam implementasi metode penyampaian
(dakwah,
pembelajaran, pengajaran, komunikasi dan sebagainya) yaitu; AlHikmah
(arif-bijaksana bersumber dari
Al-Qur’an), Maudzoh Hasanah (perkataan
yang baik, lemah lembut) dan Mujadalah
(diskusi, dialog bila perlu berdebat ).
Berbagai
pemikiran Jalaluddin Rahmat tentang metode pendidikan Islam di
atas menggambarkan bahwa sebagai seorang pendidik/guru harus benar-benar
mengusai dan dapat menerapkan metode atau strategi pembelajaran serta
menciptakan suasana pendidikan yang agamis, kreatif, dinamis, dan
dialogis. Hal ini sangatlah sesuai
dengan Undang-Undang R.I Nomor. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pasal 40 ayat 2 tentang pendidik dan tenaga kependidikan.
Dalam
konteks pendidikan sekarang alternatif metode atau strategi
pembelajaran tersebut lebih identik dengan strategi PAIKEM (Pembelajaran
Aktif,
Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan).
B. Saran
Dari
berbagai hasil analisa penulis dalam menangkap konsep pemikiran
Jalaluddin
Rahmat tentang pendidikan Islam. Terdapat beberapa saran untuk seluruh
praktisi
pendidikan, diantaranya :
1. Definisi pendidikan bukanlah sebatas
pengajaran atau trasfer ilmu belaka, tetapi pendidikan memiliki tujuan
pembentukan secara aplikatif dan substansifik terhadap anak didik dan
pendidikan
juga harus memperhatikan perpaduan antara tubuh dengan jiwa, karenanya
perlu
untuk benar-benar memahami hakekat dan fiktrah dari pendidikan itu
sendiri.
2. Pendidikan Islam tidak mengenal adanya
dikotomik, karenanya dalam melestarikan ajarannya kita harus saling
menghormati, menghargai pendapat orang lain.
3. Pendidik merupakan salah satu faktor
penting yang melingkupi sebuah pendidikan, yang memikili tangung jawab
besar
terhadap keberhasilan atau prestasi belajar anak didik. Untuk itu
seorang
pendidik harus mampu aktif, kreatif, dan inovatif dalam penyampaian
pembelajaran dengan tidak menggunakan satu metode saja.
4. Pendidik yang baik adalah pendidik yang
selalu merasa dirinya bodoh, sehingga ia harus selalu dan terus menambah
ilmunya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Syaibani, Omar Mohammad
al-Taumy, Falsafah Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta, Bulan
Bintang,
1979
Nawawi,Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta,
Gajah Mada University Press, 1998
[2] Jalaluddin Rahmat, Islam dan Pluralisme
Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan, (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2006), hlm.138
[3] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1995), hlm. 445
[5] Muhd Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-Dasar
Pokok Pendidikan Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hlm.1
[6] Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945, Hasil
Amandemen 1999-2002, (Solo: Sarana
Ilmu, 2004), hlm.23
[7] Undang-Undang R.I Nomor. 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: CV Mini Jaya
Abadi,
2003), hlm. 9
[8]
Ibid, hlm. 98
[11] Undang-Undang R.I Nomor. 20 Tahun 2003, Op.
Cit., hlm. 49
[12] Ibid.
[13] Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945, Op. Cit., hlm.23
[14] Ibid.
[15] Undang-Undang R.I Nomor. 20 Tahun
2003, Op. Cit., hlm. 51
[16] Ismail SM, dkk, Paradigma Pendidikan
Islam, (Semarang: Pustaka Pelajar, 2001), hlm.
184
[17] Syamsudin Asyofi, Prospek Pendidikan
Islam dalam Perspektif Perubahan Sosial di Indonesia,
dalam Majalah al-Rahmah, tahun I Juni-Agustus 1995
[19] Ibid,
hlm. 61
[20] Moh Sakir, Citra Ilmu, Kompetensi Guru
Pendidikan Agama Islam Sebagai Langkah Awal
Peningkatan Mutu Pendidikan Islam, (Temanggung : STAINU Press,
2008), hlm.
144.
[26] Imam Al-Qurtubi, Al-Jami’ul
Ahkam Al-Qur’an, (Bairut-Libanon: Darulkutub al-ilmiyah,
1413 H/1993 M), hlm. 131
[27] Ja’far Muhmaad ibn Jarir
Ath-Thobarii, Tafsir Ath-Thobari, Jami’ul Bayan Ta’wilul
Qur’an, (Bairut-Libanon : Darul kutubul Ilmiuah, 1996), hlm. 663
[28] Ahmad Mustofa Al-Maroghi, Tafsir Al-Maroghi, (terjemah), (Semarang : Toha Putra,
1987), hlm.
289
[29]
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katstir (CD. Holly
Qur,an ).
[30]
Ja’far Muhmaad ibn Jarir Ath-Thobarii, Loc.
Cit.
[31]
Al-Imamul Jalalain, Tafsir Al-Quranul Adzim,
(Indonesia ,
Maktabah Dar ihya
al-kutub al-arabiyah, tt), hlm. 104. Kitab tafsir ini terkenal dengan
nama
tafsir “Jalalain”, artinya dua Jalal.
Yang dimaksud dengan dua Jalal adalah nama tokoh ilmuwan Islam dalam
bidang
tafsir yaitu Jalaluddin Muhammad Ibn Ahmad Mahalli dan Jalaluddin
Abdurahaman
ibn Abi bakr Asy-Syuyuti. Di pesantren kitab tafsir ini menjadi salah
satu
kitab tafsir wajib yang harus dipelajari bagi setiap santri (menjadi
kontens
kurikullumnya pesantren).
[32]
Husen Al-Habsy. Op. Cit, hlm. 43
[33]
Imam Al-Baidhowi, Tafsir Al-Baidhowi ;
Anwarul Tanzil wa Asrarul Ta’wil,
(Bairut-Libanon: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1408 H/1988M), hlm. 571. Nama
lengkap
Al-Imam Al-Baidwowi adalah NAshiruddin Abi said Ibn Umar Muhammad
ASy-yaeroji
Al-Baidhowi.
[34]
Jalaluddin Rahmat, Reformasi Sufistik,
“Halaman Akhir” Fikri Yathir, (Bandung: IKAPI, 1999), hlm. 277
[35]
Ismail
SM, Strategi Pembelajaran Agama Islam
Berbasis PAIKEM, (Semarang :
RaSAIL Media Group, 2008), hlm. 20
[36] An-Naisaburi,
Tafsir Ghoroibil Qur’an
wa roghoibil Furqon, (Bairut-Libanon: Darul’utubul Ilmiuah, 1996),
hlm. 316
[38]
Ismail
SM, Op. Cit, hlm. 5
[39]
Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran
Tentang Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1980), hlm.93
[40]
Chabib Thoha, dkk, PBM-PAI Eksistensi dan
Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam, (Semarang : Pustaka
Pelajar, 1998), hlm.32
[41]
Jalaluddin Rahmat, Islam dan Pluralisme
Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan, (Jakarta :
Serambi Ilmu Semesta, 2006), hlm.40-41
[42] Aflatun Muchtar, Tunduk Kepada Allah,
(Jakarta: Paramadina, 2001), hlm. 274
[43] Jalaluddin Rahmat, Catatan Kang Jalal Visi Media, Politik, Dan Pendidikan,
(Bandung:
Remaja Rosda Karya, 1998), hlm. 433
[45] Ibid.
[46] Ismail SM, dkk, Paradigma Pendidikan
Islam, Op.
Cit, hlm. 182
[1]
Jalaluddin Rahmat, Psikologi Agama,
Sebuah Pengantar, (Bandung :
Mizan, 2004), hlm.v
[2]
Jalaluddin Rahmat, Islam dan Pluralisme
Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan, (Jakarta :
Serambi Ilmu Semesta, 2006), hlm.5
[3]
Jalaluddin Rahmat, Psikologi Agama,
Sebuah Pengantar,Op. Cit, hlm.v-vi
[4]
Jalaluddin Rahmat, Islam dan Pluralisme
Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan, Op.
Cit, hlm. 5
[5]
Jalaluddin Rahmat, Psikologi Agama,
Sebuah Pengantar,Op. Cit, hlm.vi
[6] Jalaluddin Rahmat, Islam dan Pluralisme
Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan, Op. Cit, hlm. 6
[7]
Jalaluddin Rahmat, Psikologi Agama,
Sebuah Pengantar,Op. Cit, hlm.vi
[8]
Ibid, hlm.vii
[9]
Ibid, hlm.viii
[10]
Ibid.
[12]
Jalaluddin Rahmat, Psikologi Agama,
Sebuah Pengantar,Op. Cit, hlm.vii
[13] Jalaluddin Rahmat, Dahulukan
Akhlak di Atas Fikih, (Bandung :
Mizan, 2002), hlm. 9
[14]
Ibid, hlm.10
[16]
Ibid.
[17]
Ibid.
[18]
Ibid.
[19]
Ibid.
[20]
Ismail SM, Strategi Pembelajaran Agama
Islam Berbasis PAIKEM, (Semarang :
RaSAIL Media Group, 2008), hlm. 2
[21]
Ibid
[22]
Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an,
(Bandung: Mizan, 1992), hlm. 172
[23]
Ismail SM, dkk, Paradigma Pendidikan
Islam, (Semarang :
Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 195
[24] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra, 1995), hlm. 391
[25]
Omar Mohammad Al-Toumy Al Syaibani, Falsafah
Pendidikan Islam (Falsafatut Tarbiyah al ISlamiyah), terj. Dr. Hasan
Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 406
[26]
Ibid, hlm. 405
[27]
Syed Sajjad Hussein, et.al., Menyongsong
Keruntuhan Pendidikan Islam, (Crisis Muslim Education), terj., Drs.
Rahmani
Astuti, (Bandung: Gema Risalah Press, 1994), hlm. 62
[28]
Departemen
Agama RI, Op. Cit, hlm. 49
[29] Ibid,
hlm. 623
[30] Jalaluddin Rahmat, Psikologi Agama,Op.
Cit, hlm.120
[32] Ibid.
[33]
Ibid.
[34] Armai Arief, Pengantar Ilmi Metodologi
Pendidikan Islam, (Jakarta :
Ciputat Pers, 2002), hlm. vii
[35]
Departemen Agama RI, Op. Cit.,
hlm. 421
[36]
Ibid, hlm.103
[1] Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-2, Cet. IV, (Jakarta:
Balai
Pusataka, 1995), hlm. 232
[2] Syed Muhammad Al-Naquib Al-Atas, Konsep
Pendidikan dalam Islam, Terj. Haidar
Baqir, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 66
[3] Sembodo Ardi Widodo, Kajian
Filosofis Pendidikan Barat dan Islam,
(Jakarta: PT Nimas Multima, 2003), hlm.15
[4] Kingsley Price, Eduction and
Philosophical Though, (Boston, U.S.A: Allyn
and Bacon Inc., 1965), hlm. 4
[5] Undang-Undang R.I Nomor. 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Jakarta: CV Mini Jaya Abadi, 2003), hlm. 5
[6] Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan
Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976) hlm. 12.
[7] Ahmad D. Marimba, Pengantar
Filsafat Pendidikan (Bandung: Al Ma’arif, 1989) hlm.19.
[8] Soegarda Poerbakawatja, et.al.
Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung,
1981) hlm. 257.
1981) hlm. 257.
[9] Al-Syarif Ali
bin Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, (Beirut: Dar
al-Kutub
al-’Ilmiyah, 1988), Cet. II, hlm. 23
[11] Ahmad D. Marimba, Op. Cit.,
hlm. 21
[12] Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan
Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 99
[13] Chabib Thoha, dkk, PBM-PAI Eksistensi
dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam,
(Semarang : Pustaka Pelajar, 1998), hlm.32
[16] Ibid,
hlm. 93
[17] Chabib Thoha, dkk, Op. Cit, hlm. 39
[18] Departemen Agama RI, Op. Cit, hlm.
645.
[19] Usman Najati, Qur’an dan Ilmu Jiwa
Terj. Ahmad Rafi’I Usman, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 40.
[20] Departemen Agama RI, Op. Cit, hlm.
688.
[21] Chabib Thoha, dkk, Op. Cit, hlm.
59.
[22] Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hlm.
161.
[23] Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan
Islam, (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1988),
hlm. 307.
[24] Tim Depag, Membiasakan Tradisi Agama;
Arah Baru Pengembangan Pendidikan Agama
Islam (PAI) pada Sekolah Umum, (Jakarta : Direktorat Madrasah dan
PAI pada
Sekolah Umum, 2004), hlm. 35. Lihat juga, Hery Noer Aly, Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm.
52.
[25] Ibid.
[26]Undang-Undang R.I Nomor. 20 Tahun 2003, Op.
Cit, hlm. 9.
[27] Moh Sakir, Citra Ilmu, Kompetensi Guru
Pendidikan Agama Islam Sebagai Langkah Awal
Peningkatan Mutu Pendidikan Islam, (Temanggung : STAINU Press,
2008), hlm.
144.
[28] Nana Sudjana, Pembinaan
dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, Cet. II (Bandung:
Sinar
Baru, 1991), hlm. 4
[30] Omar Mohammad al-Taumy
al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam,
Cet. I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 478-484
[31] Jalaludin Usman dan Usman
Said, Falsafah Pendidikan
Islam, Konsep
dan Perkembangannya, Cet. II, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,
1996), h. 44-45
[33] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam,(Bandung:
Pustaka
Setia,1997),hlm.136
[34] Ahmad Tafsir, Ilmu
Pendidikan dalam Perspektif Islam, Cet. II, (Bandung: Remaja
Rosdakarya,
1992), hlm. 135
[35] Said, Ilmu
Pendidikan, (Bandung: PT Alumni, 1989), hlm. 11-13
[36] Abdur Rahman
Al-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 205
[37] Ramayulis, Op.
Cit, hlm. 146
[38] Mohammad
Al-Toumy Al-Syaibani, Op Cit, hlm.395
[39] Ahmad Tafsir, Ilmu
Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Cet. I, (Jakarta: CV
Ruhama,
1995), hlm. 157
[40] Ramayulis, Op.
Cit, hlm. 155-156
[41] Sejarah
pertumbuhan dan perkembangan pendidikan sekolah dalam Islam ini adalah
hasil
ringkasan dari Abdurrahman Al-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah,
Sekolah,
dan Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Cet. II, hlm.
148-151.
[42] Ramayulis, Op.
Cit, hlm. 159
[43] Masyarakat
adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem
adat
istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu
identitas
bersama. Lihat M. Munandar Sulaiman, Ilmu Sosial Dasar,
(Bandung;
Eresco, 1992), Cet. VI, h. 63
[44] Abdurrahman
Al-Nahlawi, Op. Cit, hlm. 136-137
[45] Abu Ahmadi, Ilmu
Sosial Dasar, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991), hlm. 162
[1] Muhd Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok
Pendidikan Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hlm.1.
[2] Undang-Undang R.I Nomor. 20 Tahun 2003 Tentang
.Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: CV Mini Jaya Abadi, 2003),
hlm.5.
[3] Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Amandemen
Ke-4 Tanhun 2002, (Semarang:
Aneka Ilmu, 2002), hlm. 29
[4] Ibid,
hlm. 9
[5] Moh Sakir, Citra Ilmu, Kompetensi Guru
Pendidikan Agama Islam Sebagai Langkah Awal Peningkatan Mutu Pendidikan
Islam,
(Temanggung : STAINU Press, 2008), hlm. 144
[6] Sardja, Pengantar Hasan Sulaiman dalam Pendidikan menurut
Al-Qhozali, (Jakarta: Dea Press, 2000), hlm. viii.
[7] Nurcholish Madjid, Masyarakat
Madani, (Jakarta:
Paramadina, 2000), hlm. 93
[8] Hasan Langgulung, Asas-Asas
Pendidikan Islam, (Jakarta:
Pustaka Al-Huna, 1970) hlm. 17
[9] Muhd Athiyah Al-Abrasyi, Op. Cit. hlm.2-3
[10] Rokhayati, Konsep Pendidikan Islam
Menurut Prof. Dr. Athiyah Al-Abrasyi dan Prof.
Dr. Hasan Langgulung (Studi Komparasi), Skripsi,
(Temanggung, STAINU, 2004), hlm, v
[11]
Budiyanto, Konsep Pembaharuan Pendidikan
Islam Menurut Nurcholish Madjid, (Temanggung, STAINU, 2006), hlm.v
[12]
Muhaimin, Konsep Pendidikan Islam Menurut
Ibnu Taimiyah, Skripsi,
(Temanggung, STAINU, 2009), hlm, v
[13] Kartini Kartono, Pengantar Metodologi
Reserch Sosial, (Yogyakarta; Sumbangsih,
1975), hlm. 33
[14] Hadari Nawawi, Metode
Penelitian Bidang Sosial,
(Yogyakarta; Gajah Mada University Press, 1998), hlm. 82
[15]
Mastuhu dan M Deden R, Tradisi
Baru Penelitian Agama Islam, ( Jakarta:
Pusjalit dan Nuansa, 1998), hlm. 53
[16] Lexy J. Moleong, Metodologi Peneltian
Kualitatif, (Bandung Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 190
Caesar Casino Review (2021) - Legit Bonus, Games, Support
BalasHapusCaesar Casino is a betway login relatively 12bet new casino to 제왕카지노 the online world. It offers casino games like blackjack, roulette, craps, slots, poker,